Oleh: Anis Kurniawan
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
(Potongan sajak populis karya Sapardi Djoko Damono)
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Apa ada yang setabah hujan bulan Juni? Jawabnya, ada! Sebut ia “kader partai politik (parpol)”.
Amatilah diorama ketabahan kader parpol jelang pendaftaran kontestan Pilkada Serentak 2024. Mereka tunduk patuh pada perintah partainya, lebih tepatnya “ketua partainya” atau bahkan tangan-tangan kuasa di belakang parpol. Sudah selayaknya mereka patuh pada keputusan partainya.
Namun, kepatuhan itu menjadi menarik dan menggelitik karena beberapa rekomendasi parpol terbaca tidak masuk akal sehat, irasional, absurd bin ajaib.
Sebagai kader tulen yang mungkin bertahun-tahun aktif sebagai “petugas partai” misalnya, sudah selayaknyalah seseorang menjadi percaya diri dapat “menunggangi” partainya sebagai kendaraan politik. Terlebih bila ia seorang petinggi atau wakil rakyat lebih dari satu periode duduk di parlemen di partainya.
Faktanya, tidak demikian. Bahkan untuk seorang “kader” yang memiliki elektabilitas tinggi di daerah, bukanlah jaminan mendapatkan dukungan penuh partainya sendiri.
Padahal, ada bahasa normatif yang sering terdengar bahwa parpol harus mengusung “kadernya” sendiri dalam kontestasi pilkada. Pendeknya, kader-kader partai dengan elektabilitas tinggi dan capaian positif perolehan kursi Pemilu sudah selayaknya memperoleh posisi terbaik dalam penentuan paket pasangan calon.
Di fase pilkada langsung kali ini, Bahasa normatif ini tampaknya tidak berlaku. Kader partai dengan perolehan kursi besar sekalipun harus siap-siap gigit jari atas putusan rekomendasi partainya. Perintah elite partai harus dijalankan dengan saksama dan kader partai harus tabah menjalaninya meski keputusan itu terkesan janggal.
Masyarakat dikejutkan dengan keputusan-keputusan aneh tersebut. Untuk sementara waktu, tidaklah salah bila disimpulkan bahwa kekuasaan elite Jakarta sudah membabi buta dan mengabaikan realitas politik di daerah. Jika demikian adanya untuk apa berjuang dan berjibaku bertahun-tahun sebagai kader parpol?
Apa yang dikatakan ahli komunikasi, Harold D Lasswell dalam terminologi politiknya yang paling populis juga kini layak didaras kembali. Kata Lasswell, politics is who gets what, when and how! Politik adalah perkara siapa mendapatkan apa atau memiliki sumber daya paling besar dalam distribusi kekuasaan.
Jika dimaknai mendalam, seorang kader partai diibaratkan pemegang saham tertinggi di sebuah institusi politik. Kader partai punya jejak kebaikan lebih banyak dan lebih besar yang sejatinya memberi konsekuensi politik bahwa mereka harus mendapatkan porsi lebih besar dalam panggung kontestasi. Namun, apa daya seorang kader partai di daerah, se-kawakan apapun bila disandingkan dengan elite partai di Jakarta?
Untuk konteks pilkada, partai politik sejatinya memberi kewenangan lebih pada kadernya di daerah. Kuasa elite Jakarta yang mestinya patuh pada realitas politik daerah. Dengan demikian, segala rekomendasi dan aspirasi dari daerah justru menjadi pertimbangan inti dalam suatu kandidasi dan Jakarta hanya menyetujui saja.
Begitulah idealnya. Faktanya, tiga ratus enam puluh derajat terbalik. Sekali lagi, logika dasar ini terkacaukan jelang Pilkada Serentak 2024. Keputusan partai menandai diskursus nyata bahwa parpol dikuasai kekuasaan oleh kartel elite Jakarta atau bahkan datang dari luar partai.
Publik akan melihat ini dengan mata telanjang, tetapi tidak punya kemampuan menyuarakannya. Terlebih kader partai bersangkutan yang memang ditutup mulutnya untuk bersuara dan memprotes keputusan partainya sendiri.
Inilah yang membuat koalisi gemuk dan aroma kolom kosong akan mewarnai kandidasi pilkada. Lihatlah pula bagaimana tokoh-tokoh lokal yang didambakan mewarnai kontestasi justru bertumbangan. Sebaliknya, akan ada aktor-aktor tak terpikirkan muncul sebagai kontestan.
Lalu, putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, bilapun dijalankan hanya akan mengacaukan konsolidasi politik di daerah mengingat semakin pendeknya masa pendaftaran calon. Yang terjadi justru proses-proses politik pilkada akan semakin pragmatis dan transaksional.
Bahkan pada kondisi terburuk akan meningkatkan sikap apriori masyarakat terhadap pilkada yang tentu saja akan menurunkan kualitas demokrasi lokal.
Kita tunggu saja, akan seperti apa jadinya pilkada dengan peristiwa “kawin paksa” di mana-mana. Juga fenomena gagalnya tokoh-tokoh penting di daerah ikut berkontestasi. Apakah publik akan ikut-ikutan tabah menjalani pilkada yang seperti ini? Atau mereka akan melampiaskan kemarahan di bilik TPS dengan memilih kolom kosong? Atau lebih ekstrim lagi!
Sayangnya, warga bangsa memang telah dididik berdemokrasi dengan tabah—jauh lebih tabah dari Hujan Bulan Juni yang merahasiakan rintik rindunya pada pohon berbunga. (*)