Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR,RAKYATSULSEL - Sejarah mencatat bahwa istilah hermeneutika dalam pengertian sebagai “ilmu tafsir” mulai muncul pada abad ke-17. Istilah tersebut dipahami dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermenutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami.
Hermeneutika sesuai dengan arti etimologisnya disebut sebagai teori penafsiran, baik terhadap semua ekspresi kebahasaan maupun bukan. Stanford Encyclopedia (2004) mendefinisikannya sebagai teori umum penafsiran yang sejarahnya dapat ditelusuri ke zaman Yunani Kuno. Namun, sejak abad pertengahan di Eropa hingga pertengahan abad ke-18 M hermeneutika dipersempit hanya sebagai cabang kajian Bibel.
Hingga abad ke-18 tokoh-tokoh hermeneutika di Eropa kurang memberikan perhatian pada persoalan estetika dan sastra. Filsuf yang mulai mengemukakan pentingnya sastra sebagai pokok penelitian hermeneutika adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (selanjutnya disebut F.E.D. Schleiermacher, 1768-1834).
Pemikirannya menandai babak baru sejarah hermeneutika sekaligus awal kemunculan hermeneutika filsafat. Karena itu, dia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci.
Kemudian, Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Lalu, Hans-Georg Gadamer mengembangkan hermeneutika menjadi metode filsafat, terutama dalam bukunya yang terkenal Truth and Method.
Selanjutnya, hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh para filsuf, seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Perkembangan hermeneutika ini merambah ke berbagai kajian keilmuan.
Ilmu yang terkait erat dengan kajian hermeneutika adalah sejarah, filsafat, hukum, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.
Berangkat dari pemahaman secara universal tentang hermeneutika yang bermakna tafsir terutama dalam mengamati teks, tulisan dan pembaca tentu akan menghidupkan cara-cara kita berfikir secara kritis. Karena itu heremeneutika sangat memungkinkan kita pakai sebagai instrumen untuk memahami teks-teks yang ada baik yang verbal maupun yang nonverbal.
Hermeneutika demokrasi?
Soal-soal politik dan demokrasi begitu amat penting di daras untuk menemukan sesuatu dibalik teks, konteks serta diskursus yang menyertainya. Pesan-pesan politik yang disampaikan lewat pidato, diskusi, dialog serta orasi adalah bagian dari hermeneutika—yakni menyampaikan pesan sebagaimana tugas Hermes dalam mitologi Yunani klasik. Pada konteks demikian maka publik memiliki ruang untuk menafsirkan pesan-pesan yang disampaikan oleh para politisi termasuk penguasa.
Semiotik kata maaf misalnya—tentu berbeda dengan kata “maaf” dari seorang Nelson Mandela dimana Afrika Selatan hanya dibangun dengan kata maaf tanpa berbagai apologi-apologi politik yang berlebihan. Maaf dalam pandangan secara literal mengandung makna tentang ketulusan, kejujuran serta integritas seorang pemimpin.
Jokowi dan Kata Maaf
Belakangan ini begitu ramai reaksi berbagai pihak baik yang mendukung maupun yang berseberangan tentang kata maaf dari seorang Jokowi disetiap event politik termasuk dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2024 dengan empat kali mengucapkan kata maaf kepada rakyat atas kepemimpinan 10 tahun ini. Dengan berbagai kelemahan dan capaian-capaian. Tetapi kata maaf itu justru menimbulkan efek “bola salju” yangdieksankan hanya sebagai gimmick dan upaya menuai simpatik publik.
Di berbagai ruang termasuk di ruang publik (media sosial) berseleweran diksi negatif ; perlukah dimaafkan?, tidak ada maaf bagimu, maaf hari ini besok berkelakuan bejad lagi---demikian suara-suara publik dengan berbagai sentimen. “Maaf,” sepertinya menjadi alat gebuk rakyat terhadap penguasa, dan “maaf,” sebagai alat berbelas kasih penguasa pada rakyatnya. Dasar-dasar publik dengan berbagai argumentatif itu tentu didasari dari hal ikhwal dari cara kita memahami hermeneutika dalam kehidupan politik.
(1) Secara literal, fakta-fakta kerusakan sistem demokrasi dan hukum lewat tangan-tangan (jejaring) kekuasaan begitu massif terlihat diruang publik. Misal ; MK, MA, adanya berbagai produk hukum diubah demi melanggengkan dinasti politik kekuasaan. Termasuk belakangan ini hasil PTUN terkesan ingin mengembalikan posisi ketua MK (ipar presiden) Anwar usman. Ini bagian dari pesan operandi politik menjelang pilkada—yang memungkinkan sengketa pilkada akan ditangani oleh bagian dari dinasti politik yakni Anwar usman.
(2) Secara moral, dengan adanya berbagai kasus hukum dan politik—seperti KPK dengan berbagai polemik kasus yang menimpanya mulai dari ketua hingga pegawainya yang terendus pungli di rutan KPK menjadi momok yang memalukan sekaligsu mencoreng marwah penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Ini sebuah kecacatan secara moralitas dalam dimensi hukum bagi penegaknya.
(3) Secara alegoris, adanya kekuatan kontrol politik dalam hal ini netizen (publik) yang menggunakan media sebagai alat kontrol sekaligus alat perjuangan---memberi efek sosial yang luar biasa. Seperti pelepasan jilbab bagi pasukan pengibar bendera (Paskibraka) oleh BPIP, sehingga mengundan berbagai pandangan sehingga aturan itu dianulir dan kembali memakai jilbab bagi peserta Paskibraka. Artinya ada simbol yang dimiliki oleh publik untuk melakukan kontrol politik dengan berbagai cara dan simbol kritik kepada penguasa.
(4) Secara anagogis, kekuatan spritualis atau kelompok agama yang kuat memiliki pengaruh besar untuk melakukan kontrol politik, karena posisi itu memungkinkan lebih kuat dari makna literal suatu teks. Terkecuali kalau kelompok “agama” sudah menjadi bagian kaki tangan kekuasaan untuk menina-bobokkan kekuatan agama dalam frame demokrasi.
Karena itu begitu pentingnya hermeneutika untuk melacak berbagai dimensi teks, konteks dan bahasa politik penguasa. George Orwell “Politik dirancang untuk berbohong agar terdengar jujur, dan pembunuhan pun didesain agar terlihat terhormat.”
Jokowi (mungkin) Tidak Salah
Dalam perspektif Jean Baudrillard dalam “The Agony of power” tentang ambisi, hegemoni, Dominasi dan teror---Jokowi sedang berada disimpang itu. Psikologi kekuasaan mulai sedang terganggu diakhir-akhir masa jabatan. Akankah megaproyek seperti IKN akan tetap berlanjut di era Prabowo Subianto?—dengan memperhatikan gestur dan tutur dari Prabowo saat di wawancarai (didampingi jokowi dan Pratikno), banyak hal yang menjadi tanda tanya tentang keseriusan pemerintahan baru untuk meneruskan proyek ini.
Bagaimana dengan anak dan menantu setelah usai masa jabatan?, akankah tetap menjadi bersinar atau remuk redam ditengah kekuatan politik baru dilingkaran Prabowo sebagai pengendali pemerintahan yang baru.
Dan bagaimana pula berbagai kasus-kasus politik selama 10 tahun? didiamkan, atau akan terbongkar pasca lengser?---semua itu adalah beban psikologi bagi Jokowi saat ini. Kata Sigmund Freud disebutnya sebagai kecemasan neuritic. Akankah sandera-sandera politik akan terseret di ruang hijau KPK atau Kejagung?
Ataukah sandera-sandera politik itu akan menggelar konser terbuka sehingga naynyian dan tariannya terdengar oleh publik, sehingga siapa yang benar dan salah, siapa yang korup dengan tidak korup akan terbongkar. Ini fenomena yang menakutkan setelah 20 oktober 2024 terjadi peralihan pemerintahan yang lama ke yang baru.
Fenemona menebang “pohon beringin” di tengah gonjang ganjing menjelang pilkada---juga mengundang tafsir hermeneutika untuk melacak benarkah ada tangan Jokowi dibalik pengunduran diri Airlangga Hartarto? Dan ada pesan politik terselubung dengan isu kasus hukum yang dideranya.
Ini juga bagian dari cari tempat berteduh atau berlindung setelah semua payung kekuasaan tidak lagi menaunginya. The agony of power dari seorang Jokowi akan menemukan jalannya. Saat semua mantan presdien memiliki partai politik sebagai kekuatan politik—maka (sepertinya) Golkar akan menjadi perebutan sebelum 20 Oktober tiba waktunya.
Plato---“seseorang itu tidak salah tetapi hanya melakukan kekeliruan”. Dan (mungkin) Jokowi sedang di fase perkataan Plato. (*)