MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi perhatian serius pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak di Sulawesi Selatan.
Atensi tersebut dilakukan oleh Komnas HAM menyusul masuknya daerah ini dalam kategori rawan tinggi dalam pemetaan kerawanan Pilkada Serentak 2024 yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia.
Salah satu indikasi kewaspadaan kerawanan pilkada adalah terlibatnya secara aktif aparatur sipil negara (ASN). Netralitas ASN di daerah ini terbilang tinggi.
Perhatian serius dalam pilkada serentak di Sulsel disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM RI, Saurlin P. Siagian saat memberi pengarahan di kantor Bawaslu Sulsel, Kamis (6/9/2024). Menurut dia, pihaknya saat ini melakukan pemantauan jelang pelaksanaan pilkada, utamanya tahapan yang saat ini tengah berjalan.
"Bawaslu juga harus bertanggung jawab untuk menjaga demokrasi, terutama terkait indeks demokrasi tahun ini, apakah akan turun atau naik," kata Saurlin.
Saurlin menjelaskan bahwa meskipun perhelatan pilkada sudah sering digelar, namun pilkada secara serentak di Indonesia baru kali pertama dilaksanakan. "Sehingga Mungkin dinamikanya jauh lebih intens pada pilkada saat ini karena melibatkan relasi sosial politik, budaya, dan kekerabatan," imbuh Saurlin.
Menurut dia, pihaknya telah membentuk tim pemantau pemilu untuk melakukan pengawasan di setiap wilayah.
"Jadi, kami akan mengadakan pertemuan di berbagai daerah dengan berbagai pihak. Apa yang terjadi di Makassar sering dibicarakan secara nasional karena politik biasanya dikawal oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan pribadi," ujar dia.
Komnas HAM juga menyoroti pentingnya kewaspadaan terhadap tingkat kerawanan di Sulsel. Oleh karena itu, hukum dan pengawasan harus dijalankan dengan baik untuk memperbaiki citra Sulsel.
"Kami berkoordinasi dengan Bawaslu untuk memastikan pemilihan berjalan lancar dan mengurangi tingkat kerawanan. Salah satu hal yang perlu perhatian khusus adalah hak pilih bagi tahanan. Kami perlu memastikan bahwa tahanan dan pasien di rumah sakit di seluruh Sulsel dapat menyalurkan hak pilihnya," jelas Saurlin.
Saurlin menambahkan bahwa kelompok masyarakat adat harus mendapatkan perhatian. "Karena problematikanya bervariasi, diperlukan energi dan sumber daya khusus, terutama di kabupaten-kabupaten yang jauh dari perkotaan," tutur dia.
"Selain itu, Bawaslu harus memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menyalurkan hak pilih mereka, dengan ketersediaan alat peraga dan aksesibilitas yang memadai agar mereka bisa berpartisipasi dalam pemilihan," sambung Saurlin.
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Sulawesi Selatan, Saiful Jihad, menegaskan pentingnya menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan mengantisipasi potensi kerawanan dalam pemilu. Menurut dia, meskipun netralitas ASN tinggi, beberapa aspek masih menjadi perhatian khusus dalam pemilu ini.
Saiful menjelaskan bahwa Bawaslu Sulsel telah mengambil langkah antisipasi dengan memetakan titik-titik rawan di daerah-daerah. "Ada beberapa kabupaten yang saat ini menjadi perhatian khusus karena potensi masalah yang mungkin muncul, seperti netralitas ASN yang saat ini sudah lebih 100 dan terbanyak di Kabupaten Pinrang, 29 kasus," kata Saiful.
Saiful juga menyebutkan bahwa sejauh ini, tidak ada kekacauan di Sulsel setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami memastikan keamanan di Sulsel terjamin dengan baik. Sulsel berada di urutan kedua setelah Papua Pegunungan dalam hal pemilihan ulang (Pileg kemarin)," imbuh Saiful.
Bawaslu Sulsel berkomitmen untuk memastikan tidak ada suara yang hilang di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Seperti Pileg Sulsel persentase kedua yang melakukan pemilihan ulang, setelah Provinsi Papua Pegunungan.
"Kami memastikan suara di TPS itu tidak ada suara yang hilang. Jika ada suara yang hilang dianggap tidak sah, ada yang memilih tidak benar, kami rekomendasikan PSU," imbuh dia.
Sebelumnya, Bawaslu RI merekam Pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak 2024. Peristiwa yang terjadi pada penyelenggaraan pemilu berpengaruh terhadap kerawanan dalam Pemilihan. Dari ketiga tahapan yang diukur dalam pemetaan tersebut, setiap tahapan memiliki kerawanan yang harus segera diantisipasi.
Kerawanan Pemilihan juga disumbang oleh kondisi sosial politik yang terjadi pada level nasional hingga daerah. Pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak 2024 yang berfokus pada tahapan pencalonan, kampanye dan pungut hitung merupakan bagian dari rangkaian tindak lanjut kajian dan riset IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diluncurkan pada tahun 2022.
Sebelumnya, IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 juga sempat diperdalam oleh Bawaslu pada tahun 2023 untuk menguatkan agenda pencegahan terhadap beberapa isu strategis pada penyelenggaraan pemilihan umum.
Pada Tahun 2023, Bawaslu menyusun dan meluncurkan pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan serentak 2024 Isu Strategis. Pada Pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak 2024 ini, di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota, Tahapan Pungut Hitung menjadi tahapan yang paling rawan pada penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2024, setelah itu tahapan kampanye dan tahapan pencalonan.
Pada tahapan pencalonan kerawanan dipengaruhi oleh potensi penyalahgunaan kewenangan oleh calon unsur petahana, ASN, TNI dan Polri seperti melakukan rotasi jabatan. Kerawanan pada tahapan kampanye disumbang oleh potensi praktik politik uang, pelibatan aparatur pemerintah (ASN, TNI dan POLRI), penggunaan fasilitas negara dalam kampanye dan konflik antarpeserta dan pendukung calon.
Potensi kerawanan pada tahapan pungut hitung disumbang oleh beberapa isu yang berpotensi terjadi berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu.
Beberapa di antaranya adalah kesalahan prosedur yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan adhoc, pemungutan suara ulang, pemungutan suara susulan dan pemungutan suara lanjutan. Potensi Kerawanan pada ketiga tahapan tersebut juga dipengaruhi oleh konteks sosial politik pada level Nasional hingga Daerah.
Hal yang paling mempengaruhi kerawanan pada konteks sosial politik adalah potensi adanya intimidasi, ancaman dan kekerasan secara verbal dan fisik antar calon, antar pemilih maupun calon/pemilih kepada penyelenggara pemilihan.
Terdapat lima provinsi yang rawan tinggi (13%), 28 Provinsi rawan sedang (76%) dan empat Provinsi rawan rendah (11%). Lima provinsi yang masuk kategori tinggi yakni Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Sementara itu di tingkat kabupaten/kota, pemetaan kerawanan pemilihan serentak 2024 merekam ada 84 kabupaten/kota (16%) yang masuk kategori kerawanan tinggi. Kemudian ada 334 kabupaten/kota (66%) yang masuk kategori kerawanan sedang, dan terdapat 90 kabupaten/kota (18%) yang masuk kategori kerawanan rendah.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Profesor Sukri Tamma mengatakan bahwa Sulawesi Selatan memang selalu dianggap sebagai salah satu provinsi rawan dalam setiap penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada. Hal ini, menurut Sukri, berdasarkan berbagai indikator, termasuk kecenderungan adanya praktik-praktik kecurangan dan pelanggaran regulasi pemilu atau pilkada yang biasa terjadi.
"Sejak dulu, Sulawesi Selatan selalu menjadi salah satu daerah yang dianggap rawan dalam konteks Pemilu atau Pilkada. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan adanya praktik kecurangan, seperti pelanggaran regulasi pemilu dan lainnya," kata Sukri.
Dia menekankan pentingnya netralitas penyelenggara pilkada, mengingat bahwa mereka adalah instrumen utama yang harus menjaga prinsip keadilan dalam setiap tahapan proses demokrasi itu berjalan.
Selain itu, Sukri juga mengingatkan bahwa jika penyelenggara pilkada tidak bersikap netral, maka hal tersebut dapat merugikan pihak-pihak tertentu dan merusak integritas pilkada itu sendiri.
"Prinsip dasar pemilu atau pilkada adalah keadilan, dan netralitas penyelenggara adalah kunci untuk memastikan hal itu. Jika penyelenggara menunjukkan bias kepada pihak tertentu, maka pilkada tidak dapat dipertanggungjawabkan secara etis," imbuh dia.
Terkait dengan pengawasan yang lebih ketat dari Komnas HAM, Sukri menilai, langkah tersebut wajar, mengingat kasus-kasus pelanggaran netralitas yang pernah terjadi sebelumnya, termasuk tingginya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sulawesi Selatan pada Pemilu maupun Pilkada sebelumnya.
"Sulsel termasuk daerah dengan pelanggaran netralitas ASN yang tinggi, sehingga wajar saja jika Komnas HAM mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap KPU dan Bawaslu di Sulsel untuk menjaga netralitas," ujar dia.
Sukri juga menyoroti pentingnya peran penjabat kepala daerah dalam menjaga netralitas, mengingat banyak pimpinan daerah saat ini diisi oleh pejabat sementara yang memiliki potensi untuk mempengaruhi kinerja KPU dan Bawaslu dalam mengawasi jalannya pilkada.
Dia mengatakan, tantangan bagi KPU dan Bawaslu dalam menjaga netralitas ini sangatlah penting demi menjaga keadilan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 di Sulawesi Selatan.
"Penjabat kepala daerah juga perlu diingatkan terkait dengan netralitas mereka, karena hal ini berkaitan dengan bagaimana kinerja KPU dan Bawaslu dalam mengawasi pemilu di daerah masing-masing," kata dia.
Dokumen Cakada BMS
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Selatan menemukan dokumen bakal calon Kepala daerah yang belum memenuhi syarat (BMS).
"Sekian banyak dokumen calon masih ada yang BMS (Belum Memenuhi Syarat), jadi saat ini masuk dalam tahapan perbaikan tanggal 7-8 September," kata anggota Bawaslu Sulsel Adnan Jamal.
Setelah pasangan calon diminta melakukan perbaikan dokumen, KPU, kata Adnan masih melakukan penelitian berkas dengan pengawasan Bawaslu sebelum mereka ditetapkan sebagai pasangan calon pada 22 September nanti.
"Setelah tanggapan masyarakat pada 22 - 23 September nanti KPU akan mengumumkan pasangan calon apakah memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS) dan pengambilan nomor urut calon," ujar dia.
Adnan menolak menyebutkan pasangan calon dan di daerah mana temuan BMS tersebut. Menurut dia, hal itu akan diumumkan oleh pihak yang berwenang yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurut dia, bisa saja dokumen yang belum lengkap itu berupa surat pengunduran diri bagi yang berstatus ASN maupun calon anggota legislatif terpilih yang maju di pilkada.
"Makanya dalam regulasi diwajibkan untuk menyertakan dokumen tambahan berupa surat keputusan pemberhentian atau pengunduran diri bagi ASN dan caleg terpilih," imbuh dia.
Sementara itu, anggota KPU Sulsel Ahmad Adiwijaya mengaku belum mengetahui mengenai temuan Bawaslu Sulsel.
"Karena kami juga belum menerima hasil verifikasi data dari KPU daerah," ujar Ahmad.
Ahmad mengatakan, kalaupun ada temuan dari KPU daerah, maka hal tersebut juga belum bisa langsung disampaikan. "Karena memang belum waktunya untuk diumumkan," imbuh dia. (fahrullah-isak pasa'buan/C)