Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dimulai sejak kemarin dan berakhir pada Kamis 29 Agustus 2024. Bakal calon semenjak melakukan sosialisasi atau pengenalan diri pada masyarakat telah memberikan janji-janji 'manis'.
Bahkan, di saat masa sosialisasi tersebut, sebagai bakal calon tidak sedikit yang telah membagi amplop dan bingkisan sembako. Itulah politik uang (money politics) yang dilakukan secara luas untuk menarik simpati pada event pilkada.
Politik uang adalah salah satu bentuk suap, yang dilakukan terhadap pemilih itu sendiri bersama-sama dengan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu beserta jajarannya.
Musuh utama pesta demokrasi adalah praktik politik uang. Istilah ini bermakna pembelian suara pemilih oleh kontestan pemilu maupun tim suksesnya. Terkadang tim sukses ada yang tidak di SK-kan dengan harapan jika tertangkap basah melakukan pembagian materi, maka dengan mudah akan berdalih tidak mempunyai hubungan dengan kontestan pemilu itu sendiri.
Bahkan modus yang kerap dilakukan adalah melakukan pelatihan dan penggalangan massa dengan dalih belum melanggar aturan hukum terkait pilkada akibat belum ada calon. Padahal, praktik tersebut adalah upaya untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih kandidatnya.
Hal tersebut jika dilakukan jauh hari sebelum tahapan, dengan melibatkan kekuatan berupa sumber daya materi, kekuasaan dan dilakukan setengah dari wilayah cakupan pilkada maka hal tersebut dapat menjadi unsur TSM. Beberapa kali Mahkamah konstitusi (MK) memutuskan sengketa pilkada yang dianggap ada pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).
Bahkan sejarah pelanggaran TSM menjadi buah bibir pasca-MK mengabulkan gugatan penggugat pada Pilkada Kotawaringin Barat. Penggugat langsung ditetapkan sebagai kepala daerah. Untuk kali pertama MK mengambil alih kewenangan KPU.
Hal tersebut diakibatkan oleh peserta pilkada hanya ada dua calon, sehingga jika salah satu paslon didiskulifikasi maka otomatis penggugat menjadi satu-satunya peserta pilkada. Maka tidak seperti keputusan MK lainnya yang juga pernah mengabulkan gugatan sengketa pilkada, MK paling banter memerintahkan penghitungan suara ulang pada sejumlah TPS ataukah melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di suatu wilayah.
Politik uang menyebabkan masyarakat dalam hal ini pemilih kehilangan akal sehat berupa otonominya untuk menentukan kandidat yang terbaik secara rasional, seperti rekam jejak, kinerja, dan janji-janji yang sudah diutarakan.
Pada akhirnya buah dari politik uang adalah pemimpin yang hanya peduli pada kelompoknya dan pribadinya bukan pada konstituennya. Dan, berusaha bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkan pada masa kampanye.
Setali tiga uang dengan mahar atau uang ketuk pintu pada parpol pada penyelenggaraan pilkada. Jadi masyarakat jangan berharap banyak untuk mendapatkan kepala daerah yang mumpuni dan memiliki kapasitas untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sebab proses pemilihan telah ternodai dengan praktek politik uang.
Politik uang yang sudah lumrah dilakukan menjelang pencoblosan adalah “serangan fajar” yang lazim dilakukan pada subuh hari atau beberapa hari sebelum pencoblosan.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi politik uang. Salah satunya adalah tingkat pendidikan dan pendapatan. pemilih dengan kemampuan ekonomi lemah akan memiliki kecenderungan menerima pemberian jangka pendek, sekalipun nilai materinya kecil.
Faktor lainnya adalah politik uang sebagai produk sosial dan kultural masyarakat. Bahkan Bawaslu sudah mengantisipasi modus baru politik uang yang tidak lagi berupa pemberian uang secara langsung, tapi melalui aplikasi berupa uang elektronik, kartu elektronik hingga e-commerce. Yang tentu saja pengawasannya lebih sulit dibandingkan pembagian manual yang lazim dipraktekkan selama ini.
Adapun sanksi pelaku politik uang pada pilkada, berupa sanksi pidana dikenakan berdasarkan tiga kategori waktu, yaitu saat masa kampanye, masa tenang serta pada saat hari H. Dan yang paling berdampak pada pelaku adalah sanksi diskualifikasi pada pasangan calon yang dikampanyekan.
Semoga dengan pendidikan politik yang masif kita harapkan masyarakat kita menjadi pemilih yang cerdas, yang memilih calon didasarkan pada pertimbangan rasional. Bukan lagi karena pemberian materi. (*)