Tawaran untuk berhaji dengan cepat dari beberapa travel tertentu menciptakan minat besar di kalangan masyarakat, tetapi juga menimbulkan kebingungan yang perlu diatasi.
"Perlu ada klarifikasi yang jelas terkait dengan penggunaan visa ziarah. Jika diizinkan, harus ada ketentuan yang ketat. Jika tidak, maka jangan biarkan ambigu seperti sekarang," katanya.
"Masyarakat Indonesia yang berumur 60 tahun ke atas menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan impian untuk berhaji. Visa ziarah bisa menjadi solusi bagi mereka, tetapi dampaknya adalah banyak calon jamaah haji yang akan menarik dana haji mereka untuk beralih menggunakan visa ziarah. Hal ini akan menjadi masalah serius bagi pemerintah," pungkasnya.
"Menurut pandangan ulama, wukuf dimulai dari tenggelam matahari pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga terbit matahari pada tanggal 10. Namun, penggunaan visa ziarah sering kali membuat jamaah melakukan wukuf setelah Ashar dan Maghrib, dengan mengambil foto di tenda jamaah haji reguler. Meskipun ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, tindakan ini bisa mendapat penolakan sosial karena haji dianggap sebagai meningkatkan nilai sosial dan gaya hidup," tambahnya.
"Saat ini, belum ada regulasi yang jelas terkait dengan penggunaan visa ziarah oleh travel. Namun, jika visa ziarah dilegalkan, akan berdampak besar terhadap keputusan finansial masyarakat untuk berhaji," tambahnya.
"Kita memerlukan pembaruan dalam regulasi ini. Apakah kita akan terus memberitahu masyarakat tentang haji, sementara tantangan nyata adalah bagaimana memberikan kesempatan kepada mereka yang sudah lanjut usia untuk mewujudkan impian mereka? Saya mendukung legalisasi penggunaan visa ziarah sebagai alternatif untuk berhaji, asalkan ada regulasi yang jelas dan mengikat. Jika tidak, maka larangan harus ditegakkan tanpa kompromi," tandasnya.