Namun, pada akhirnya korban memilih tetap melaporkan pelaku hingga ke SPKT Polda Sulsel, karena sadar kekerasan yang dialami harus berhenti. Menurut Mirayati, rumah tahanan yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi tempat traumatis bagi korban kekerasan seksual.
Sementara Koordinator Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik, Hutomo menilai putusan oleh Majelis Hakim terhadap Briptu Sanjaya sangat jauh dari rasa keadilan semangat mencegah kekerasan seksual utamanya pelaku yang melibatkan aparat.
“Faktanya, perbuatan pelaku dilakukan secara berulang-ulang dan memanfaatkan posisinya sebagai polisi di rutan tempat korban di tahan. Hal ini menunjukan adanya relasi kuasa antara keduanya dan korban berada dalam posisi rentan karena berada dalam tahanan. Ini sangat tidak manusiawi sehingga pelaku seharusnya mendapat hukuman maksimal,” kata Hutomo.
Apalagi menurut Hutomo, Briptu Sanjaya merupakan anggota Polri yang notabene merupakan aparat penegak hukum sehingga Majelis Hakim sepatutnya memberikan hukuman yang setimpal atas perbuatan yang telah dilakukan.
“Dalam hukum pidana, posisi seseorang sebagai penegak hukum itu merupakan alasan pemberat hukuman jika ia melakukan tindak pidana," kuncinya.
Atas putusan tersebut, LBH Makassar menilai putusan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban, termasuk gagal dalam melihat posisi pelaku yakni merupakan anggota Polri yang memiliki kuasa yang sepatutnya bertanggungjawab atas perbuatannya.
Putusan tersebut disebut akan menjadi preseden buruk kedepan dan secara tidak langsung Majelis Hakim makin menebalkan impunitas ditubuh Polri.
"Melalui rilis ini, kami mendesak agar Jaksa Penuntut Umum melakukan upaya banding atas
vonis ringan Briptu Sanjaya yang diberikan Majelis Hakim," pesannya.
Untuk diketahui, FM mendapatkan perlakuan tak senonoh dari Briptu S yang bertugas di Polda Sulsel berlangsung pada akhir Juli 2023 lalu.
Briptu S saat melancarkan aksi cabulnya, diduga dalam pengaruh minuman keras (miras) lalu masuk ke sel tahanan perempuan, atau tempat korban ditahan.
Saat masuk ke sel FM, Briptu S ikut berbaring tepat di belakang FM yang saat itu sedang tertidur, lalu memeluk FM dari belakang sambil memegang bagian sensitif korban.
Tidak hanya itu, Briptu S juga mengajak korban ke toilet tahanan, diduga untuk melakukan hubungan badan, namun korban menolak.
Bukannya berhenti, pelaku kembali membisikan kata-kata yang tidak pantas kepada korban. Lalu kemudian pelaku buka celananya dan memaksa korban untuk melakukan oral seks.
Hal itu diungkapkan kerabat dekat FM, H (29) kepada wartawan saat melaporkan kasus ini ke LBH Makassar.
"Jadi ada sebelumnya itu, dengan oknum polisi yang sama. Lebih dari satu (kali) yang jelasnya. Seringlah. Sudah saya tahu karena dia (FM) cerita semua. Tapi kali ini yang paling parahnya kali ini," ungkap H.
"Jadi yang kemarin-kemarin itu yang sering pelaku (SA) lakukan misalnya korban jalan langsung tiba-tiba dia pegang dadanya, ada juga langsung tiba-tiba pelaku ini pegang pantatnya," sambungnya.
Kata H, FM saat ini trauma dan takut atas kejadian yang dialaminya saat ditahan sejak 9 Mei di Dit Tahti Polda Sulsel. Karena beberapa kali Briptu SA keluar masuk sel perempuan.
"Selalu itu dia (FM) bilang trauma dan takut setelah alami beberapa kali kejadian itu, apalagi kalau sudah melapor langsung dikucilkan di sana, sama polisi lain. Dan tidak ada pendampingan," pungkasnya. (Isak/B)