Oleh: Anies Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dua pekan terakhir ini, demokrasi di Sulawesi Selatan ibarat diselimuti kabut tebal dengan adanya wacana kolom kosong. Simulasi survei terbaru Indikator Politik pada medio Juli ini menunjukkan adanya dominasi kandidat eks Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman.
Sang petahana terpotret menguasai basis elektorat dari simulasi empat kandidat juga menang telak atas kolom kosong. Apakah ini pertanda kuat akan ada fenomena kolom kosong di Pilgub Sulsel 2024?
“Janganlah, ada kolom kosong lagi!”
“Tapi, kalau memang harus kolom kosong lagi, apalah daya!”
Saya mengutip dua respons rekan di sebuah obrolan warung kopi. Poinnya adalah kolom kosong memang menyesakkan dada. Tetapi, secara prosedural formal, kolom kosong dibenarkan sebagai satu opsi dalam kandidasi di tengah riuhnya pola transaksional.
Beragam respons atas kemungkinan fenomena demokrasi ini muncul menjelang Pemilihan Gubernur Sulsel 2024. Ada keprihatinan dan kejumudan. Tidak sedikit yang melihatnya sebagai satu realitas berdemokrasi yang biasa saja dan wajar. Namun, tidak sedikit jua yang mengutuknya sebagai alarm atas terbunuhnya sendi dasar berdemokrasi.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengingatkan kita tentang demokrasi yang mati perlahan dalam bukunya “How Democracies Die” (2018). Kematian demokrasi dapat ditemukan dalam fenomena kolom kosong karena norma-norma politik dan institusi terdegradasi.
Satu di antaranya paling nyata adalah disfungsi partai politik. Dalam demokrasi melawan kolom kosong, tampak jelas adanya tindakan barbarian yang memporandakan tatanan demokrasi. Partai politik dibajak sekadar karcis masuk sebuah pertunjukan. Partai politik kehilangan dirinya, memakan dirinya sendiri dengan lahapnya.
Secara subtantif, kolom kosong sejatinya tidak perlu terjadi. Partai politik harus berdiri tegak menegakkan kedaulatan demokrasi dengan berani mengusung kader-kader terbaiknya. Pemilih tentu menginginkan opsi-opsi kandidat agar ada persandingan dan perbandingan. Kontestasi yang melibatkan setidaknya dua atau lebih kandidat akan memberikan pelajaran berpolitik pada masyarakat, ketimbang jika hanya satu kandidat.
Menjatuhkan pilihan pada kolom kosong pada sebuah kontestasi rasanya suatu pilihan frustatif. Terlebih bila kemunculan kolom kosong didasari oleh pembajakan demokrasi. Kartel politik dalam proses kandidasi sebelum pemilihan betapa pun suatu perbuatan terkutuk.
Dengan demikian, pihak manapun yang menggunakan otorita dan akumulasi sumber daya miliknya memangkas otorita partai sehingga terlahir kolom kosong, sejatinya harus dihukum sebagai pelaku pelanggaran keras dalam “game play” demokrasi. Hukuman itu akan ditunjukkan pada pemilihan melawan kolom kosong.
Meski terlihat lebih gampang meraih kemenangan, melawan kolom kosong sesungguhnya tidaklah ringan. Fenomena kolom kosong pada Pilwali Makassar 2018 adalah pelajaran penting. Saya melakukan riset kualitatif atas dukungan Yayasan Kurawal Jakarta untuk merefleksikan fenomena kolom kosong dalam Pilwali Makassar.
Satu catatan menarik dalam riset tersebut, kolom kosong berpotensi dikonsolidasikan oleh multi-kekuatan—sebagian besarnya adalah kekuatan bersifat “invisible hand”. Fragmentasi kekuatan yang berkelindan di balik kolom kosong tersebut tidak untuk membela para kandidat yang tereliminasi, tetapi untuk ragam kepentingan. Fenomena kolom kosong tidak lebih dari suatu bencana demokrasi yang menyisakan problematika pembangunan di daerah akibat kekosongan kepemimpinan definitif.
Dalam konteks Pilgub Sulsel 2024, tampaknya memang ada settingan dari balik layar mewujudkan kolom kosong demi menghindari kemungkinan head to head. Ini menunjukkan betapa Pilgub Sulsel berpeluang diamputasi oleh kekuatan politik besar. Mencoba mencari jalan paling gampang untuk menang. Sayangnya, pilihan ini akan menimbulkan luka terdalam bagi rakyat Sulsel yang sejatinya terdapat calon-calon pemimpin yang melimpah.
Kita tunggu saja tanggal mainnya, sembari tetap berharap partai politik kembali ke fitrahnya sebagaimana dikatakan Mariam Budiardjo, parpol adalah wahana yang bergerak memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Tentu, dengan mengajukan kader-kader terbaiknya yang memenuhi indikator kepemimpinan yang rasional dan emansipatoris antara lain visioner dan berintegritas. Kita berharap, (jangan) lagi ada kolom kosong lagi-lah! Aamiin! (*)