Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pertarungan politik acapkali identik dan melulu soal kekuatan (power), juga modalitas, baik yang sifatnya terlihat mata kepala maupun yang tidak terlihat (invisible).
Pada hakikatnya, sudah demikianlah adanya. Sebab, yang dipertaruhkan dalam politik adalah bargaining position dan nilai plus yang sifatnya material. Namun, bila berhasil mengelola aspek lain yakni kerentanan (vulnerability) tentu juga menarik.
Simak saja, jejak kontestasi politik Pilkada dari waktu ke waktu di banyak daerah—tidak sedikit diantaranya sukses karena kejelian mengelola kerentanannya.
Perlu disadari bahwa seberapa “powerfull” pun kandidat, sejatinya mereka punya cela di sana sini. Poinnya adalah tak ada satu kandidat politik yang sungguh-sungguh paripurna dan tanpa cela. Semua penuh dengan kekurangan dan kerentanan. Hanya saja, saat berproses bertarung, para kandidat terlampau fokus memanfaatkan kelebihan atau kekuatannya.
Selain itu, kelemahan yang sebetulnya diamini seorang kandidat berupaya ditutupi rapat-rapat. Bila perlu, berupaya tidak mengakui kelemahan. Tabiat ini biasanya akan terlihat pada pasangan incumbent. Karena terlalu percaya diri dan di atas angin, mereka lalu melupakan aspek kerentanan yang potensial menggerus elektoralnya.
Dalam kontestasi politik, kandidat perlu memahami kerentanannya. Lalu, mengelola kerentanan itu justru sebagai kekuatan penting. Kerentanan dapat bermacam-macam, bisa jadi soal basis tim pemenangan yang belum massif, kemampuan logistik, kelemahan dari aspek usia (karena masih muda atau karena kandidat perempuan dan lainnya), hingga ke media kampanye yang digunakan.
Bagaimana dengan Pilkada di Sulsel?
Pada Pilkada Serentak 2024 di Sulsel kali ini, ada beberapa pasangan kandidat yang tampak piawai mengelola kerentanannya.
Ambil contoh pasangan Danny-Azhar di Pilgub Sulsel. Pasangan ini mulai memasang banyak baliho dengan jargon menarik: “Jangki bilang-bilang, saya DIAji!” atau “Diam Saja, Reputasi yang bicara”.
Narasi ini menggambarkan bagaimana pasangan ini datang sebagai penantang dengan dominasi yang lebih rendah dibandingkan pasangan incumbent. Mereka menyadari betapa lawannya memiliki modalitas politik yang superior.
Contoh lainnya ditunjukkan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bulukumba, Jamaluddin Syamsir-Tomy Satria Yulianto (Jadimi). Dalam sebuah kanal poadcast, pasangan ini mengatakan betapa mereka memang tidak punya apa-apa, tetapi mereka memiliki takdir sebagai pemenang.
Di akar rumput, pasangan ini pelan-pelan mendapatkan dukungan moril meski dentumannya belum meledak. Perlawanan kandidat ini atas incumbent oleh banyak pihak dinilai memiliki gab antara langit dan bumi—tetapi, pasangan JADImi, tetap bergerak dengan segala kerentanannya.
Di Luwu Timur ada pasangan Isrullah-Achmad, pasangan pendatang baru yang menantang imcumbent. Pasangan ini muncul di detik-detik akhir pencalonan di KPUD Lutim. Dengan segenap keterbatasannya dibanding dua pasangan lainnya, pasangan Isrullah-Achmad mencoba melawan dengan memanfaatkan kerentanannya sebagai pasangan dengan tren survey terendah setidaknya hingga September 2024 ini.
Kerentanan dalam politik ibarat kelenturan tubuh seorang petarung yang piawai peragakan jurus-jurus berbahaya justru dengan tubuhnya yang tidak terlalu kuat bahkan relatif kecil. Kelenturan akan sangat mematikan karena pukulannya persis di titik yang rentan bagi lawan.
Kerentanan yang dikelola dan diamini secara jujur juga dapat menarik simpati dari pemilih. Kerentanan dalam hal logistik atau mesin politik yang terbatas adalah representasi dari kerentanan yang dirasakan pemilih mayoritas yang juga rentan secara ekonomi maupun akses politik. Pemilih mayoritas akan respek pada kandidat yang tampak penuh keterbatasan secara fisikal, tetapi memiliki kekuatan dalam hal visi politik. Juga track record politik yang baik.
Kerentanan yang dikelola menggambarkan sikap kepemimpinan yang apa adanya dan lebih otentik. Kita tunggu saja, siapa kandidat yang berhasil mengelola vulnerability-nya justru sebagai potensi besar untuk memanen pundi-pundi suara. Atau sebaliknya, kerentanan justru hanya jadi ladang eksploitasi oleh kandidat yang superior secara kasat mata. (*)