MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Badan Pengawas Pemilu terus menyorot perihal netralitas pemerintah dalam pemilihan kepala daerah serentak. Salah satu yang menjadi fokus perhatian adalah netralitas kepala desa dan perangkat desa.
Struktur paling bawah dalam pemerintahan itu dinilai berpotensi memicu konflik sosial bila terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon tertentu.
Kepala desa dan perangkatnya punya power untuk menggerakkan dan mempengaruhi calon pemilih. Konsekuensinya, mereka bisa dijerat tindak pidana pemilu bisa terbukti tidak netral di pilkada.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Selatan mengingatkan kepada seluruh kepala desa dan perangkatnya agar netral pada Pilkada Serentak 2024.
Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Samsuar Saleh menegaskan bila ada aparat desa berpihak atau terang-terangan memberikan dukungan kepada salah satu kandidat pasangan calon bisa berimbas hingga dijerat tindak pidana pemilu.
"Bila selama ini rekomendasi Bawaslu hanya diteruskan ke KASN. Tapi dalam tahapan kampanye, maka berimplikasi sampai pidana pemilu. Bila kepala desa atau ASN tidak netral maka sudah bisa diproses pidana pemilu," kata Samsuar di acara Sosialisasi Pengawasan Pemilihan Secara Tatap Muka bersama Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) dan para kepala desa dari 24 daerah di Hotel Four Point Makassar, Rabu, (25/9/2024).
Mantan Ketua Bawaslu Gowa ini menyebutkan dengan menghadirkan para kepala desa, pertanda Bawaslu memiliki perhatian penuh, apalagi sudah masuk dalam tahapan kampanye pasangan calon.
"Karena bila ada yang tidak netral, maka bisa memenuhi unsur tindak pidana pemilu yang akan diproses di Gakkumdu," beber dia.
Samsuar menilai, para kepala desa paling jago dalam kontestasi politik. Sementara Bawaslu hanya melakukan pencegahan.
"Tolong hindari untuk berbuat tidak netral," kata Samsuar.
Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli mengatakan, netralitas kepala desa pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut sangat penting. Sebab, lanjut dia, kualitas pilkada yang bermartabat bergantung terhadap netralitas kepala desa beserta perangkatnya.
Mengingat kepala desa dan perangkatnya bersentuhan langsung dengan pemilih. Apalagi, ada 3.059 kepala desa di Sulawesi Selatan.
"Kepala desa dan perangkatnya akan mampu mendorong partisipasi berkualitas dan menjaga kualitas penyelenggaraan. Tugas Bawaslu selalu mengingatkan karena mereka yang bersentuhan langsung dengan pemilih," kata Mardiana.
Ajakan ini, kata Mardiana, karena Pemilihan Legislatif (Pileg) lalu pihaknya telah menangani beberapa kasus dugaan netralitas kepala desa karena mendukung caleg maupun calon presiden.
"Ini sebenarnya bentuk sosialisasi pencegahan, jangan sampai kembali terjadi pelanggaran netralitas kepala desa dan perangkat desa," ujar Mardiana.
Dia mengatakan, para kepala desa ini lebih dekat dengan Pemilih. Bahkan, kata dia, 50 persen kekuatan itu ada di perangkat desa.
"Sehingga ini paling mudah dimanfaatkan oleh kandidat untuk mendapatkan dukungan dari pemilih," imbuh Mardiana.
Bawaslu harapkan kepada para kepala desa harus aktif memberikan kesadaran kepada warganya untuk mengajak ke TPS, tapi tidak mengarahkan pilihan.
Adapun, mantan Ketua Bawaslu RI, Profesor Muhammad menyebutkan perangkat desa maupun kepala desa bisa menggerakan massa karena setiap hari selalu bersama masyarakat.
"Jadi posisi kepala desa betul-betul harus netral karena mereka sebagai pengambil keputusan. Meski tidak netral sebagai warga negara karena tetap punya hak pilih," ujar Muhammad.
"Kalau kepala desa digiring untuk memilih petahana, jawab saja dengan lantang siap. Tapi, sambung dalam hati untuk tetap netral dan ini tidak melanggar hukum," ujar dia.
Sekretaris Daerah Sulsel, Jufri Rahman mengatakan sejelek-jeleknya kepala desa, pasti memiliki pendukung minimal 50 plus 1.
"Kepala desa itu riil tokoh masyarakat. Makanya peran mereka selalu diperhatikan, Pada Pemilu lalu, Apdesi diundang khusus oleh Mendagri untuk mensukseskan Pemilu," ujar Jufri.
Mengenai netralitas perangkat desa, kata Jufri, sangat mustahil bisa dihindari karena itu manusiawi. Apalagi, mereka juga memiliki hak memilih.
"Tapi tolong diekspresikan saja di dalam bilik suara. Kalau mendukung seseorang, jangan terbuka," ujar dia.
Jufri Rahman juga meminta kepada seluruh kepala desa agar bersyukur mendapatkan posisi sebagai tokoh masyarakat dan itu harus dijaga.
"Lebih baik kelola dana desa itu dengan baik daripada kepada mendapatkan harapan palsu dari para kandidat," imbuh Jufri.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (Apdesi) Sulsel, Sri Rahayu Usmi meragukan netralitas Penjabat Gubernur Sulsel karena selama ini tidak pernah menghadiri deklarasi pilkada damai dan deklarasi netralitas kepala desa.
Sri Rahayu mengatakan sudah dua kali kegiatan deklarasi damai, namun Penjabat Gubernur tidak pernah hadir.
"Sudah dua kegiatan yaitu deklarasi pilkada damai dan netralitas tapi, Penjabat Gubernur tidak hadir. Makanya kami mempertanyakan netralitas Penjabat Gubernur," ujar Sri Rahayu.
Kepala desa dari Kabupaten Bone ini menyebutkan selama ini yang selalu disentil di setiap kontestasi politik adalah aparat desa. Padahal, kata dia, kepala daerah juga patut menjadi perhatian.
"Kami merasa miris karena netralitas kami selalu dipertanyakan. Bagaimana dengan pimpinan daerah atau kepala daerah? Jangan cuma kepala desa dan perangkat desa yang disorot," imbuh Sri Rahayu.
Mendengar keluhan itu, Jufri Rahman mengatakan pejabat tertinggi di provinsi itu adalah sekretaris daerah. Adapun, penjabat gubernur adalah jabatan politis yang sewaktu-waktu bisa ditarik ke tempatnya semula.
"Jangan mempertanyakan komitmen Pejabat Gubernur karena tugas dia di sini adalah menjaga netralitas seluruh aparat pemerintahan," tegas Jufri.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Profesor Sukri Tamma mengatakan posisi kepala desa dalam kontestasi politik memiliki kemiripan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Keduanya dilarang undangan-undang ikut terlibat dalam proses pilkada, meskipun mereka tetap memiliki hak suara sebagai warga negara," kata Sukri.
Menurut dia, kepala desa memang rentan terlibat politik praktis mengingat mereka memiliki akses langsung kepada masyarakat, sehingga pengaruhnya dalam proses politik sangat signifikan.
"Kepala desa adalah pimpinan tertinggi di tingkat masyarakat desa, yang setiap hari berinteraksi dengan warganya. Posisi ini membuat mereka menjadi figur yang dihormati dalam konteks sosial," ujar dia
Dalam konteks sosiologis, lanjut Sukri, kepala desa seringkali dianggap sebagai tokoh masyarakat yang memiliki posisi penting di tengah-tengah warga. Mereka memiliki peran sebagai pengayom, yang secara alami dihormati oleh masyarakat.
Hal ini, menurut Sukri, dapat berpotensi menjadi pemicu mobilisasi dukungan untuk kandidat tertentu dalam pilkada.
"Para kandidat pilkada tentunya berusaha mendekati kepala desa, karena mereka melihat adanya potensi besar untuk mempengaruhi suara masyarakat melalui tokoh-tokoh desa ini. Meskipun tindakan semacam ini jelas dilarang oleh undang-undang, realitanya tetap ada upaya-upaya dari berbagai pihak untuk memanfaatkan posisi kepala desa," imbuh Sukri.
Dekan FISIP Unhas ini menekankan pentingnya kesadaran para kepala desa akan sumpah jabatan yang mereka emban dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Mereka wajib mengikuti regulasi atau aturan undang-undang, termasuk bersikap netral dan tidak memberikan keuntungan kepada salah satu kandidat.
"Itu adalah aspek etika dan moral yang diatur secara tegas dalam undang-undang," tegas dia.
Sukri menjelaskan, kepala desa dianggap sangat penting karena mereka merupakan panutan di masyarakat. Apa yang mereka katakan atau tunjukkan, baik sikap maupun kecenderungan politik, bisa menjadi contoh bagi warga desa lainnya.
"Pengaruh mereka begitu besar karena kepala desa berinteraksi langsung dengan masyarakat setiap hari," imbuh dia.
Termasuk, kata Sukri, bahwa kepala desa memiliki pengetahuan mendalam tentang kondisi sosial masyarakatnya. Informasi tersebut sangat berharga bagi para kandidat Pilkada dalam merancang strategi pendekatan kepada masyarakat di wilayah tersebut.
"Kepala desa tahu betul apa yang dibutuhkan masyarakat, dan ini merupakan salah satu kunci bagi kandidat untuk memobilisasi dukungan," turut Sukri.
Sukri juga menyinggung bahwa kepala desa merupakan produk politik, karena mereka terpilih melalui proses pemilihan langsung. Dalam proses tersebutlah, keterlibatan elite politik kerap terjadi dan berpotensi menimbulkan afiliasi politik di kemudian hari.
"Sejak awal, beberapa elite politik mungkin sudah terlibat dalam proses pemilihan kepala desa, berharap ada utang budi yang bisa ditagih di masa depan. Jadi posisinya memang sangat strategis," ujar dia. (fahrullah-isak pasa'buan/C)