MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ikatan Alumni Tambang (IKAT) Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) Makassar menggelar sebuah dialog nasional dengan tema Menakar Untung Rugi Relaksasi Kebijakan RKAB di Sektor Minerba Terhadap Perekonomian Negara.
Acara ini diadakan untuk membahas secara mendalam dampak dari kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dalam sektor mineral dan batu bara (minerba) terhadap perekonomian Indonesia.
RKAB merupakan dokumen penting yang wajib dimiliki oleh setiap perusahaan pertambangan di Indonesia. Dokumen ini mencakup rencana kerja tahunan serta anggaran biaya yang harus disusun dan disetujui oleh pemerintah sebelum perusahaan dapat menjalankan operasionalnya. Namun, belakangan ini, pengurusan RKAB menjadi sorotan publik karena dinilai mengalami carut marut dalam prosesnya.
Dalam dialog nasional ini, Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mengutarakan pandangannya mengenai kebijakan RKAB. Menurutnya, meskipun aspek teknis dari RKAB bisa dipelajari dan dikelola bersama, yang menjadi perhatian utama adalah dampak non-teknis yang timbul dari kebijakan tersebut.
"Kalau kita berbicara RKAB secara teknis, itu bisa kita pelajari bersama. Namun, yang lebih penting adalah dampak non-teknisnya. Kami melihat perlunya penghentian sementara pengeluaran RKAB karena tahun lalu kita mengalami over supply nikel," ujar Meidy dalam sesi diskusi tersebut.
Meidy menjelaskan bahwa salah satu sisi positif dari relaksasi kebijakan RKAB adalah meningkatnya investasi, terutama dalam pembangunan smelter-smelter baru. Namun, ia juga memperingatkan adanya sisi negatif yang cukup serius, yaitu risiko eksploitasi sumber daya secara berlebihan tanpa memperhitungkan cadangan yang ada.
"Sisi positifnya adalah kita mengundang investasi. Namun, sisi negatifnya adalah kita bisa kebablasan. Kita tidak menghitung dengan cermat apakah cadangan yang ada cukup untuk memenuhi semua kebutuhan smelter yang telah kita undang. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah untuk menghentikan sementara pengeluaran RKAB agar cadangan tetap stabil dan kita dapat mendukung pabrik-pabrik yang sudah ada," jelas Meidy.
Lebih lanjut, Meidy menekankan bahwa jika pemerintah terus mengeluarkan RKAB tanpa perhitungan yang matang, maka output turunan nikel akan meningkat tajam. Hal ini, menurutnya, akan berakibat pada penurunan harga nikel di pasar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku industri.
"Jika pemerintah terus jor-joran mengeluarkan RKAB, output turunan nikel akan banyak dan harga akan semakin turun. Kita harus melihat ini dari berbagai sisi. Jika harga turun, apa yang akan didapat oleh negara? Apa yang akan didapat oleh pengusaha?" tegasnya.
Terpisah, Ketua IKAT UVRI Makassar Muhammad Faisal mengatakan, kebijakan RKAB ini memberikan dampak pada dunia pertambangan. Apalagi, kondisi perekonomian nasional tengah susah.
"Banyak aktivitas tambah terhenti akibat dari kebijakan ini. Sehingga salah satu rekomendasi kita agar pemerintah melakukan relaksasi," tukasnya. (*)