Ketimpangan Sosial

  • Bagikan
Darussalam Syamsuddin

Oleh: Darussalam Syamsuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Salah seorang sahabat Nabi berjalan di sebuah lembah yang airnya jernih dan udaranya sejuk. Lembah itu sangat memesona bagi siapa saja yang menyaksikan. Sahabat tersebut bermaksud meninggalkan kehidupan masyarakat, tinggal di lembah itu menghabiskan umurnya hanya fokus untuk beribadah.

Ketika sahabat itu berjumpa dengan Nabi, ia kemudian mengutarakan maksudnya kepada Nabi. Pesan Nabi: “Jangan lakukan itu, keberadaanmu di jalan Allah jauh lebih baik dari pada engkau salat tujuh puluh tahun di rumahmu. Tidakkah engkau ingin Allah mengampuni kesalahanmu dan memasukkanmu ke surga? Berjihadlah di jalan Allah”.

Berjihad di jalan Allah berarti tetap berada di tengah-tengah masyarakat, memelihara keyakinan dan menyebarkan apa yang diyakini itu. Menjadi saksi kebenaran di antara manusia, karena Islam datang tidak hanya mengajarkan umatnya berzikir dan berdoa saja.

Tetapi Nabi diutus untuk mengajarkan umatnya untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, menjelaskan halal dan haram, dan membebaskan manusia dari belenggu yang menindas mereka. Hal ini sering kali dilupakan umatnya.

Keberadaan seorang muslim di tengah masyarakat melanjutkan misi kenabian, memberi petunjuk setelah dia mendapat petunjuk, memperbaiki masyarakat setelah dia memperbaiki diri. Bukan menjadi orang yang rusak dan merusak, bukan pula orang yang sesat dan menyesatkan.

Sejarah telah membuktikan bahwa ada beberapa kelompok dalam masyarakat yang termasuk dalam kelompok duafa atau lemah. Kelompok yang dimaksud adalah kaum wanita, orang-orang yatim, orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil), para tawanan, dan orang-orang yang mendapat musibah.

Sepanjang hidupnya, Rasulullah senantiasa berpihak kepada kelompok-kelompok lemah. Rasulullah menasihatkan supaya para ulama melanjutkan para nabi agar senantiasa berada di tengah-tengah kelompok duafa. Pesan Nabi “taatilah ulama selama mereka belum mengikuti hawa nafsunya”?

Tanda ulama yang mengikuti hawa nafsu adalah mereka meninggalkan kelompok orang fakir dan miskin, kemudian mengikuti kehendak sultan atau penguasa.

Al-Qur'an menyebutkan penyebab kemiskinan sebagai bagian dari penindasan disebabkan adanya kecenderungan untuk tidak memuliakan anak yatim, tidak adanya usaha bersama untuk membela orang miskin, kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber daya secara rakus, dan kecintaan yang berlebih-lebihan pada harta benda. Islam memandang kemiskinan sebagai akibat dari sistem sosial yang timpang, dari kekurangan solidaritas sosial.

Kemiskinan dan keterbelakangan adalah tanggung jawab bersama, Al-Qur'an dan sunah Rasul menegaskan berulang-ulang, antara lain: pertama, menolong dan membela orang yang lemah, mustadh’afin adalah tanda orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah/2 : 197).

Kedua, mengabaikan nasib mustadh’afin, acuh tak acuh terhadap mereka, dan enggan memberi pertolongan akan menyebabkan pelakunya menjadi pendusta agama, dan salatnya membawa kecelakaan (QS. Al-Ma’un/107 : 3-4). Ketiga, membela kaum mustadh’afin merupakan amal utama yang mendapat pahala lebih besar dari pada ibadah-ibadah sunah.

Kemiskinan hanya dapat diatasi dengan adanya kesediaan orang kaya memberikan hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya. Pesan Al-Qur'an: “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”. (QS. Al-Hadid/57 : 7).

Mereka yang mempelajari Islam akan menemukan perhatian besar dari ajaran Islam terhadap masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Kenyataan yang hadir di pelupuk mata kita dewasa ini bahwa yang banyak miskin, terbelakang, bodoh adalah umat Islam.

Karena itu data konkret seperti ini adalah gambaran bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang mengancam eksistensi umat Islam. Membela fakir miskin dan orang-orang tertindas dari belenggu yang menindas mereka adalah melanjutkan misi kenabian yang banyak dilupakan umat Islam. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version