MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulawesi Selatan (Sulsel) berencana akan menggalang perusahaan melaksanakan Job Fair untuk masyarakat. Hanya saja, program itu mendapat sorotan aktivis buruh dan difabel.
Di mana, kata mereka ada beberapa poin penting mesti diantisipasi sedini mungkin terkait dengan kesejahteraan para para pekerja yang akan direkrut nanti.
Perwakilan Dewan Pengupahan Provinsi Sulsel Yani Maryani mengatakan rencana job fair dari pemerintah tentu merupakan salah satu upaya yang sangat baik untuk memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengakses informasi terkait dengan pekerjaan yang terbuka.
Hanya saja kata dia, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan poin krusial terutama terkait dengan kesejahteraan para karyawan dan karyawati yang direktur pada momentum itu.
Seperti terkait dengan kejelasan kontrak bagi para pencari kerja yang berhasil menjadi tenaga yang terserap oleh perusahaan yang memerlukan jasa dan tenaga mereka.
Sebab kata dia, kejelasan lama bekerja pada kontrak yang dibuat perusahaan menjadi polemik di kemudian hari. Salah satunya status mereka saat akan menjalani pekerjaan sebagai karyawan pada salah satu perusahaan.
“Ketika penerimaan itu sebaiknya perusahaan lakukan adalah bagaimana perjanjian kontrak kerja itu sebelum ditandatangani seperti, apa status pekerjanya,” ujarnya.
Ia melanjutkan, perusahaan kadang menyebarkan pamflet perekrutan tetapi tidak memberikan kejelasan status pekerja dan lama bekerja para karyawan yang akan direkrut mereka.
“Seperti brosur dan lain-lain kan tidak ada tulisan diterima pekerja paruh waktu atau atau kerja pekerja kontrak, bahkan kejelasan standar gaji yang akan digunakan,” ungkapnya.
Hal itu kata Yani mesti menjadi perhatian penuh pemerintah di semua jenjang untuk memastikan kesejahteraan para karyawan dan karyawati.
“Pemerintah harus memastikan kontrak kerja nanti yang dibuat perusahaan dengan para pekerja yang direkrut karyawan, sesuai dengan apa yang disampaikan brosur perusahaan sampaikan,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Balla Inklusi, Abdul Rahman mengatakan pemerintah juga mesti mengawal penerapan undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang hak penyandang disabilitas.
Kata dia, pemerintah mesti menjadi garda terdepan dalam penerapan undang-undang tersebut, terutama dalam hal perekrutan tenaga kerja disabilitas.
Ia menekankan, sebelum memberikan atensi kepada perusahaan swasta, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu menerapkan peraturan tersebut pada proses perekrutan tenaga kerja disabilitas pada jaringan mereka.
Seperti penerimaan tenaga ASN, pun pada penerimaan tenaga kerja pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sejatinya pemerintah sebagai pemilik saham utama.
“Jadi pemerintah juga mesti perhatikan sistem perekrutan tenaga disabilitas, apakah mereka sudah penuhi kewajiban mereka berdasarkan undang-undang tersebut, seperti di BUMD sebelum memberikan titah untuk perusahaan Swasta,” ujarnya.
Perhatian terhadap kejelasan kontrak untuk para pekerja, pun untuk tenaga kerja disabilitas juga menjadi poin penting yang disampaikan oleh aktivis difabel itu.
“Kejelasan kontrak juga harus diperhatikan untuk para tenaga kerja difabel yang berhasil menjadi tenaga kerja pada pelaksanaan job fair,” ungkapnya.
Tak hanya itu, pemberlakukan Upah Minimum Provinsi (UMP) juga harus didapatkan oleh para pekerja Disabilitas.
“Karena itu kan juga bagian dari undang-undang” ungkapnya.
Lebih jauh ia berharap, pemerintah terus melakukan pembaruan pengawalan tenaga kerja untuk disabilitas pada tingkat provinsi Sulawesi Selatan. (Abu/B)