Jalan Terjal Para Penantang

  • Bagikan
Pemerhati Politik dan Kandidat Doktor di Unhas, Anis Kurniawan

Oleh: Anis Kurniawan
(Pemerhati Politik dan Kandidat Doktor di Unhas)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Menjadi penantang pada pemilihan kepala daerah (pilkada) gampang-gampang susah. Terlebih bila yang dilawan adalah petahana (incumbent) atau keluarganya.

Kekuatan utama para petahana adalah penguasaan basis politik yang sudah dibangun sejak lama. Selain itu, petahana atau keluarganya umumnya lebih siap dalam membangun koalisi partai pendukung. Sementara penantang, harus berjibaku demi meyakinkan partai politik dari sisi popularitas, elektabilitas dan mungkin perkara isi tas.

Meski begitu, para penantang tidak perlu berkecil hati. Kontestasi politik dalam demokrasi di tingkat lokal acapkali diwarnai kejutan. Tidak sedikit pendatang baru yang awalnya tidak direkeng justru memenangkan pertarungan.

Ada banyak variabel yang menentukan kesuksesan para penantang. Pertama, kemampuan dalam menunjukkan suatu diferensiasi yang kuat dengan petahana. Baik dari segi visi politik, maupun dari personal branding.

Kedua, bergantung pada kondisi perpolitikan dan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja kepemimpinan sebelumnya. Bila petahana atau keluarga petahana, misalnya, memiliki citra negatif, tentu akan menjadi angin segar bagi penantang. Pun sebaliknya, bila petahana memiliki citra baik dan kinerja memuaskan, akan menuntut sesuatu yang lebih dari sang penantang. Meski demikian, variabel politik ini tidak selalu berjalan linear.

Poinnya adalah sang penantang harus memiliki kesiapan yang cukup dari segala hal untuk memastikan dirinya tidak sekadar sebagai aktor pelengkap kontestasi, tetapi bersiap menjadi pemenang. Penantang harus berpikir keras melampaui kerja-kerja politik petahana.
Semua dimulai dari pembacaan kuat terhadap data-data empirik berkaitan dengan kelemahan dan kelebihan selama petahana menjabat.

Juga berkaitan dengan tingkat keberterimaan publik terhadap kinerja petahana. Itulah sebabnya, selalu ada dua jargon pada setiap kontestasi: melanjutkan atau menawarkan kebaruan. Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing. Lagi-lagi, bergantung pada tingkat kepedulian publik pada jabatan kepala daerah.

Pertanyaannya, bagaimana menjadi penantang yang bergerak elegan? Penantang yang elegan adalah penantang yang membuat petahana “merasa” terancam. Hal itu bisa terjadi jika sang penantang secara serius menunjukkan kerja-kerja pemenangan.
Dalam bahasa sederhana dapat dianalogikan, penantang sejati harus memainkan peran sebagai penabuh gendang. Biarkan lawan, terutama petahana atau keluarga petahana yang menari.

Kendali politik harus dipegang oleh sang penantang. Kesadaran akan hal ini, menurut saya adalah starting point yang harus disematkan pada penantang dan timnya. Bila tidak, yang terjadi justru sebaliknya. Kendali kontestasi ada pada pihak petahana atau keluarganya—kandidat lain hanya figuran yang menjadi pelengkap sebuah pementasan politik.

Kerja-kerja pemenangan tidak hanya digerakkan dengan “door to door campaign” yang masif di akar rumput, tetapi juga pergerakannya di dunia maya. Jangan lupa, demokrasi saat ini tidak lepas dari geliat digitalisasi dan era melek sosial media. Produksi kampanye politik penantang sangatlah menentukan. Bila biasa-biasa saja, tentu tidak terlampau berpengaruh pada pemilih.

Diperlukan suatu narasi yang lebih emansipatoris. Perlu kekuatan berkali-kali lipat dan lebih intens ketimbang petahana dalam menemui konstituen. Lagi-lagi, ini bukanlah perkara mudah. Perlu energi besar dan sumber daya besar untuk mengerjakannya. Nyali juga dibutuhkan di sini!

Penantang yang serius berjuang dapat dilihat dari konsistensi mereka membangun narasi perlawanan. Perlawanan yang baik dalam kontestasi politik terlihat dari seberapa militan jejaring pemenangannya bergerak dan mendukung narasi politik yang dibangun dalam kampanye politik.

Oleh karena itu, penantang dalam politik menuntut keberanian lebih dan persenjataan politik yang mumpuni. Beberapa hal perlu dimiliki. Pertama, pembacaan data yang lengkap baik dari segi preferensi politik, peta pemenangan hingga kecenderungan espektasi politik mayoritas. Kedua, struktur jaringan yang lengkap dan militan. Ketiga, kemampuan sumber daya untuk menggerakkan mesin politik dan strategi pemenangan di lapangan.

Penantang perlu serius menggarap progres politiknya, tetapi juga perlu lebih jeli memanfaatkan kelemahan lawan. Dua hal ini harus dikerjakan di waktu bersamaan. Bila semuanya dikerjakan secara sistematis dan terorganisir, bukan tidak mungkin sang penantang akan muncul sebagai pemenang. Jadi, meski tantangan sebagai penantang cukup banyak, harapan itu juga masih terbuka lebar. Sekali lagi, semua bergantung pada pembacaan politik dan kemampuan memilih strategi yang tepat dalam merespons dinamika politik yang berkembang. (*)

  • Bagikan