Mengapa Negara Gagal?

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ini akan menjadi hal terpenting untuk melihat bagaimana peran negara dan penguatan ekonomi global di era posttruth. Globalisasi telah berhasil menyasar peran-peran civilitation (warga negara) di dalam perannya terlibat dalam aksi-aksi market global ekonomi. Digitalisasi sebagai produk globalisasi menyeret manusia melek teknologi dan memaksanya untuk “terlibat” secara langsung dalam pusaran dunia yang tanpa batas.

Ketimpangan dalam ekonomi sesungguhnya berakar dari kapitalisme yang telah menegasikan konsep market yang luas, tetapi penguasaan pasar masih sangat dikendalikan oleh kaum borjuasi (pemilik modal). Marx sebagai pihak yang diklaim sebagai poros sosialisme memandang ketimpangan sebagai siklus dari perilaku kehidupan manusia.

Gap sosial (ketimpangan) antara pekerja dengan majikan (borjuasi dengan proletariat) bagi Marx adalah perlawanan atas kesadaran objektivitas atas realitas. Bagaimana kiblat ekonomi berpihak pada kaum oligarkis (baca Oligarkhi: Jeffrey Winters) menjadi ruang bencana ketimpangan.

Sebab itu pemikiran yang luar biasa dahsyat dan bernas––Steven Levitt, co-author Freakonomics memberi testimoni terhadap tesis dari Daron Acemoglu dan James A. Robinson tentang mengapa negara gagal (why nation fail) yang memikat ini dengan menjawab pertanyaan yang memusingkan para pakar selama berabad-abad.

Kenapa ada negara kaya dan miskin, kenapa harus ada jurang pemisah berupa kemakmuran dan kemelaratan, rakyat yang sehat dan sakit-sakitan, rakyat yang kenyang dan mereka yang dicekam kelaparan? Benarkah perbedaan itu disebabkan oleh faktor budaya, iklim, atau posisi geografi suatu negara? Mungkinkah itu dipicu oleh kebodohan atau ketidaktahuan penguasa tentang arah kebijakan yang tepat bagi kemaslahatan rakyatnya?

Tentu jawabannya: bukan. Berbagai faktor itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kesenjangan yang tadi disebutkan. Teori budaya, iklim, geografi, maupun kebodohan penguasa bukanlah faktor definitif yang menentukan takdir suatu bangsa. Kalau ketiga teori tadi benar adanya, lalu bagaimana kita bisa menjelaskan anomali yang mencolok ini: Botswana berhasil meraih predikat sebagai salah satu negara termaju di dunia, sedangkan negara-negara Afrika yang lain seperti Zimbabwe, Kongo, dan Sierra Leone masih terjebak dan kemiskinan dan kekerasan?

Secara meyakinkan Daron Acemoglu dan James Robinson menunjukkan bahwa kesuksesan atau keterpurukan ekonomi suatu negara ditentukan dan dipengaruhi oleh institusi politik-ekonomi ciptaan manusia dalam negara yang tersebut atau negara yang bersangkutan.

Salah satu contoh paling menarik adalah Korea. Korea Utara dan Korea Selatan memiliki kesamaan budaya, iklim, maupun geografis. Anehnya, rakyat Korea Utara termasuk yang paling miskin di dunia, sementara masyarakat Korea Selatan hidup serba berkecukupan sebagai salah satu negara termakmur di dunia.

Korea Selatan berhasil membangun masyarakat yang menghargai inovasi dan memberikan insentif bagi anak bangsanya yang kreatif dan berbakat, serta membuka peluang yang sama kepada segenap rakyat yang ingin memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang ada. Kemakmuran yang diraih oleh bangsa itu bisa dipertahankan sebab pemerintahnya bersikap akuntabel dan tanggap terhadap aspirasi warga.

Tapi rakyat Korea Utara sungguh menyedihkan. Selama berpuluh-puluh tahun mereka didera kelaparan, pemerintah yang represif, dan perangkat institusi ekonomi yang sama sekali berbeda—dan kondisi itu tetap dipertahankan atau dibiarkan entah sampai kapan. Perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan itu berakar pada masalah politik yang menciptakan arah dan haluan institusi kemasyarakatan yang saling bertolak-belakang.

Berdasarkan temuan dari penelitian orisinal yang mereka lakukan selama lima belas tahun, Acemoglu dan Robinson menghimpun bukti sejarah yang sangat meyakinkan dari Imperium Romawi, bangsa Maya, negara Venesia di Abad Pertengahan, Uni Soviet, Amerika Latin, Inggris, Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika untuk membangun sebuah teori ekonomi politik termutakhir yang sangat tinggi relevansinya dengan berbagai isu besar yang kita hadapi dewasa ini.

Acemoglu dan Robinson tentu tidak ujug-ujug membangun kerangka pemikiran hanya untuk memisahkan kelompok negara yang kaya dan miskin, tetapi keduanya berusaha menelisik lebih jauh peran kekuasaan dalam negara terhadap lkehidupan warga negara didalam bangsanya sendiri.

Apakah praktik kekuasaan yang yang otoritarian, kesewenangan, polarisasi, perusakan hukum, perusakan demokrasi, korupsi serta berbagai praktek kekuasaan yang fatalistik. Kondisi ini menjadi asumsi dasar untuk merespons penyebab negara gagal.

Sekalipun jauh sebelum Acemoglu dan Robinson mendedikasikan pikiran ini Omhae Kenechi sebagai seorang ahli strategi Jepang (dalam buku : Dunia tanpa batas, 1991) di tahun 80-90 an telah secara berani merilis satu pemikiran tentang kegagalan negara yang diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan terjadinya krisis legitimasi politik. Belum lagi adanya ancaman berbagai “teror perdagangan” seperti import negara yang berlebihan dengan pajak yang rendah.

Ketergantungan secara ekonomi—sangat mengganggu urusan politik dalam negeri suatu negara. Secara teoritik dependensi ekonomi akan berdampak pada kebijakan politik suatu negara. Independensi atau kedaulatan suatu negara akan jadi pertanyaan---dan ini bagian dari bentuk penjajahan modern melalui kekuatan ekonomi. Bentuk nayatanya adalah ketergantungan karena utang luar negeri.
Penulis mencoba melacak keterkaitan pikiran masa lalu dan masa depan dengan obyek sengketa negara sebagai instrumen untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara yang baik dan ideal dalam kerangka kehidupan yang demokratis. Pesimisme dan optimisme tentu dua hal yang akan menelanjangi “realitas kekinian” tanpa rasa frustasi.

Optimisme, karena masih tumbuhnya daya kritis dari warga negara (civil society) sekalipun tensinya semakin turun, tetapi aksi protes dengan pidato, aksi massa, tulisan dan diskusi masih terbukti ada. Pertanyaannya adalah apakah semua itu berpengaruh terhadap kondisi negara?, jawabannnya bisa iya bisa tidak, tergantung proporsi dan profesionalisme serta idealisme yang dimiliki. Walaupun krisis ideologi termasuk krisis idealisme cendrung nampak dipermukaan.

Pesimisme dan optimisme keduanya adalah peran spikologi manusia sebagai kodrati. Keduanya akan nampak bila dihadapkan pada satu realitas tertentu. Nah, pesimisme tentu selalu ada ketika “suara dan pendengaran” tidak lagi inheren terhadap keadaan yang ada. dalam pengertian realitas selalu bertentangan dengan idealitas. Negara yang semena-mena, para kaum civil society tak berfungsi---maka pesimisme menjadi jawabannya. Itu manusiawi dan lumrah.

Tetapi kembali ke objek “mengapa negara gagal”, tentu akan banyak variabel yang membersamai kegagalan itu. Dengan meminjam pikiran Omhae Kenechi, Daron Acemoglu dan James Robinson di antaranya ; (1) Utang luar negeri yang menumpuk yang mencapai Rp 8.000 triliun. (2) Korupsi yang semakin merajalela di hampir semua tingkatan lembaga negara dan politik. (3) Hukum yang carut marut. (4) Indeks demokrasi yang semakin turun. (5) Rupiah yang semakin melemah atas Dollar. (6) Kerusakan lingkungan hidup. (7) Tidak berfungsinya secara optimal kontrol politik, termasuk peran partai politik. (8) Melambungnya harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali. (9) Lemahnya penegakan hukum. (10) Kecurangan dalam sistem pemilihan umum. (11) Pajak, BBM, listrik, Gas semua tak terkendali.

Semua variabel tersebut di atas semakin menunjukkan kegagalan di dalam pengelolaan negara. Kata Acemoglu; inilah awal kekuasaan, kesejahteraan, dan kemiskinan. Dan ini telah melanda berbagai negara di dunia termasuk negara berkembang seperti Indonesia.

Dan, kita sedang berada di fase ini. Sebagai sebuah harapan, pemerintahan mendatang di tangan Prabowo Subianto realitas ini kemudian bisa terjawab, walau kondisinya memang berat bagi pemerintahan yang baru, tetapi itu harus dilakukan oleh Prabowo sebagai konsekuensi dari mandatoris dari rakyat. Semoga.!! (*)

  • Bagikan

Exit mobile version