KPI Sulsel Bahas Pentingnya Regulasi Penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional

  • Bagikan
Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Prov Sulsel, Sabtu (21/9/2024).

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pengolahan informasi harus dikawal sesuai dengan norma dan aturan. Kualitas informasi dan penyajiannya harus diperhatikan baik akurasi dan kredibilitasnya. Apalagi saat ini media sosial dan media mainstream sudah hampir tak bisa  dibedakan fungsinya.

Kesetaraan regulasi penyiaran Berbasis Internet dan Konvensional menjadi tema Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Prov Sulsel di Warkop Phoenam, jln Boulevard, Makassar, Sabtu (21/9/2024).

FGD itu menjadi langkah KPI untuk mendengar aspirasi masyarkat terkait dengan langkah yang mesti ditempuh KPI dalam mewujudkan penyiaran yang bermartabat terutama proteksi persebaran hoaks yang kerap terjadi pada dunia maya.

Ketua KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan sehubungan dengan giat yang digelar pihaknya itu, tentu saja akan menjadi sebuah catatan untuk melakukan penguatan dalam pengawasan penyiarana, baik antara media mainstream pun untuk media sosial.

Kata dia, negara harus hadir untuk memberikan keadailan terhadap penyiaran pun untuk media sosial. Sebab, selama ini media sosial belum bisa diawasi dan diberikan sanksi kepada oknum di media sosial yang terkesan menyajikan informasi yang tidak baik untuk masyarakat.

”Secara regulasi kami tidak bisa memberikan sanksi kepada pengguna media sosial, hanya pada penyiaran telvisi dan radio, namun kami meminta masyarakat untuk cerdas dan memberikan pendidikan kepada anak terkait dengan dampak dalam penggunaan media sosial,” paparnya.

Ia tak menampik, media sosial adalah salah satu media yang bisa menginspirasi masyarakat namun, namun sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur mereka dalam penyajian, sehingga filterisasi informasi itu masih terkesan sulit untuk dilakukan.

”Jadi mereka tidak bisa ditindak ketika ada penayangan yang tidak sesuai aturan dan norma,” kuncinya.

Dosen Pascasarjana STIE AMKOP, Bahtiar Maddatuang mengatakan, batasan terhadap penyiaran harus diperhatikan dan juga diberlakukan untuk media sosial. Pasalnya, oknum pengguna media sosial kerap meyebarkan informasi yang tidak teruji. Sehingga penyebaran hoaks pun mulai terjadi.

Dampaknya kata Bahtiar, tentu saja merujuk pada efek ekonomi. Kecenderungan media mainstream kurang diminati informasi yang disebarkan sebab mereka terkesan lamban dalam melakukan penyajian informasi karena harus melalui beberapa fase dan menaati rambu-rambu penyiran. Sementara media sosial tidak diikat dengan aturan dalam penyebaran informasi.

Sehingga produktivitas media mainstream acap kali harus terjeda karena banyak rambu-rambu yang harus dilewati, dan itu menjadi keuntungan untuk media sosial. Sehingga penyetaraan dalam rambu-rambu penyebaran informasi harus diatur untuk setara.

”Akibat dari itu kan pasti ada ekonomi impact, pasti berbeda kan, ada industri atau media sosial lebih cepat dan media mainstream lebih lama,” ujar Bahtiar.

Penyetaraan dalam aturan penyajian informasi tentu harus diperhatikan antara media sosial dan media mainstream, agar keduanya bisa bejalan sesuai dengan porsi masing-masing.

Sebab lanjut Bahtiar, pasar atau perputaran ekonmi responnya akan meningkat dipantik dari kualitas informasi, sehingga media mainstream juga bisa melakukan penyajian informasi tanpa terganggu produktifitasnya pun media sosial juga akan melakukan penyebaran informasi yang tidak jor-joran tanpa memperhatikan etika penyiaran.

”Pemberitaan berkualitas pasti akan direspon positif oleh pasar,  tapi kalau tidak berkualitas dan tidak ada aturan, pasar tentu saja tidak akan percaya dan merespon,” tegasnya.

Perwakilan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Fachruddin Palapa menyampaikan sebagai lembaga yang bekerja untuk masyarakat, tentu memiliki moril untujk memberikan literasi dan penyaringan terhadap informasi yang tidak mencerdaskan dan merugikan salah satu kelompok.

Kata dia, tentu saja netralitas dan menjadikan kredibiltas untuk informasi yang beredar dimasyarakat sebagai harapan untuk tetap menjaga persatuan sosial masyarakat.

”Kami sebagai lembaga yang bekerja untuk masyarakat tentu saja sangat memperhatikan informasi yang beredar dimasyarakat. Fokus terhadap penyaringan dan penentuan informasi yang valid menjadi tugas kami melalui litersi yang kami berikan kepada masyarakat, agar tidak ada yang dirugikan,” jelasnya.

Ia mengaskan pemerintah mesti tegas dalam memberikan batasan terhadap proses penyajian informasi baik antara media sosial dan media mainstream, sebab keduanya sama-sama bisa menyajikan informasi, tetapi media mainstream harus memperhatikan rambu-rambu dalam penyiaran. (Abu/B)

  • Bagikan

Exit mobile version