MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengajukan nota keberatan atau banding atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) kelas 1A Makassar, terhadap sejumlah terdakwa kasus dugaan korupsi Pembayaran Ganti Rugi Lahan Pembangunan Bendungan Pasellorang di Kabupaten Wajo tahun 2021.
Pengajuan banding tersebut dibenarkan oleh Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulsel, Soetarmi. Disebutkan, keberatan tersebut dilayangkan sebagaimana ketentuan Pasal 67 KUHAP yaitu terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan pengadilan dalam acara cepat.
"Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sulsel menyatakan keberatan dan selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 67 KUHAP, pada hari Senin lalu (29 Juli 2024), JPU meminta dilakukan pemeriksaan banding," kata Soetarmi saat dikonfirmasi, Jumat (2/8).
Dijelaskan Soetarmi, dalam perkara mafia tanah ini Majelis Hakim Tipikor PN Makassar menjatuhkan vonis ringan terhadap sejumlah terdakwa. Pembacaan putusan tersebut dilakukan pada Jumat (26/7/2024) lalu.
Untuk terdakwa Andi Akhyar Anwar, selaku Ketua Satgas B dari BPN Kabupaten Wajo, Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama 3 tahun, ditambah pidana denda sebesar Rp50.000.000 Subsider 5 bulan penjara dan biaya perkara Rp.5.000.
Putusan ini jauh dari tuntunan JPU Kejati Sulsel terhadap terdakwa Andi Akhyar Anwar yaitu hukuman pidana penjara selama 16 tahun, dikurangkan selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa Andi Akhyar Anwar dengan hukuman denda senilai Rp500.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 10 bulan.
"Termasuk tuntutan pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti senilai Rp9.762.457.651," ungkap Soetarmi.
Selanjutnya terdakwa Jumadi Kadere, selaku Kepala Desa Arajang, Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama 2 tahun ditambah pidana denda sebesar Rp50.000.000, Subsider 1 bulan penjara dan biaya perkara Rp.5.000.
Terdakwa Jumadi Kadere divonis sangat rendah jika dibandingkan tuntutan JPU yakni hukuman pidana penjara selama 10 tahun, dikurangkan selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
Selain itu JPU juga menuntut terdakwa Jumadi Kadere dengan hukuman denda senilai Rp300.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Termasuk pidana tambahan untuk membayar uang pengganti senilai Rp2.920.846.584.
"Sama dengan terdakwa Andi Jusman, Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama 2 tahun, ditambah pidana denda sebesar Rp50.000.000 Subsider 1 bulan penjara dan biaya perkara Rp.5.000," sebutnya.
Menurut Soetarmi, putusan terhadap Kepala Desa Pasellorang ini sangat jauh berbeda dari tuntutan JPU yakni pidana penjara selama 10 tahun, dikurangkan selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa dengan hukuman denda senilai Rp300.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Juga termasuk meminta kepada terdakwa Andi Jusman untuk membayar uang pengganti senilai Rp. 2.667.471.633.
Begitupun dengan terdakwa Ansar, selaku anggota Satgas B dari Perwakilan Masyarakat, Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama 2 tahun ditambah pidana denda sebesar Rp. 50.000.000, Subsider 1 bulan penjara dan biaya perkara Rp.5.000.
Padahal, sebelumnya JPU telah membacakan surat runtutan agar terdakwa Ansar dihukum dengan pidana penjara selama 6 tahun, dikurangkan selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Juga menuntut terdakwa diberi hukuman denda senilai Rp300.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan dan menuntut pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti senilai Rp1.830.071.316,
Selanjutnya, terdakwa Nursiding, selaku anggota Satgas B dari Perwakilan masyarakat, Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara 2 tahun, ditambah pidana denda sebesar Rp50.000.000, Subsider 1 bulan penjara dan biaya perkara Rp.5.000.
Soetarmi bilang, vonis tersebut jauh berbeda dengan tuntutan JPU yaitu pidana penjara selama 6 tahun dikurangkan selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Selain itu JPU juga disebut menuntut terdakwa dengan hukuman denda senilai Rp300.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
"Serta menuntut pidana tambahan terhadap terdakwa Nursiding untuk membayar uang pengganti senilai Rp1.464.861.765," terangnya.
Sama terdakwa Nundu, selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat, Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama 2 tahun ditambah pidana denda sebesar Rp50.000.000, Subsider 1 bulan penjara dan biaya perkara Rp.5.000.
Padahal, dalam tuntutan JPU yang dibacakan sebelumnya disebutkan terdakwa dihukum pidana penjara selama 6 tahun dikurangkan selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa Nundu hukuman denda senilai Rp300.000.000, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Serta menuntut memberikan pidana tambahan terhadap terdakwa Nundu untuk membayar uang pengganti senilai Rp3.472.613.125.
Kronologi Kasus
Menurut Soetarmi, kasus mafia tanah ini cukup menyita perhatian publik, yaitu bermula adanya kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan bendungan Paselloreng. Lalu para mafia tanah yaitu terdakwa Andi Akhyar memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada tanggal 15 April 2021.
Lalu sporadik tersebut diserahkan kepada terdakwa Andi Jusman selaku Kepala Desa Paselorang untuk ditandatangani dan terdakwa Jumadi Kadere, selaku Kepala Desa Arajang turut menandatangani sporadik untuk tanah eks kawasan yang termasuk di Desa Arajang. Bahwa isi sporadik diperoleh dari informasi dari terdakwa Nundu, terdakwa Nursiding dan terdakwa Ansar, Selaku anggota Satgas B dari Perwakilan masyarakat yang mana isi SPORADIK yang dimasukkan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses pembayaran ganti rugi lahan pada kegiatan pembangunan bendungan Paselloreng Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan, dengan merubah Peta Penetapan Lokasi yang dikeluarkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nomor : 990/IV/Tahun 2021 tanggal 31 April 2021.
Memerintahkan melakukan pengukuran sebelum disahkannya Tata Batas Kawasan Hutan Laparape-Lapatungo oleh Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor : SK.362/MENLHK/SETJEN/ PLA.0/5/2019 tanggal 28 Mei 2019 tentang Perubahan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.
Yaitu memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Pengusaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) dan Surat Perjanjian secara bersamaan lalu SPORADIK dan Surat Perjanjian tersebut diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselorang dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani.
Sehingga dengan sporadik dan Surat Perjanjian tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah Kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982, tentang Penunjukan Areal Hutan di Provinsi Dati I Sulawesi Selatan, yang didalamnya mencakup Kawasan Hutan Produksi Tetap Kelompok Hutan Laparape-Lapatungo yang kemudian bidang-bidang tanah tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh Satuan Tugas B.
"Akibat praktek mafia tanah yang telah dilakukan para terdakwa mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara senilai Rp75.638.790.623, berdasarkan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dalam kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pembayaran Ganti Rugi Lahan Masyarakat untuk Kegiatan Proyek Strategis Nasional Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kab. Wajo Tahun 2021 Nomor : PE.03.03/SR-987/PW21/2023 Tanggal 28 Desember 2023 yang dikeluarkan oleh Tim Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan," jelas Soetarmi. (Isak/B)