Oleh: Ema Husain
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bakal calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada 27-29 Agustus 2024 lalu, telah mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah pada kantor KPUD masing-masing. Dan, telah membawa visi dan misi yang jika terpilih dijadikan program kerja.
Tinggal melihat apakah visi dan misi tersebut realistis untuk diwujudkan kelak, sebab hal tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah bersangkutan. Jangan hal tersebut hanya sebatas janji-janji manis.
Memberi janji itu sangat mudah daripada menepatinya. Realita dalam kehidupan keseharian, tidak sedikit orang yang mengutang lebih galak daripada si pemberi utang apabila sudah ditagih. Demikian pula masih banyak janji yang belum ditunaikan oleh pasangan kepala daerah terpilih.
Pada saat tahapan kampanye dimulai, maka ajang tersebut menjadi ruang untuk para pasangan calon kepala daerah menyampaikan janji-janjinya jika kelak terpilih. Ternyata soal janji ini bukan hanya terjadi pada Pilkada, tapi juga pada Pilpres, Pileg dan Pilkades. Sehingga hukuman atau efek jera buat para pemberi janji adalah tidak lagi memilihnya, jika yang bersangkutan kembali mencalonkan untuk periode berikutnya.
Sehingga ingkar janji dalam politik sepertinya sudah menjadi fenomena yang terjadi hampir di semua wilayah di republik ini. Para politisi kerap berusaha untuk menarik simpati dari masyarakat untuk kemudian dipilih.
Namun yang terjadi pada saat terpilih mereka akan cenderung membuat kebijakan yang malahan tidak pro pada warga yang memilihnya. Makanya didalam negara demokrasi, politik tanpa janji maka menjadi politik yang hambar.
Seharusnya janji politik itu adalah pengejawantahan dari visi dan misi seorang calon, presiden, kepala daerah dan Kepala desa yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi sang calon. Dan yang kedua sebagai dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan.
Tak pelak lagi masyarakat selaku pemilih, benar-benar memperhatikan rekam jejak sang calon terkhusus calon kepala daerah. Tentu saja peran dan andil parpol selaku kendaraan pasangan calon bertarung punya tanggungjawab untuk mengontrol para caleg dalam berkampanye utamanya setelah terpilih untuk rutin dan menyerap dan memperjuangkan aspirasi dari konstituennya.
Masyarakat sebaiknya tidak mudah termakan janji manis para calon kepala daerah, pasalnya suatu janji atau kalimat yang menyatakan kesediaan calon memberikan bantuan berupa barang dan fasilitas jika kelak terpilih merupakan alat money politik. Sebagaimana ketentuan UU Pilkada.
Narasi beraroma gratis paling laris disuarakan oleh bakal calon kepala daerah. Utamanya soal pendidikan dan Kesehatan gratis menjadi senjata andalan untuk merayu pemilih. Hal ini diakibatkan oleh mahalnya pendidikan, padahal pendidikan itu adalah hak dan UU Sisdiknas terdapat kata-kata yang menghibur dan membuat setiap warga negara dapat bernafas lega “pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Namun pada faktanya terdapat banyak biaya tambahan.
Ketentuan masa kampanye pilkada serentak nasional 2024 baru dilaksanakan pada tanggal 25 September 2024 sampai tanggal 23 Nopember 2024. Namun ruang publik telah diramaikan dengan para pasangan calon kontestan pilkada.
Yang sudah beda tipis dengan masa kampanye atau kampanye tidak resmi karena belum masuk tahapan yang telah ditetapkan oleh KPUD. Padahal masa sebelum kampanye adalah masa sosialisasi dimana pasangan calon dibolehkan untuk memperkenalkan diri. Namun aturan soal sosialisasi memang tidak ada, jadi tidak heran kalau para kandidat seakan-akan telah melakukan kampanye. (*)