Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif Lembaga Kaji Isu-isu Strategis
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam Sejarah, persoalan ideologi memang selalu mengalami diskursus yang panjang dari fase ke fase. Kenapa? Sebab soal ideologi selalu menyangkut soal identitas diri baik individu maupun kelompok. Dan, sebagian orang menganggap ideologi sebagai prinsip hidup dari seseorang.
Sehingga, inilah yang kemudian mengundang perdebatan di mana-mana. Tetapi, pada intinya ideologi selalu saja disematkan pada satu entitas tertentu -seperti bangsa atau negara. Dalam perspektif negara ideologi begitu diperlukan sebagai bentuk kedaulatan atas negara yang bersangkutan.
Dan, sejarah pun kadang banyak ternoda karena berbagai friksi yang ada. Seperti hantu mengintip di sekitar kita. Namun, hanya sedikit orang yang bisa melihatnya dengan jelas. Hantu ini bukanlah hantu lama seperti komunisme atau fasisme. Tetapi ini adalah hantu baru yang termekanisasi secara lengkap, yang patuh dan tunduk pada konsumsi yang lengkap, yakni komputerisasi, gadget, smartphone.
Dalam dimensi sosial secara sadar manusia telah dialihfungsikan menjadi mesin walau hanya memiliki sedikit perasaan.
Dengan kemenangan masyarakat baru ini, sikap individualisme dan privasi akan kehilangan perasaannya--terhadap orang lain yang kemudian digerakkan dengan psikologis serta perkakas elektronik, atau obat-obatan yang juga menyajikan pengalaman introspektif jenis baru.
Sebagaimana diungkapkan Zbigniew Brzezinski, "dalam masyarakat tehnetronik trend tampaknya akan mengarah kepada kesatuan dukungan individual dari jutaan warga yang tak terkoordinasi, yang dengan mudah berada pada jangkauan magnetis dan menarik secara efektif serta mengeksploitasi tehnik-tehnik komunikasi terbaru untuk memanipulasi emosi dan mengontrol akal budi."
Masyarakat jenis baru ini telah diprediksi dalam bentuk fiksi dalam 1984 oleh George Orwell dan dalam Brave New World oleh Aldous Huxley. Sehingga ada hal yang tidak menyenangkan pada situasi saat ini adalah makna kehilangan eksistensial {manusia dalam arti luas), seperti pengambilan keputusan-keputusan kadang perilaku sangat ditentukan oleh komputer dan elektronik yang ada disekitar kita. Sehingga manusia menjadi anomali---keanehan yang mengganggu psikologis.
Seperti awal penciptaan manusia yang diberikan akal oleh Tuhan---untuk berfikir tentunya, melanjutkan keputusan-keputusan dalam hidupnya, tetapi faktanya tidak demikian keputusan-keputusan hidup manusia sangat ditentukan oleh alat elektronik yang ada di genggaman atau dihadapan kita.
Sehingga manusia seperti layaknya tidak lagi memiliki tujuan hidup, kehilangan esensi, manusia terancam punah oleh senjata nuklir yang sesekali menuju kearah kita. Kemajuan ini justru membahayakan kehidupan manusia yang pada akhirnya akan menghilangkan identitasnya sendiri.
Bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana manusia berada pada puncak kemenangannya atas alam, menjadi tawanan bagi ciptaannya sendiri, dan berada dalam mara-bahaya yang bakal menghancurkan dirinya sendiri. Sehingga manusia dalam mencari kebenaran ilmiah---manusia menemukan pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai alam. Dan pada sisi yang lain manusia kehilangan sentuhan dengan dirinya sendiri. Termasuk kehidupan pada dirinya sendiri.
Dan fatalnya setelah manusia kehilangan keimanan religious serta nilai-nilai kemanusiaannya yang melekat pada diri bersamanya---maka muncul kecenderungan ia menemukan nilai-nilai material sebagai jalan keluarnya. Sangat Homo economicus---manusia ekonomi.
Dan manusia pada situasi itu kehilangan jati diri, kapasitas empiriknya, serta gerak emosionalnya---sebab asumsinya bahwa untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan menikmati keterkungkungan dan memperoleh hasil yang maksimal untuk dimanfaatkan demi kebutuhan perut semata. Teknologi pada dasarnya telah merampas hak kemanusiaannya demi kepuasaan fisik bukan kebahagiaan yang hakiki---seperti cinta dan surga.
Dan pada saat itu, sistem yang paling jelek dalam diri manusia adalah bahwa fakta ekonomi kita bersandar pada lengan produksi dan industrialisasi yang merajai dunia. Pengangguran menjadi fenomena baru---akibat gerakan industrialisasi mekanik, manusia tergantikan dengan komputer dan gadget. Semua dikendalikan di luar gedung dan kantor. Face to face---semakin hilang, sikap masa bodoh boleh jadi “perilaku baru” dalam masyarakat manusia.
Karena itu, fakta sosio-kultural manusia ternyata hidup dalam klise-klise tradisional---yang ujub menjadi manusia modern. Sulit dibayangkan bagaimana keterasingan manusia dalam jumlah besar dan meledak menjadi pengangguran berkelas ningrat. Ideologi pun mulai tergerus secara perlahan dengan ungkapan tanpa ideologi pun kita masih bisa makan. Ini kemudian menjadi campaign bagi manusia yang kehilangan esensinya. Akal sehatnya telah lumpuh diseret oleh kemajuan teknologi. Absurd bukan----??
Memang benar bahwa manusia modern akan mengalami beberapa pertanyaan klasik yang mengganggu, seperti alih-alih bagaimana caranya mempertahankan kearifan serta nilai ketika invasi teknologi datang menyerang kehidupan manusia. Ada secara sadar mengatakan bahwa kita akan bertahan dengan cara manusia berfikir.
Ya, ada benarnya, tetapi tak cukup dengan kekuatan pikiran bukan? Tetapi paling tidak kekuatan yang perlu menjadi pertimbangan menghadapi kemajuan itu adalah---basis sosio kultural yang bisa disebut dengan istilah sense of belonging---dengan cara apa? Tentu membangun kekuatan internalisasi kemanusaan dengan mental dan iman (religion).
Dengan mempertimbangkan laporan dari digital pada tahun 2020 “We are Social and Hootsuite”, dilaporkan Indonesia adalah urutan ketiga pengakses internet setelah China dan India. Indonesia 17% atau 25,3 Juta per tahun. China 25,4%, dan sementara India peringkat pertama 127 Juta per tahun. Dan Indonesia urutan ke 8 dari peringkat terlama menggunakan internet yakni 8 jam per-orang. Filipina 9 jam 45 menit (Peringkat pertama di dunia), sementara di dunia hanya 6 jam 43 menit per-orang. Penggunaan media sosial (medsos) Indonesia di dominasi umur 16-64 tahun dengan kategori penggunaan Youtube 88%, Whatsapp 84%, Facebook 82%, Instagram 79%. Total pengguna kurang lebih 170 juta jiwa artinya 59 % dari jumlah penduduk.
Dari sirkulasi penggunaan medsos dan tingkat penggunaan yang demikian lama (9 jam) maka (bisa) diasumsikan bahwa kalau kemudian aktivitas manusia saat ini sudah demikian tergantung dengan kendali teknologi digitalisasi. bahkan sampai kepada transaksi jual beli pun semua sudah mampu menembus batas-batas daerah dan wilayah terluar di Indonesia, itu menandakan bahwa kehidupan manusia semakin punya ketergantungan yang kuat terhadap teknologi digital.
Dua tahun fase pandemi Covid 19 dari tahun 2020-2022---sebagai pintu utama bagi terbukanya “interaksi maya” termasuk dalam transaksi jual beli (shopee, lazada, tokopedia) bahkan di berbagai marketplace lainnya. Dunia pendidikan pun mengalami hal serupa dengan model pembelajaran online (sebagai alternatif) walau tidak menghadirkan substantif dalam metodologi pendidikan, tetapi harus dilakukan sebagai tuntutan kurikulum dan persyaratan akademik.
Penggerusan akan nilai-nilai dan substansi dari sistem pendidikan mulai berawal dari sini, yang seharusnya pendidikan itu adalah adanya sentuhan secara langsung antara “pendidik dengan peserta didik” atau interaksi langsung manusia dengan manusia.
Fenomena ini (bisa) dibilang sebagai klise-klise dalam kehidupan manusia. Sebagaimana ucapan seorang pemikir seperti Erich Fromm ;“Sejarah umat manusia terbentuk karena ketidakpatuhan, dan boleh jadi sejarah umat manusia akan berakhir dengan kepatuhan”, artinya kepatuhan pada teknologi (digitalisasi) akan me-(punah)-kan manusia secara kodrati sebagai manusia yang memiliki akal pikiran, nurani dan insting, termasuk kepekaan (care) sosial, sehingga memunculkan sikap individualistik-egosentrisme yang pada akhirnya menyurutkan peran dan fungsi manusia yang sesungguhnya (baik ia secara individual maupun secara kolektif).
Karena itu peran teknologi setidaknya mampu diimbangi dengan peran dan kekuatan moralitas yang bersumber dari basis ilmu pengetahuan dan agama. Sebagai pesan moralnya “Jika kamu belajar tentang ilmu agama, jangan lupa belajar juga tentang kemanusiaan, agar kamu bukan hanya pandai beribadah, tetapi juga pandai menghargai orang lain di sekelilingmu”.
Sehingga demikian pentingnya ilmu pengetahuan dan agama untuk mengkanalisasi segala sesuatu yang benar dan yang salah, yang lurus dengan yang bengkok, yang terang dengan yang samar-samar, sehingga manusia tak lagi hidup diruang yang klise. Dan ini adalah fenomena manusia dewasa ini. (*)