Memilih Pemimpin

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Berbagai perumpamaan yang sering dikaitkan dengan pemimpin. Misalnya, pemimpin itu ibarat sopir bus. Penumpangnya ingin duduk tenang, nyaman, selamat sampai di tujuan. Kini orang menyebutnya dengan duduk manis.
Pemimpin itu ibarat pilot, jika tidak memiliki keahlian dan rasa tanggung jawab tinggi terhadap tugas yang diembannya, dia akan mencelakakan seluruh penumpangnya.

Pemimpin itu ibarat imam dalam salat. Jika tidak punya wibawa dalam hal ilmu dan akhlak, apa lagi jika bacaannya tidak bagus, maka makmum ragu berdiri di belakangnya, khawatir salatnya tidak khusuk. Pemimpin itu pelindung anak buah dan bawahannya, mesti berani mengambil risiko demi keselamatan penumpang yang di pimpinnya.

Ungkapan lama masih berkaitan dengan pemimpin yakni ibarat jarum dan benang. Ke mana pun jarum menuju, maka benang akan mengikuti. Seperti itulah perumpamaan antara pemimpin dan yang dipimpin.

Semua orang berhak dan berbakat menjadi pemimpin. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai tugas mulia, merupakan panggilan suci yang mesti diperebutkan sebagai sarana memperbanyak amal kebajikan dengan melayani rakyat.

Demikianlah dalam kehidupan sosial dibutuhkan berbagai ragam jabatan kepemimpinan baik yang formal atau pun informal, berskala besar atau pun kecil. Yang pasti adalah bahwa semua manusia adalah pemimpin, minimal bagi dirinya sendiri.

Terdapat teori berkaitan dengan pemimpin. Misalnya, teori yang mengatakan bahwa pemimpin itu adalah bawaan sejak lahir. Seperti beragamnya pepohonan yang tumbuh di hutan, tempat berbagai jenis pohon yang tumbuh menjulang tinggi di antara pohon-pohon lain yang pendek dan rendah. Ada pula yang beranggapan bahwa pemimpin itu lahir dan tumbuh berkat pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Di panggung politik, para kontestan baik individu atau parpol sangat agresif mempromosikan diri untuk mendapat simpati dan meraih suara terbanyak dari rakyat melalui figur yang dijagokan. Kondisi seperti ini juga dimanfaatkan dan tidak disia-siakan oleh media, lembaga survei, dan konsultan politik yang turut berperan dalam melahirkan munculkan industri politik.

Semuanya berjalan beriringan satu dengan lainnya karena saling membutuhkan. Terjadilah situasi simbiosis mutualisme, figur dan pengusungnya membutuhkan peranan media, dan media pun butuh figur dan pengusung yang setiap saat dapat diberitakan.

Dalam kontes pemilihan kepala daerah untuk memilih bupati, wali kota, atau gubernur selalu heboh dan menarik perhatian banyak orang, selalu dipandang sesuatu yang sangat penting. Boleh jadi karena masyarakat sudah sangat lelah menyaksikan perhelatan peristiwa lima tahunan berjalan tanpa panduan moral yang memadai untuk melahirkan pemimpin yang kredibel dalam kondisi sosial politik yang pengap. Masyarakat merindukan suasana gembira seperti namanya pesta demokrasi tanpa korupsi, tanpa narkoba, tanpa kriminal, dapat meredam pembengkakan angka pengangguran dan kemiskinan.

Potret pemimpin yang didambakan adalah pemimpin yang memiliki akhlak mulia. Bukan sekadar tata cara bertegur sapa, tapi yang dimaksud dengan akhlak adalah keseluruhan dari aspek kehidupan. Mulai dari cinta pada kemajuan dan ilmu pengetahuan, gemar berpikir dan bekerja keras, bersikap ramah dan menyamakan semua komponen masyarakat, tidak terpasung pada kecintaan kelompok secara sempit, terbuka dan menerima saran yang konstruktif, tidak merasa hanya dirinya yang paling benar dan orang lain salah, peduli terhadap apa yang menimpa masyarakat yang dipimpinnya, tidak berhenti hanya pada slogan dan janji-janji Pilkada yang memberi harapan palsu.

Sungguh menjadi dambaan semua masyarakat, hadirnya sosok pemimpin yang dapat membuktikan ucapan dan programnya dalam wujud nyata bukan hanya janji. Wallahu a’lam bis-sawab. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version