Politik Uang dalam Pilkada

  • Bagikan
Ema Husain Sofyan

Oleh: Ema Husain Sofyan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan Kepala Saerah Serentak 2024 telah menetapkan pasangan calon dan pengundian nomor urut. Dan, setelah itu memasuki tahapan yang sangat penting, yaitu tahapan kampanye yang tujuannya untuk memperkenalkan diri, visi, misi serta program kerja yang akan akan direalisasikan pasangan calon kepala daerah jika kelak terpilih.

Dengan kampanye pasangan calon berharap memperoleh kepercayaan masyarakat sehingga banyak suara yang dapat diraup pada hari pemungutan suara. Kampanye sendiri berlangsung mulai hari ini, Rabu tanggal 25 September sampai 23 November 2024.

Pengalaman dari pelaksanaan pilkada dan pileg, pasangan calon acap kali mengumbar janji manis pada masyarakat. Bahkan menjelang hari H, atau tepatnya masa minggu tenang, tidak sedikit yang membagi amplop dan bingkisan berupa sembako. Itulah politik uang (money politic) yang dilakukan secara luas pada dapil dan wilayah Pilkada. Politik uang adalah salah satu bentuk suap, yang dilakukan terhadap pemilih itu sendiri bersama-sama dengan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu beserta jajarannya.

Musuh utama pesta demokrasi adalah praktik politik uang. Istilah ini bermakna pembelian suara pemilih oleh kontestan pemilu maupun tim suksesnya. Terkadang tim sukses ada yang tidak di-SK-kan dengan harapan jika tertangkap basah melakukan pembagian materi, maka dengan mudah akan berdalih tidak mempunyai hubungan dengan kontestan pemilu itu sendiri.

Politik uang menyebabkan masyarakat dalam hal ini pemilih kehilangan akal sehat berupa otonominya untuk menentukan kandidat yang terbaik secara rasional, seperti rekam jejak, kinerja, dan janji-janji yang sudah diutarakan.

Pada akhirnya buah dari politik uang adalah pemimpin yang hanya peduli pada kelompoknya dan pribadinya bukan pada konstituennya. Dan berusaha bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkan pada masa kampanye. Setali tiga uang dengan mahar atau uang ketuk pintu pada parpol pada penyelenggaraan pilkada.

Jadi masyarakat jangan berharap banyak untuk mendapatkan wakil mereka di parlemen yang mumpuni dan memiliki kapasitas untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sebab proses pemilihan telah ternodai dengan praktek politik uang. Masyarakat tidak lagi terkejut ketika mendengar ada calon kepala daerah yang memberikan uang atau barang demi mendapatkan suara.

Politik uang yang sudah lumrah dilakukan menjelang pencoblosan adalah “serangan fajar” yang lazim dilakukan pada subuh hari atau beberapa hari sebelum pencoblosan.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi politik uang. Salah satunya adalah sistim pemilu itu sendiri, artinya pilihan kita terhadap proporsional terbuka cenderung mengarah pada politik elektoral yang terfokus pada kandidat calon. Selanjutnya adalah tingkat pendidikan dan pendapatan. Pemilih dengan kemampuan ekonomi lemah akan memiliki kecenderungan menerima pemberian jangka pendek, sekalipun nilai materinya kecil. Faktor terakhir adalah politik uang sebagai produk sosial dan kultural masyarakat.

Bahkan Bawaslu sudah mengantisipasi modus baru politik uang yang tidak lagi berupa pemberian uang secara langsung, tapi melalui aplikasi berupa uang elektronik, kartu elektronik hingga e-commerce. Yang tentu saja pengawasannya lebih sulit dibandingkan pembagian manual yang lazim dipraktekkan selama ini.

Adapun sanksi pelaku politik uang pada pemilu, berupa sanksi pidana dikenakan berdasarkan tiga kategori waktu, yaitu saat masa kampanye, masa tenang serta pada saat hari H.

Semoga dengan pendidikan politik yang masif kita harapkan masyarakat kita menjadi pemilih yang cerdas, yang memilih calon didasarkan pada pertimbangan rasional. Bukan lagi karena pemberian materi.

Pada akhirnya, masyarakat jualah yang harus menjadi ujung tombak perubahan. Masyarakat sudah harus mulai menolak segala bentuk pemberian yang terkait dengan kampanye pilkada, sekalipun dalam situasi ekonomi yang sulit. (*)

  • Bagikan