Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mengidolakan artis, tokoh publik, dan calon kepala daerah secara berlebihan adalah perilaku yang dapat membahayakan kesehatan mental. Istilahnya disebut sebagai parasocial relationship disorder adalah kondisi seorang penggemar sudah merasa memiliki ikatan emosional secara berlebihan kepada idolanya.
Apalagi menjelang pilkada serentak, kita berasumsi jika kandidat kita adalah segalanya tanpa kekurangan. Ibaratnya dia adalah idola atau superhero yang mampu memberikan oase pemikiran untuk menjawab segala macam tantangan yang dihadapi suatu daerah.
Sudah lumrah kita jumpai dalam interaksi dalam keseharian kita dengan kawan, tetangga atau rekan kerja di kantor. Tidak jarang pertengkaran diawali dengan ketidaksukaan kawan terhadap artis idola kita. Dan, membuat kita jadi tersinggung.
Bahkan di media sosial hampir isinya hanya saling serang idola artis, atlet, atau kesebelasan favorit hingga tokoh parpol. Kita pernah terbelah dalam dua kutub yang mencapai puncaknya pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017 yang melahirkan istilah cebong dan kampret.
Saat kontestasi Pilpres 2019 cebong-kampret masih menjadi istilah yang populer yang juga menggambarkan dua kubu yang bersaing saat itu. Ternyata masyarakat kita belum dewasa dalam menghadapi perbedaan pilihan politik.
Dalam ajang pilkada, tim sukses dan simpatisan juga yang paling banyak membabi buta mengidolakan kandidatnya. Sehingga dalam setiap percakapan yang menyinggung program atau visi dan misi kandidatnya, mereka sangat subjektif merespons kritikan tersebut. Tidak sedikit dalam satu rumah tangga atau keluarga mengalami prahara akibat pilihan politik yang berbeda.
Menurut penulis, pendidikan kita belum mengajarkan bagaimana menerima perbedaan. Kita sejak kecil dididik untuk tidak saling menghargai keberagaman. Jadi tidak salah kemudian jika ajang pilkada media sosial ramai dengan caci maki antar pendukung pasangan calon.
Seharusnya tim sukses mengambil peran untuk meredam kecintaan atau mengidolakan calon secara berlebihan. Pemilihan kepala daerah yang berlangsung sekali dalam lima tahun, ajang bagi politikus untuk mencalonkan kandidat tertentu. Pada saat perheletan pemilu selesai, simpatisan di akar rumput masih lanjut kelahi membela jagoannya yang menang maupun simpatisan yang jagoannya kalah.
Jika kita berpikir secara jernih, tokoh yang kita dukung dan idolakan tersebut, tidak mengenal kita dan jika ada masalah yang menimpa, tokoh tersebut tidak peduli dan tidak hadir untuk membantu menyelesaikan persoalan. Syukur-syukur, misalnya, kalau kandidat yang kita usung sebagai pemenang pilkada minimal ada perasaan puas dan senang. Jadi sebagai peserta yang punya hak pilih, mari kita memilih calon berdasarkan rekam jejak dan program apa yang ditawarkan untuk dijadikan modal dalam membangun daerah jika kelak yang sang calon terpilih. (*)