Seni Tari, Jebakan Utang, dan Keteladanan Mahathir

  • Bagikan

Oleh: Hafid Abbas
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pada pengukuhan 12 guru besar baru Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2024 ini ditandai oleh suasana UNJ yang akan berubah statusnya sebagai PTNBLU ke PTNBH. Dengan suasana itu, pada 23 Juli 2024, UNJ kembali mengukuhkan tiga orang guru besarnya yakni: Profesor Dr Dra Dwi Kusumawardani, MPd, guru besar bidang Ilmu Teknologi Pendidikan Tari, Profesor Dr Gatot Nazir Ahmad MSi sebagai guru besar Ilmu Manajemen Risiko Keuangan; dan Prof Dr I Gusti Ketut Agung Ulupui, SE.,MSi.,Ak.,CA.,ASEAN CPA Bidang Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi UNJ.

Pada orasi ilmiahnya, Prof Dwi mengetengahkan topik “Penguatan Kepekaan Estetika dan Soft Skills Abad 21 dalam Pembelajaran Tari melalui Pendekatan Teknologi Pendidikan” bertumpu pada dua hal yakni: Pertama, tujuan pembelajaran tari yang memiliki kaitan dengan “education through art”, memposisikan seni sebagai media untuk mencapai tujuan pendidikan. Diperkuat oleh Lowenfeld (1982) bahwa aktivitas seni berfungsi untuk mengembangkan berbagai kemampuan dasar dalam diri anak, yaitu: kemampuan fisik, perseptual, pikir, emosional, kreativitas, sosial dan estetik.

Kedua, kepekaan estetik menjadi variabel penting dalam penelitian seni dan berguna melengkapi soft skills Abad 21, karena kepekaan estetik adalah akar dari sikap etis-harmonis dapat memahami dan menghargai (respect) terhadap sesuatu, termasuk menghargai budaya luhur bangsa sendiri dan keberagaman budaya lain. Di dalam proses penciptaan seni atau seni tari kepekaan estetik menjadi pemicu (trigger) untuk menghasilkan ide dan produk seni yang bernilai estetis, artistik dan kreatif. Kepekaan estetik dapat ditumbuhkembangkan melalui aktivitas pembelajaran tari meliputi belajar berpikir, belajar berekpresi, belajar berkreasi dan belajar mengapresiasi yang dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan.

Keempat aktivitas belajar tersebut juga memiliki efek pengiring, di antaranya soft skills berpikir kritis, kreatif, kolaborasi, komunikasi, literasi informasi, literasi media, literasi teknologi, fleksibilitas, inisiatif, produktivitas, dan keterampilan sosial bagi peserta didik. Dalam upaya menciptakan pembelajaran tari yang efektif, efisien, dan menarik, diperlukan keterlibatan Teknologi Pendidikan melalui konsep, prinsip dan praktik baik dalam desain, pengelolaan, dan implementasi yang berorientasi kepada peserta didik.

Kedua, pada hari yang sama, Prof Gusti, mengetengahkan orasinya tentang: “Akuntansi Keberlanjutan untuk Mengelola Reputasi Perusahaan Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.” Dikemukakan bahwa sejalan dengan revolusi industri dan perkembangan era digitalisasi, menyebabkan akuntansi semakin berkembang dan sangat dibutuhkan sebagai media komunikasi informasi keuangan.

Akuntansi akhirnya dikenal sebagai bahasa bisnis yang berperan menyampaikan suatu informasi, sehingga terjalin komunikasi di antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan pemahaman yang sama. Informasi akuntasi dapat membantu pemakainya yaitu manajemen, pemegang saham, kreditur, pelanggan, konsumen, karyawan pemerintah dan masyarakat, untuk menilai dan mengambil keputusan investasi, ekonomi, manajerial dan lainnya yang relevan. Informasi keuangan dalam akuntansi dituangkan dalam pelaporan keuangan yang secara formal terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan modal dan catatan atas laporan keuangan.

Pelaporan keuangan yang berkualitas sangat dibutuhkan oleh para stakeholder untuk pengambilan keputusan. Kualitas informasi akuntansi akan semakin berharga apabila disertai dengan pengungkapan beragam kegiatan dan entitas yang berdampak luas pada pemangku kepentingan khususnya yang terkait dengan perubahan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pengungkapan data dimensi-dimensi tersebut disebut laporan keberlanjutan. Dengan meningkatnya perhatian para pelaku pasar modal dan lembaga rating pada aspek keberlanjutan maka governance juga menjadi konten laporan keberlanjutan yang disebut Environmet, Social and Governance (ESG) reporting.

Dimensi Economy, terkait dengan dampak terhadap kinerja ekonomi, job creation, local community, supply chain, tax dll. Dimensi Environment yaitu dimensi lingkungan hidup, mencakup energi yang digunakan karena setiap perusahaan menggunakan energi dan sumber daya; setiap perusahaan memengaruhi, dan dipengaruhi oleh lingkungan.

Dimensi Sosial, membahas hubungan yang dimiliki perusahaan dengan masyarakat. Dimensi Governance, terkait sistem praktik, pengendalian dan prosedur internal yang diterapkan perusahaan untuk mengatur dirinya sendiri, taat hukum dan memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan eksternal. Setiap perusahaan yang merupakan badan hukum memerlukan mekanisme corporate governance yang dapat diungkapkan pada ESG reporting untuk meningkatkan strata sosial dan reputasi bisnis (UNDP,2024).
Karenanya tidaklah mengherankan jika di Dewan HAM PBB telah menerbitkan "Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework", yang diadopsi melalui resolusi PBB 17/4 pada 16 Juni 2011.

Dunia kini berubah, ke corporate goveranance dengan paradigma: no development without security, no security without development, and no both without human rights. Jika itu dilanggar, korporasi atau negara itu akan menjadi musuh masyarakat internasional.
Kasus penggusuran sekitar 10 ribu penduduk Pulau Rempang untuk pembangunan fabrik kaca oleh China (2023) telah mendapat kecaman masyarakat internasional setelah CNN, BBC, Al-Jazrah mempertontonkan kekejaman aparat menggusur paksa warga masyarakat di sana.

Terakhir, Prof. Dr. Gatot Nazir Ahmad M.Si sebagai guru besar Ilmu Manajemen Risiko Keuangan mengetengahkan tema orasinya: “Model Pengelolaan Risiko untuk Meningkatkan Kinerja dan Nilai Tambah Perusahaan Indonesia.” Konsep pemikiran tentang Model Pengelolaan Risiko di Indonesia yang telah dikemukakan oleh Prof Gatot, bermula dari proses transformasi pemikiran teoritis yang dibangun oleh Modigliani dan Miller (1958) terkait dengan nilai perusahaan, imbal hasil dan risiko.

Pemikiran ini mewujud dalam proposisi kesatu, proposisi kedua, dan proposisi ketiga. Proposisi kesatu menyatakan bahwa kinerja perusahaan di masa depan didasarkan atas besarnya imbal hasil terdiskonto (discounted). Proposisi kedua, imbal hasil perusahaan akan meningkat seiring dengan penambahan utang. Proposisi ketiga, penambahan utang akan memberikan manfaat berupa penghematan pajak.

Proposisi ketiga yang merupakan penyempurnaan proposisi kesatu dan kedua ternyata masih memiliki kelemahan yaitu mengabaikan munculnya potensi kesulitan keuangan atau financial distres. Hal ini tentunya memunculkan model-model alternatif dalam pengelolaan risiko perusahaan, di antaranya Baxter (1967), De Angelo dan Masulis (1980), Kraus dan Litzenberger (1973), Robichek dan Myers (1967), Scott (1976) serta Myers (1984).

Hal menarik yang dapat dipahami dari model-model ini yaitu terkait dengan jumlah utang yang harus dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan yang memiliki utang dengan jumlah optimal akan meningkatkan nilai perusahaan, namun jika terlalu berlebihan utang akan menimbulkan kondisi kesulitan keuangan (financial distress) bagi perusahaan.

Sama halnya satu negara, Uganda misalnya, seperti halnya di sejumlah negara di Afrika, kini menghadapi krisis keuangan (financial distress) akibat dalam satu dekade terakhir, utangnya dari China terus meningkat. Bagi sejumlah negara di Afrika, memperoleh pinjaman dari Barat amat sulit karena harus memenuhi persyaratan good governance, dengan ketatapemerintahannya yang demokratis. Persyaratan seperti itu tidak diperlukan di China.

Yang dipersyaratkan, pinjaman dicairkan jika bahan bangunan dan tenaga kerja yang dipakai didatangkan dari Chnia. Tiga proyek raksasa Uganda yakni pembangunan kretaapi cepat Entebbe-Kampala Expressway, bendungan Karuma Hydropower Dam, Isimba Dam, dan perluasan Entebbe International Airport. Akibatnya pada 2020 lalu, utang Uganda pada China sudah mencapai USD 3 miliar, dan kini terus meningkat.

China tidak seperti negara-negara kreditor Barat, yang memerlukan jaminan (collateral security) untuk memberikan pinjaman ke satu negara. China hanya menuntut negara itu menyerahkan aset-aset utamanya ke China jika gagal membayar utangnya, seperti International Airport Entebbe, Kampala, danau Victoria, danau Kyoga, danau Edward dan danau Albert, dan kekayaan alam lainya diserahkan ke China. Begitulah cara China menguasai satu negara (https://eprcug.org/eprc-highlights/how-uganda-can-avoid-china-debt-trap/.

Hal yang sama pada Desember 2017, dialami oleh Sri Lanka dengan menyerahkan Pelabuhan Hambantota (15,000 acres) dan seluruh kawasan lahan di sekitarnya kepada China selama 99 tahun karena gagal membayar utangnya. Hal yang sama juga dialami oleh Papua New Guinea (PNG), Vanuatu dan Tonga yang kini berada pada cengkeraman jebakan utang (debt trap) China.
Yang menarik, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad membatalkan semua kesepakatan Perdana Menteri Najib Razak dengan China atas sejumlah pembangunan proyek infrastruktur di Malaysia yang dibiayai oleh China dengan alasan ia tidak ingin mewariskan beban utang besar dari China kepada bangsanya di kemudian hari. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version