Secara keseluruhan, situasi politik di Sulsel membutuhkan perbaikan sistemik untuk memastikan demokrasi berjalan sehat dan inklusif. Reformasi diperlukan untuk meningkatkan transparansi, memperkuat partai politik, dan membuka lebih banyak ruang partisipasi bagi masyarakat.
"Dengan demikian, demokrasi di Sulsel dapat terhindar dari ancaman oligarki dan menuju pemerintahan yang lebih representatif dan akuntabel," ujar Ibnu Hadjar.
Ia kemudian menambahkan bahwa fenomena kotak kosong yang memenangkan Pilkada Makassar 2018 dengan sekitar 53% suara menjadi bukti nyata bahwa masyarakat resisten terhadap kandidat yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi mereka.
"Kejadian ini menunjukkan ketidakpuasan pemilih terhadap pilihan politik yang tersedia dan memperingatkan akan bahaya demokrasi yang tersandera oleh elitisme," jelasnya.
Ibnu Hadjar menekankan pentingnya adanya calon tandingan di Pilgub Sulsel untuk memberikan ruang bagi demokrasi. Menurutnya, dalam teori demokrasi liberal, kompetisi dalam pemilihan merupakan elemen vital untuk menjamin akuntabilitas dan responsivitas pemerintahan.
Kehadiran calon tandingan dalam Pilgub Sulsel sangat penting untuk menciptakan dinamika politik yang sehat, memicu debat publik, dan menawarkan kebijakan yang lebih baik.
Contohnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh di mana persaingan ketat antar calon gubernur menghasilkan partisipasi pemilih yang tinggi, mencapai sekitar 77%. Ini membuktikan bahwa adanya calon tandingan memotivasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses politik.