"Ketika hanya ada calon tunggal, kekecewaan menyelimuti pemilih yang merasa pilihannya terbatas, yang dapat berujung pada apatisme atau protes melalui kotak kosong," katanya.
Ibnu Hadjar menekankan bahwa wacana kolom kosong di Pilgub Sulsel merupakan ancaman serius terhadap demokrasi. Kondisi di mana kotak kosong berhadapan dengan calon tunggal dapat dilihat melalui teori legitimasi politik, yang menyatakan bahwa legitimasi pemerintahan menurun ketika pemilih merasa tidak ada alternatif pilihan yang representatif.
Kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar 2018 mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap proses politik yang tidak menawarkan pilihan sesuai kehendak rakyat. Ini mengindikasikan bahwa demokrasi di daerah tersebut perlu direformasi agar lebih inklusif dan representatif.
"Jika skenario kotak kosong vs calon tunggal kembali terjadi di Sulsel, ini bisa menjadi tanda bahwa demokrasi mengalami defisit, di mana masyarakat merasa suara mereka tidak dihargai atau diwakili dengan baik," imbuhnya.
Ibnu Hadjar juga menyoroti fenomena partai yang dibajak dan tidak mengusung kader sendiri sebagai tanda adanya pengaruh oligarki dalam politik. Partai yang dibajak oleh kepentingan tertentu cenderung lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada kepentingan jangka panjang yang lebih inklusif.
Untuk mengatasi masalah ini, Ibnu Hadjar menyarankan agar partai politik memperkuat struktur internal dan proses kaderisasi serta menegakkan prinsip demokrasi internal agar lebih responsif terhadap aspirasi anggotanya dan masyarakat luas.