Awaluddin S.H., M.H.
Kepala Seksi Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, Ketertiban Umum dan Tindak Pidana Umum Lainnya di Kejati Sulsel
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kejaksaan memiliki peran yang sangat vital dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, terutama sebagai dominus litis atau pengendali perkara dalam proses penuntutan. Dominus litis adalah prinsip yang mengacu pada hak eksklusif kejaksaan (exclusive authority) untuk mengendalikan proses penuntutan dalam sistem peradilan pidana.
Dalam hukum Indonesia, prinsip ini menggarisbawahi bahwa hanya Kejaksaan yang memiliki wewenang absolut untuk menentukan apakah suatu perkara pidana layak untuk dilanjutkan ke persidangan atau harus dihentikan. Definisi ini menekankan bahwa Kejaksaan tidak hanya bertanggung jawab dalam aspek penuntutan perkara, tetapi juga memegang peranan penting dalam pengendalian proses hukum secara keseluruhan, mulai dari tahap penyidikan hingga penuntutan dan eksekusi hukum.
Secara etimologi, dominus litis berasal dari bahasa Latin yaitu dominus yang berarti pemilik dan litis yang berarti perkara (Andi Hamzah, 2008:16).
Sedangkan secara terminology, US Legal memberikan pengertian ”Dominus litis is the person to whom a suit belongs. This also means master of a suit. The person has real interest in the decision of a case. It is this person who will be affected by the decision in a case. This person derives benefits if the judgment is in favor, or suffers the consequences of an adverse decision”.
Berdasarkan pendekatan etimologi dan terminologi tersebut, dapat dipahami dominus litis adalah pemilik perkara atau orang yang menentukan jalannya suatu perkara atau orang yang mempunyai kepentingan yang nyata dalam suatu perkara sehingga kedudukannya aktif dalam penanganan perkara.
Dalam sistem peradilan pidana, Kejaksaan bertanggung jawab tidak hanya untuk menuntut tetapi juga untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Hal ini sejalan dengan peran Kejaksaan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penuntutan.
Sebagai dominus litis, Kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan bila dianggap bahwa perkara tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke pengadilan.
Dalam Pasal 109 KUHAP, terdapat ketentuan yang mewajibkan penyidik untuk memberitahukan dimulainya kegiatan penyidikan kepada jaksa penuntut umum, sehingga dari awal proses hukum, Kejaksaan sudah dilibatkan secara langsung dalam setiap perkembangan penanganan perkara pidana.
Hal ini menegaskan peran sentral Kejaksaan dalam proses peradilan pidana, di mana jaksa memiliki otoritas untuk menilai kelayakan bukti dan menentukan arah dari penanganan perkara .
Lebih lanjut, Pasal 140 ayat (2) KUHAP memperkuat prinsip dominus litis dengan memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk menghentikan penuntutan jika bukti yang tersedia tidak mencukupi atau jika perkara tersebut tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Hal ini menunjukkan bahwa Kejaksaan bukan hanya sebagai pelaksana perintah hukum, tetapi juga sebagai pengambil keputusan yang memiliki pertimbangan independen dalam menjalankan tugasnya.
Prinsip dominus litis ini juga mencerminkan adanya diferensiasi fungsional antara aparat penegak hukum di Indonesia. Dalam sistem yang berbasis pada diferensiasi ini, setiap institusi memiliki peran dan fungsi yang jelas serta tidak tumpang tindih.
Kejaksaan, sebagai penuntut umum, memiliki kewenangan unik untuk melanjutkan atau menghentikan penuntutan berdasarkan penilaian profesionalnya, yang merupakan konsekuensi logis dari posisinya sebagai "pemegang kuasa atas gugatan" dalam sistem peradilan pidana.
Dalam pelaksanaannya, Kejaksaan tidak hanya berfungsi dalam ranah formal penuntutan, tetapi juga dapat berperan dalam mendorong terciptanya keadilan restorative (restorative justice) sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, dan juga dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kejaksaan dapat menjalankan prinsip dominus litis melalui upaya mediasi penal yang memungkinkan penyelesaian konflik secara damai antara pelaku dan korban dengan melibatkan masyarakat.
Pendekatan restorative justice yang menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, sehingga menjadi alternatif dalam penyelesaian perkara pidana tidak hanya menegaskan peran Kejaksaan sebagai penguasa perkara, tetapi juga sebagai agen yang mendorong penyelesaian yang lebih humanis dan berkeadilan sosial.
Kejaksaan dihadapkan pada berbagai tantangan yang berpotensi menghambat efektivitas pelaksanaan tugasnya dalam menjalankan peran sebagai dominus litis dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tantangan-tantangan ini mencakup aspek-aspek independensi dan integritas, sumber daya manusia, koordinasi antarlembaga penegak hukum, serta reformasi hukum yang berkelanjutan serta tantangan dalam menghadapi perkembangan kejahatan dan teknologi.
Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam menjalankan perannya sebagai dominus litis mencerminkan kompleksitas tugas yang diemban oleh lembaga ini. Dari masalah independensi dan integritas, keterbatasan sumber daya manusia, hingga tantangan koordinasi dan reformasi hukum, semuanya menuntut perhatian dan solusi yang serius.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya kolektif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, dan tentu saja, Kejaksaan itu sendiri. Hanya dengan demikian, Kejaksaan dapat menjalankan perannya dengan efektif dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara merata dan adil.
Dalam sistem peradilan pidana, kejaksaan memiliki wewenang untuk mengendalikan proses hukum setelah penyidikan selesai dan bertanggung jawab atas keputusan untuk membawa kasus ke pengadilan. Ini adalah fungsi yang krusial karena kejaksaan bertindak sebagai penjaga pintu antara proses penyidikan oleh kepolisian dan proses peradilan di pengadilan.
Sebagai dominus litis, Kejaksaan memiliki kewenangan eksklusif untuk memutuskan apakah sebuah kasus layak untuk dituntut di pengadilan berdasarkan bukti yang telah dikumpulkan. Fungsi ini memberikan Kejaksaan peran sentral dalam memastikan bahwa proses penuntutan dilakukan dengan adil, obyektif, dan tanpa adanya tekanan eksternal.
Dengan demikian, Kejaksaan berperan dalam menjamin bahwa hanya kasus-kasus yang memiliki dasar hukum yang kuat yang diteruskan ke pengadilan, sekaligus melindungi tersangka dari penuntutan yang sewenang-wenang.
Keadilan adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum, dan Kejaksaan sebagai dominus litis memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin bahwa prinsip ini ditegakkan. Keadilan dalam peradilan pidana mencakup berbagai aspek, mulai dari evaluasi bukti secara obyektif, penegakan hukum yang adil hingga perlindungan hak asasi manusia.
a. Evaluasi Bukti Secara Obyektif
Kejaksaan harus memastikan bahwa bukti yang digunakan untuk menuntut seorang tersangka dikumpulkan dan dievaluasi secara obyektif. Ini termasuk menilai kesesuaian bukti dengan fakta hukum serta relevansinya dalam mendukung dakwaan. Kejaksaan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan publik atau politik dalam membuat keputusan untuk menuntut, melainkan harus fokus pada fakta dan bukti yang ada.
b. Penegakan Hukum yang Adil
Dalam menjalankan perannya, Kejaksaan juga harus memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan tanpa diskriminasi. Semua tersangka, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik mereka, harus diperlakukan dengan adil dalam proses hukum. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.
c. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Peran Kejaksaan juga melibatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersangka selama proses peradilan. Ini mencakup hak untuk mendapatkan pengacara, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk mendapatkan proses peradilan yang adil dan cepat. Dalam konteks ini, Kejaksaan harus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama penyidikan dan penuntutan.
Kepastian hukum adalah salah satu pilar penting dalam negara hukum. Ini berarti bahwa hukum harus ditegakkan secara konsisten, transparan, dan dapat diprediksi. Kejaksaan sebagai Dominus Litis berperan penting dalam memastikan bahwa prinsip ini diimplementasikan dalam setiap tahapan proses peradilan pidana, aspek-aspke prinsip kepastian hukum antara lain meliputi :
a. Konsistensi dalam Penegakan Hukum
Salah satu aspek penting dari kepastian hukum adalah konsistensi dalam penerapan hukum. Kejaksaan harus memastikan bahwa kasus-kasus yang serupa ditangani dengan cara yang sama, dan bahwa keputusan-keputusan yang diambil didasarkan pada preseden hukum yang jelas. Ini penting untuk mencegah ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem peradilan.
b. Transparansi Proses Hukum
Kejaksaan juga harus memastikan bahwa proses hukum berjalan secara transparan. Ini mencakup transparansi dalam penanganan kasus, mulai dari penyelidikan hingga penuntutan di pengadilan. Dengan transparansi, publik dapat memahami dasar-dasar hukum di balik keputusan-keputusan yang diambil oleh kejaksaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem hukum.
c. Prediktabilitas Hukum
Keputusan yang diambil oleh Kejaksaan harus dapat diprediksi berdasarkan hukum yang berlaku. Ini berarti bahwa Kejaksaan harus berpegang pada aturan-aturan hukum yang ada dan tidak membuat keputusan yang bersifat sewenang-wenang. Prediktabilitas hukum sangat penting dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat bahwa hukum akan ditegakkan secara adil dan konsisten.
Efektivitas peran kejaksaan sebagai dominus litis dapat diukur melalui beberapa indikator yang mencerminkan kinerja dan dampak dari fungsi penuntutan. Salah satu indikator utama adalah kualitas penuntutan, yang menilai sejauh mana penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan berhasil menghasilkan putusan yang adil dan sesuai dengan hukum.
Ini mencakup dua aspek penting: persentase kasus yang berhasil dibuktikan di pengadilan dan kualitas argumen hukum yang diajukan oleh jaksa. Penuntutan yang efektif tidak hanya memerlukan bukti yang kuat, tetapi juga argumen hukum yang disusun dengan baik untuk meyakinkan hakim mengenai kebenaran kasus tersebut. Oleh karena itu, kualitas penuntutan berperan penting dalam menentukan hasil akhir dari sebuah perkara dan memastikan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan hukum yang berlaku.
Indikator berikutnya adalah kecepatan penanganan kasus, yang menunjukkan sejauh mana kejaksaan dapat menangani dan menyelesaikan kasus-kasus pidana dengan efisien. Proses penuntutan yang terlalu lama dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menambah beban bagi semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, korban, dan masyarakat umum.
Kecepatan dalam penanganan kasus juga penting untuk mengurangi potensi penundaan yang dapat menghambat keadilan dan merugikan proses peradilan secara keseluruhan.
Tingkat kepercayaan publik juga merupakan indikator penting dari efektivitas kejaksaan. Kepercayaan publik terhadap kejaksaan sering kali menjadi cerminan dari transparansi, keadilan, dan profesionalisme yang ditunjukkan oleh institusi tersebut.
Kejaksaan yang dianggap adil dan tidak memihak, serta menjalankan tugasnya dengan transparansi dan integritas, cenderung mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi dari masyarakat. Kepercayaan publik yang tinggi tidak hanya mendukung legitimasi penegakan hukum, tetapi juga memperkuat keberhasilan dalam implementasi kebijakan hukum dan penuntutan.
Terakhir, kemampuan menghadapi kasus-kasus kompleks juga menjadi ukuran efektivitas kejaksaan. Kasus-kasus yang kompleks, seperti korupsi, kejahatan terorganisir, dan pelanggaran hak asasi manusia, sering kali memerlukan keahlian dan sumber daya tambahan untuk ditangani dengan efektif. Kejaksaan harus mampu menghadapi tantangan ini sambil mempertahankan integritas dan profesionalismenya.
Kemampuan untuk menangani kasus-kasus kompleks dengan baik menunjukkan bahwa kejaksaan tidak hanya mampu menjalankan perannya sebagai dominus litis dalam kasus-kasus yang lebih sederhana, tetapi juga dapat menangani isu-isu yang lebih rumit dan berdampak signifikan pada masyarakat.
Dengan demikian, efektivitas peran Kejaksaan sebagai dominus litis dapat dilihat dari kualitas penuntutan, kecepatan penanganan kasus, tingkat kepercayaan publik, dan kemampuan menghadapi kasus-kasus kompleks. Indikator-indikator ini saling terkait dan berkontribusi pada penilaian keseluruhan mengenai seberapa baik kejaksaan menjalankan tugasnya dalam memastikan keadilan dan kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Salah satu implikasi utama dari peran ini adalah pengaruhnya terhadap hak atas perlakuan adil. Keputusan kejaksaan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan sesuai dengan prinsip keadilan.
Jika keputusan tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang memadai atau terpengaruh oleh kepentingan lain, hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan proses hukum yang fair dapat terabaikan. Dengan kata lain, perlakuan yang adil memerlukan bahwa setiap keputusan kejaksaan harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, peran kejaksaan juga mempengaruhi hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pembelaan. Ketika kejaksaan memutuskan untuk melanjutkan perkara ke pengadilan, tersangka atau terdakwa memiliki kesempatan untuk membela diri mereka di hadapan pengadilan.
Namun, jika kejaksaan memilih untuk tidak melanjutkan perkara, tersangka atau terdakwa tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pembelaan di pengadilan. Oleh karena itu, keputusan kejaksaan untuk menghentikan perkara harus dilakukan dengan sangat hati-hati, mengingat dampaknya terhadap hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan pembelaan mereka.
Hak atas informasi dan transparansi juga menjadi perhatian penting dalam konteks peran kejaksaan sebagai dominus litis. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan transparan mengenai tuduhan yang mereka hadapi serta proses hukum yang sedang berlangsung.
Keputusan kejaksaan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara harus disertai dengan penjelasan yang memadai kepada tersangka atau terdakwa, agar mereka dapat memahami posisi mereka dan proses hukum yang akan dihadapi.
Tanpa informasi yang memadai, hak tersangka atau terdakwa untuk membuat keputusan yang terinformasi mengenai strategi hukum mereka dapat terhambat.
Terakhir, hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan upaya hukum juga dipengaruhi oleh peran kejaksaan. Jika kejaksaan memutuskan untuk tidak melanjutkan suatu perkara, tersangka atau terdakwa tidak dapat mengajukan banding atau upaya hukum lainnya terhadap keputusan tersebut. Hal ini menekankan pentingnya keputusan kejaksaan untuk dilakukan dengan pertimbangan yang cermat dan berbasis pada prinsip hukum, agar hak-hak tersangka atau terdakwa tidak terabaikan dan sistem peradilan pidana dapat berfungsi secara efektif dan adil.
Dengan demikian, peran kejaksaan sebagai dominus litis memiliki implikasi yang signifikan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa. Untuk melindungi hak-hak ini, perlu adanya transparansi, keadilan, dan pertanggungjawaban dalam setiap keputusan yang diambil oleh kejaksaan.
Dengan pendekatan yang demikian, diharapkan sistem peradilan pidana dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan hak-hak individu, memastikan bahwa proses hukum berlangsung dengan adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. (*)