"Kita juga bisa melihat bahaya yang lebih dalam melalui lensa teori Kritis dari Jürgen Habermas. Demokrasi bukan hanya tentang pemilihan umum, melainkan tentang ruang publik di mana diskusi bebas dan terbuka terjadi," jelasnya.
Ketika diskursus ini dipermainkan oleh elit politik, masyarakat kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam debat yang bermakna. Mereka menjadi teralienasi dari proses politik, merasa tak berdaya, dan akhirnya menjadi apatis, skeptis, atau bahkan memilih golput sebagai bentuk protes diam.
Namun, ancaman ini lebih dari sekadar hilangnya kepercayaan. Ketika masyarakat merasa bahwa pilihan mereka tidak dihargai, bahwa proses demokrasi telah menjadi permainan bagi para elit, legitimasi pemerintahan yang terpilih pun terancam.
"Dalam teori Max Weber, legitimasi adalah jantung dari otoritas yang sah. Tanpa legitimasi, pemerintah kehilangan dasar moral dan sosial untuk memerintah, dan krisis kepercayaan ini bisa berujung pada instabilitas yang lebih luas," jelasnya.
Skenario calon "boneka" ini bukan hanya ancaman bagi Pilgub Sulsel 2024, tetapi juga cermin dari krisis yang lebih besar dalam demokrasi kita. Pilgub Sulsel tidak hanya dihadapkan pada pilihan yang palsu, tetapi juga pada masa depan yang suram di mana demokrasi kehilangan maknanya. Oleh karena itu, kewaspadaan kita sangat penting.
"Masyarakat harus bersuara, menolak manipulasi ini, dan menuntut proses politik yang benar-benar adil dan transparan," sebutnya.
Sebelumnya, juru bicara pasangan Andi Sudirman-Fatmawati, Muhammad Ramli Rahim (MRR), menyampaikan bahwa pihaknya tidak menghendaki adanya calon tunggal atau kolom kosong, tetapi memberikan ruang bagi calon lain untuk bertarung.