Anies di Labirin Demokrasi

  • Bagikan

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Akhir-akhir ini demokrasi kita semakin diuji dengan berbagai persoalan kebangsaan. Pilpres yang sudah selesai, bahkan presiden terpilih sudah diumumkan-tetapi dendam politik masih terus muncul dipermukaan. Gonta-ganti koalisi partai politik pun kian mengalami “keterpecahan” setelah putusan MK 60 dan 70 tahun 2024 keluar.

Sekalipun DPR mencoba bermain api untuk merevisinya bahkan menganulirnya dengan berbagai dalih dan dalil. Kondisi itupun pada akhirnya memicu adanya reaksi keras dari masyarakat-sebab ada kesan DPR menganulirnya karena by order untuk memuluskan Kaesang anak presiden bisa berkontestasi di pilkada. Hal inilah kemudian memicu aksi demonstrasi di mana-mana.

Berbagai spekulasi politik mencoba disuguhkan kepada publik--akhirnya berujung kepada hastag “Peringatan Darurat” sebagai alarm kalau Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Peringatan darurat ini kemudian secara berantai terkonfirmasi di hampir semua platform media sosial maupun media online dan cetak sehingga begitu masif dan berantai hingga akhirnya terkonsolidasi tepatnya di tanggal 21-22 Agustus 2024 sebagai gerakan yang menasional---dan berhasil mendesak DPR untuk mentaati keputusan MK, sehingga pembahasan RUU Pilkada pun dibatalkan. Ini sebagai tanda kemenangan Civil Society atas despotisme kekuasaan.
KIM Plus, operandi memuluskan Kaesang gagal.

Munculnya nama Ridwan Kamil berpasangan dengan Suswono untuk Pilgub DKI yang diusung oleh koalisi KIM Plus setelah PKS kemudian disusul Nasdem merapat ke KIM---Anies nyaris ditinggalkan oleh koalisinya di Pilpres kemarin sekalipun dari awal PKS sudah mendeklarasikan tagline AMAN (Anies-Sohibul Iman). Begitu pula Nasdem yang telah menyatakan dukungan ke Anies, walau pada akhirnya kedua partai tersebut mencabut dukungannya dan merapat kepada koalisi yang diampuh oleh Prabowo yang dikenal dengan sebutan KIM.

Tetapi setelah putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 keluar, peta politik akhirnya berubah, sebagaimana yang termaktub dalam putusan tersebut yang menghapus ambang batas treshold partai sehingga memungkinkan partai non kursi di parlemen pun memungkinkan untuk mengusung kandidat atau calon dalam kontestasi pilkada. Artinya ruang kompetisi demokrasi semakin terbuka lebar yang tidak lagi terjebak pada ambang batas untuk mencalonkan.

Artinya peluang ini memungkinkan bagi Anies Baswedan bisa maju kembali sekalipun partai koalisinya di pilpres pindah kelain hati, dan sekaligus mengubur obsesi politik Kaesang karena terganjal batas usia. Dan satu kekalahan Jokowi dalam proses politik untuk memuluskan dinasti politiknya.

Setelah drama mundurnya Airlangga ketua umum Golkar sejak 10 Agustus 2024---berbagai spekulasi dan tafsir memenuhi jagat politik. Ada apa dengan Golkar sebagai partai besar, runner up pemenang pileg setelah PDIP, tidak ada angin tidak hujan tiba-tiba badai datang tak terduga. Seperti Tsunami politik melanda partai yang berlambang beringin itu.

Benarkah ada tangan lain dibalik kemunduran Airlangga? Atau adakah Brutus di dalam Golkar yang ingin memuluskan jalan penguasa mengambil alih dan peran politik dengan cara mengambil Golkar dengan memakai Brutus di balik Istana? Ataukah Airlangga tidak mau diatur dalam penentuan calon kepala daerah jelang pilkada serentak 27 November 2024. Atau boleh jadi masa “politik sandera” selesai? Ini satu fenomena politik Indonesia dihari-hari ini.

Bahwa ada realitas politik yang tidak lazim yang lagi dipertontonkan---seperti Golkar lewat Rapimnas disetujui Bahlil didapuk sebagai ketua umum Golkar. Bahlil dalam kabinet Indonesia maju sangat dikenal begitu dekat dengan Jokowi bahkan dianggap sebagai menteri kesayangan Jokowi. Jadi wajar saja Golkar paling tidak harus diambil oleh seseorang yang dekat dengan penguasa istana. Begitu dramatis cara Golkar ditebas seperti bonsai.

Putusan MK 60 Angin Segar

Setelah kematian MK atas keputusan 90 yang meloloskan Gibran sebagai cawapres saat itu, publik semakin yakin keputusan itu juga awal terkuburnya hukum sebagai panglima. Politik kekuasaan semakin mendominasi atas konsep negara hukum. Keputusan itu dianggap bahwa hukum mati di rumah penegak hukum. Namun dalam waktu yang tak terduga putusan 60 MK tahun 2024 sontak mengagetkan publik, kalau MK telah hidup kembali dan sudah menemukan jalan pulang.

Ruang berdemokrasi pun semakin terbuka lebar dengan dihapusnya ambang batas threshold dalam mengusung calon kandidat di pilkada. Termasuk adanya putusan 70 yang memberi batas usia calon 30 tahun setelah mendaftar bukan pada saat pelantikan. Situasi demikian memunculkan berbagai sikap kontroversial di kalangan anggota DPR, yang kemudian terendus untuk menganulir putusan MK yang final dan mengikat.

Sikap DPR lewat Baleg mencoba melakukan upaya tafsir sekaligus untuk melakukan revisi---justru mendapat aksi keras dari kelompok masyarakat, buruh dan mahasiswa yang kemudian memicu demo terjadi di berbagai daerah yang menyebabkan konflik antara pendemo dengan aparat penegak hukum.

Akhirnya 22 Agustus 2024 menjadi momentum gerakan rakyat dengan tagline “Indonesia Darurat” hastag ini membentuk pola gerakan yang menyatu di berbagai daerah---hingga pada akhirnya DPR betal untuk melakukan revisi terhadap putusan MK tersebut.

Gerakan itu juga pada akhirnya membuka ruang kontestasi yang demikian lebar---dan itu terhubung sampai di daerah-daerah, yang semula diprediksi banyaknya kotak kosong, dengan adanya putusan MK 60 justru memperkecil intensitas munculnya kotak kosong karena partai non parlemen pun bisa berkoalisi dengan partai non parlemen lainnya untuk mengusung kandidat calon kepala daerah Gubernur, Walikota dan Bupati.

Bagaimana dengan Anies?

Fenomena Anies setelah ditinggalkan koalisinya di Pilpres seperti PKS yang lebih awal mendeklarasikan Anies dan Sohibul Iman sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, lalu kemudian Nasdem berikutnya PKB. Ketiga partai ini sesungguhnya dari awal mendukung Anies untuk tetap maju di DKI. Tetapi saat yang tidak lama---PKS, Nasdem dan PKB meninggalkan Anies dan bergabung di KIM.

Fenomena ini kemudian memunculkan berbagai gerakan untuk membully partai-partai yang kehilangan integritas dan prinsip-prinsip perjuangan dan idealisme seperti PKS yang terus menerus mendapatkan cemoohan yang pada akhirnya memicu mundurnya semua dewan pakar yang di PKS.

Di tengah aksi demonstrasi yang mengawal putusan MK itu---Anies seperti berada di ujung tanduk politik Indonesia. Labirin politik mengepung Anies sekalipun partai buruh ingin mengusungnya, tetapi tidak memenuhi jumlah koalisi partai politik yang semuanya merapat ke KIM Plus.

PDIP pun muncul di tengah gejolak penolakan revisi putusan MK. Semacam ada harapan baru bagi Anies setelah mendatangi kantor PDIP DKI. Ada sinyal kuat dukungan PDIP ke Anies. Namun semua itu tidak terjadi penundaan untuk mengumumkan Anies diusung berpasangan dengan Rano Karno---dalam menit-menit terakhir justru yang dimunculkan PDIP adalah Pramono Anung-Rano Karno.

Labirin politik tak berhenti sampai di situ, berkembang opini kalau Anies akan diderek PDIP ke Jabar dengan asumsi menurut ketua DPD PDIP Jabar kalau dukungan ke Anies 95% itu dukungan elektoral dari partai bukan dukungan warga. Dan detik-detik terakhir Anies Baswedan menyatakan diri batal untuk maju di pilgub Jabar dan mengapresiasi niat baik dari PDIP.

Labirin politik---justru memungkinkan Anies memahami secara komprehensif perilaku partai politik yang selama ini bermain dadu di atas kasino demokrasi.

Apakah Anies game over?. Tentu tidak. Tidak majunya Anies ke kontestasi Pilgub DKI dan Jabar bukan karena dukungan elektoral dan surveinya kecil, tetapi segelintir elit politik demikian takut kalau Anies maju, entah apakah ini masih dendam politik di masa pilpres, ataukah ada tangan lain yang tidak menginginkan ini terjadi seperti kekuasaan dan kaum oligarkis---semuanya bisa ya bisa tidak.

Dari sini kita bisa memahami kalau demokrasi kita belum tumbuh dewasa dan masih kekanak-kanakan, sehingga belum memungkinkan orang-orang yang memiliki kejujuran, bersih, berintegritas untu diproduksi untuk menjadi pemimpin.

Anies seperti berada di dua tarikan ; mayoritas rakyat menginginkan maju untuk melanjutkan pembangunan di DKI Jakarta. Tetapi partai politik lewat elit-elitnya terus menghalau dan tidak menginginkan Anies tampil. Penjegalan yang amat dahsyat yang terus menerus mengatasnamakan demokrasi. Jadi kesimpulannya aspirasi rakyat terabaikan karena elitisme partai politik.

Tetapi itu semua fenomena yang harus diterima sebagai konsekuensi politik---Anies yang tidak jadi berlayar ditengah partai politik yang tersandera. Begitu berliku-likunya jalan politik yang mengatasnamakan demokrasi belumlah akhir dari segalanya tetapi ini awal munculnya gerakan-gerakan pro demokrasi yang lebih masif dikemudian hari sebagai kelompok pressure group dalam politik modern-kontemporer.

Mengutip kembali pernyataan Profesor politik dari Cambridge University David Runciman---“Apakah demokrasi adalah titik akhir dari perkembangan politik? Jangan-jangan bukan demokrasi yang sekarat dan mati. Tetapi kita hanya berada pada situasi di mana penyakit kita yang benar, pada pasien yang salah.”

Dan itulah cara demokrasi mati—melalui pengerosian norma-norma yang melemahkan institusi demokratis secara halus dan perlahan, yang kemudian memunculkan pemimpin yang otoriter. An sich Demokrasi. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version