MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Polemik kepengurusan di tubuh Partai Golkar berimbas pada rekomendasi yang telah dikeluarkan untuk mengusung calon pada pemilihan kepala daerah. Ironisnya, sesama kader tak satu suara menyikapi keputusan yang telah diambil oleh Airlangga Hartarto, saat masih menjabat sebagai ketua umum.
Ada yang menginginkan rekomendasi yang telanjur keluar tidak diubah, pun ada yang mendesak dilakukan peninjauan ulang. Pelaksana tugas ketua umum Golkar yang terpilih akan jadi penentu untuk meredam badai yang menghantam pohon Beringin dua pekan jelang pendaftaran kandidat kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum.
Keputusan Airlangga Hartarto yang mundur sebagai ketua umum Partai Golkar jelang pilkada serentak menjadi ujian soliditas kader di daerah, termasuk di Sulawesi Selatan. Sejumlah kader di daerah tak satu suara menyikapi rekomendasi atau kandidat yang diusulkan maju di Pilkada.
Tak hanya itu, fokus Golkar dalam memenangkan usungannya di Pilkada tentu akan terbagi di tengah persiapan Munas. Belum lagi potensi gerbong kosong lantaran usungan yang ditetapkan DPP tak sesuai keinginan kader di daerah.
Wakil Ketua Golkar Sulsel, Arfandi Idris mengatakan adanya pergeseran kepemimpinan di DPP jelas sangat berdampak pada struktur organisasi, terutama pada rekomendasi calon kepala daerah. Menurut dia, rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh Airlangga bisa saja batal.
"Karena berkas rekomendasi yang disetor untuk mendaftar ke KPU itu harus diteken oleh ketua umum dan sekretaris jenderal definitif, bukan pelaksana tugas," ujar Arfandi, Selasa (13/8/2024).
Menurut Arfandi, pimpinan Golkar yang nantinya terpilih menggantikan Airlangga harus mengevaluasi rekomendasi yang telah dikeluarkan, termasuk dukungan kepada bakal calon gubernur Sulawesi Selatan. Menurut dia, perubahan pucuk pimpinan itu dengan sendirinya juga mempengaruhi kebijakan dan evaluasi penilaian.
"Cuma, manfaatkan waktu yang relatif singkat ini menjelang pendaftaran ke KPU," imbuh Arfandi.
Dia mengatakan, dukungan Airlangga kepada salah satu calon di Pilgub Sulsel dinilai tidak sejalan dengan aspirasi kader yang ada di daerah. Itu sebabnya, keputusan tersebut dinilai patut dievaluasi.
"Setidaknya partai mengusung fogir yang telah diberi surat tugas. Bukan malah mendukung figur lain yang tidak mendapat surat tugas terlebih bukan kader partai. Masak ada yang bekerja, tapi orang lain yang menikmatinya," ketus Arfandi.
Menurut dia, pengurus DPP selama ini tidak banyak tahu soal wilayah dan karakteristik setiap daerah. Utamanya, kata dia, figur kader terbaik yang menguasai wilayah untuk menjadi tempat pertarungan.
"Pilkada lalu keputusan ada di di pimpinan DPP, tetapi dalam pengesahan sebagai calon disesuaikan tingkatannya. Umpamanya calon bupati atau wali kota di DPD II, calon gubernur di DPD I. Sekarang semua terpusat di DPP," ucap Arfandi.
Seorang kader senior Golkar Sulsel, Armin Mustamin Toputiri mengatakan keputusan DPP menimbulkan gejolak dan dilema sesama kader di daerah. Menurut dia, kader partai lain yang didukung Golkar di Pilgub Sulsel akan memilih membantu partainya di pilkada kabupaten dan kota.
"Kader Golkar yang bertarung di daerah akan berhadap-hadapan dengan pesaingnya dari partai lain yang notabene saling berkoalisi di tingkat Pilgub Sulsel," ujar dia.
Armin mengaku mengaku tak tahu bagaimana mensiasati fakta politik saat ini terjadi. "Kita lihat saja nanti, seperti apa hasilnya," imbuh dia.
Dia juga menyebut keputusan DPP Golkar mendukung salah satu pasangan calon sebuah paradoks meski Golkar butuh memang butuh koalisi di Pilgub Sulsel. Hasrat DPP agar usungannya yang memenangi pertandingan dengan melihat survei akhirnya mengabaikan potensi kader yang telah diberi surat tugas.
Kader yang sebelumnya diberikan surat tugas tersebut, yakni mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (IAS), Ketua Golkar Sulsel Taufan Pawe, Waketum DPP Nurdin Halid, Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan, dan Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani.
Arfandi mengatakan, paradoksnya, karena ada lima kader Golkar sebelumnya diberi surat tugas untuk mensosialisasikan diri. Dan hasil survei membuktikan tingkat keterpilihan di antara mereka cukup menjanjikan.
"Tak kalah bersaing dengan figur dari partai lain. Tapi DPP Golkar malah justru mengusung figur lain dan atau kader dari parpol lain," ucap mantan legislator DPRD Sulsel itu.
Sementara itu, Wakil Ketua Golkar Sulsel, Nasran Mone mengatakan terjadinya pergantian ketua umum DPP Golkar tidak berdampak signifikan terhadap perubahan rekomendasi yang sudah diterima sebagian besar oleh calon kepala daerah.
"Rekomendasi pilkada sangat kecil kemungkinan berubah," kata Nasran.
Dia mengakui bahwa meskipun dalam surat rekomendasi yang diterima calon di semua tingkatan diteken oleh Ketum Airlangga Hartarto dan Sekjen, namun legalitas pendaftaran adalah ketua definitif dan sekjen, bukan Plt.
"Meskipun pergantian ketua umum tapi tidak serta merta rekomendasi juga diubah. Apalagi soal pilkada waktu pendaftarannya singkat," ucap dia.
Adapun, Ketua Golkar Kabupaten Barru Mudassir Hasri Gani mengatakan dalam penetapan pasangan bakal calon bupati Barru dirinya tidak dilibatkan oleh DPP. Padahal dia mampu menjadikan Golkar sebagai pemenang sekaligus merebut kembali kursi ketua DPRD.
"Sebagai ketua Golkar (Barru) dan ujung tombak partai ini dalam persoalan Pilkada ini kami tidak dilibatkan. Rekomendasi yang keluar itu tidak memiliki kontribusi untuk membesarkan Golkar di Kabupaten, ada kader tapi tidak aktif," kata Mudassir.
Dirinya menyebutkan dirinya hanya disuruh bagaimana memenangkan partai Golkar di Kabupaten Barru. Tapi partai berlambang pohon beringin rindang ini tidak memberikan nilai plus kepada dirinya.
"Kami ini seperti habis manis sepa dibuang. Coba apa apresiasi partai kepada saya? saya tidak pernah dipanggil, duduk sama-sama tidak pernah, masa begini caranya Golkar. Kalau duduk bersama dan ada penjelasan dari DPP begini, pasti kami akan tegak lurus," ujar dia.
Bahkan Mudassir menginginkan rekomendasi yang didapatkan oleh Andi Ina Kartika Sari-Abustan dibatalkan dan diharapkan bagaimana memberikan rekomendasi kepada kader yang bekerja. "Harapan saya memang seperti itu (rekomendasi Golkar dibatalkan)," imbuh dia.
Sedangkan, Ketua Golkar Sinjai, Andi Kartini Ottong mengatakan memang saat ini dia belum mendapatkan rekomendasi bentuk B1-KWK walau dia sudah berpasangan dengan kader Gerindra Muzakkir. Namun dirinya optimasi bisa mendapatkan rekomendasi tersebut.
"Insyaallah tidak ada perubahan, kan saya yang mendapatkan surat tugas dan hasil survei pertama dan kedua yang dilakukan oleh DPP, saya paling tertinggi," kata Kartini.
Potensi parpol dibegal, mantan wakil bupati Sinjai ini menyebutkan dirinya percaya diri tidak ada yang bisa membegal Golkar. "DPP sudah melihat hasil survei dan saya yang berpotensi," ucap dia.
Untuk rekomendasi, Andi Kartini menyebutkan ada tiga parpol akan mengantarkan dirinya ke KPU. "Insyaallah Golkar, Gerindra dan PAN," ucapnya.
Kepastian rekomendasi keluar, Andi Kartini menyebutkan dua partai ini menunggu rekomendasi Golkar dulu. "Kalau sudah ada rekomendasi keluar dari Golkar, insyaAllah Gerindra dan PAN nyusul," kata dia.
Direktur Profetik Institute Asratillah melihat di Partai Golkar tidak ada pemegang saham utama, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun DPP. Bahkan di Golkar memiliki faksi-faksi seperti di Sulsel ada gerbong Taufan Pawe dan gerbong Nurdin Halid.
"Di daerah pun juga ada, seperti di Takalar. Ada kader yang dukung Zulham dan ada kader yang dukung Fachruddin Rangga. Begitu juga di Barru. Ini semua corak partai Golkar yang tidak memiliki saham utama, ini juga hal biasa di Golkar," kata Asratillah.
Berubahnya nakhoda Golkar di tingkat DPP, kata Asratillah, membuat rekomendasi bisa berubah karena kader yang diprediksi gagal maju bisa melakukan lobi-lobi. Seperti Nurhaldin di Parepare yang berupaya merebut rekomendasi dari istri Taufan Pawe, Erna Rasyid Taufan.
"Pastinya ada yang akan melakukan manuver pascamundurnya Airlangga dan pasti ada kemungkinan-kemungkinan baru di Golkar. Tergantung gerbong di Sulsel ini yang mana memiliki peluang menjadi ketua umum," ujar dia.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan jadwal dan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024. Berdasarkan PKPU Nomor 2 Tahun 2024, pelaksanaan pemungutan suara akan digelar pada Rabu, 27 November 2024.
"Jadi, sesuai jadwal pendaftaran calon kepala daerah serentak dibuka mulai 27 hingga 29 Agustus mendatang. Ini gubernur, wali kota, dan bupati beserta masing-masing wakilnya," jelas Ketua KPU Sulsel, Hasbullah.
Lantas bagaimana mekanisme syarat pendaftaran cakada. Terkait rekomendasi B.1-KWK merupakan form yang digunakan Bapaslon untuk mendaftar di KPU menjadi Calon Kepala Daerah (Cakada). Apakah perlu diteken langsung oleh Ketua umum dan Sekjen aktif. Atau bisa oleh PLt Ketum? Misalnya seperti Golkar, ketumnya mengundurkan diri.
Hasbullah menegaskan bahwa sebenarnya rekomendasi yang sah diteken oleh Ketum dan Sekjen aktif. Hanya saja di internal parpol memiliki mekanisme, oleh sebab itu saat pendaftaran, KPU akan melakukan pencermatan dan verifikasi.
"Semua parpol punya mekanisme organisasi, siapa yang didaftar pada saat tanggl 27-29 Agustus itu yang kami akan verifikasi," ujar Hasbullah.
Diketahui saat ini, pada bakal calon Gubernur Sulsel dan cakada di 24 daerah bergerilya melengkapi syarat dukungan untuk mendaftar di KPU. Pihak KPU Sulsel dan Kabupaten/Kota se-Sulsel juga telah melakukan sosialisasi tata cara pendaftaran calon kepala daerah yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2024 tentang pencalonan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil upati, wali kota, dan wakil wali kota.
"Sosialisasi sudah kami lakukan dan koordinasi kepada pemangku kepentingan di daerah tentang pendaftaran bakal calon. Ini juga ke parpol dan masyarakat luas," tuturnya.
Hasbullah mengatakan sesuai dengan aturan partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusung bakal calon gubernur dan wakil gubernur jika kursi mereka di DPRD Provinsi Sulsel lebih dari 20 persen atau 25 persen dari total jumlah suara partai atau gabungan yang duduk di DPRD Sulsel 2024.
"Proses tahapan pencalonan ini krusial karena bakal calon nantinya akan menjadi calon kepala daerah. Kalau syarat Pilgub itu 17 kursi, sedangkan Kabupaten dan Kota kan berbeda quota," kata dia.
Anggota KPU Sulsel, Ahmad Adiwijaya mengatakan pendaftaran yang sudah dekat, pihak KPU tetap berpatokan pada aturan PKPU yang berlaku.
"Kami KPU patokan sesuai ketentuan, yang bertanda tangan adalah Ketua dan Sekjen yang diatur dalam PKPU nomor 8 tahun 24 tentang pencalonan kepala daerah," ujar Adiwijaya.
B.1-KWK merupakan form yang digunakan Bapaslon untuk mendaftar di KPU menjadi Calon Kepala Daerah (Cakada). Tanpa form bermaterai 6000 itu, dukungan partai dianggap belum sah.
Perlu diketahui, SK partai tidak bisa digunakan mendaftar tetapi form B.1-KWK yang digunakan. Dalam hirarki surat-menyurat kepartaian secara umum dikenal Surat Tugas (ST), Surat Rekomendasi (SR), Surat Keputusan (SK), dan yang paling tinggi B.1-KWK.
Beberapa partai menggunakan nomenklatur berbeda dalam surat-menyurat untuk dukungan. Tetapi tetapi secara jenjang memiliki makna yang sama. Sehingga SK partai, tidak bisa digunakan mendaftar di KPU. Di atas SK partai masih ada satu model surat lagi yakni form B.1-KWK yang merupakan legetimasi dukungan resmi partai ke Bapaslon. (suryadi-fahrullah/B)