Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dari negeri antah-beranta, tersiarlah kisah mencengangkan tentang seorang raja paling otoriter sedunia yang mendadak insaf. Sang raja mengalami perubahan sikap drastis, tiga ratus enam puluh derajat. Ia menjelma menjadi pemimpin baik hati dan paling demokratis.
Puluhan tahun berkuasa, sang raja dikenal bengis, bertangan besi. Segala titah dan perintahnya harus dijalankan. Hukuman nyata akan dijatuhkan pada siapa saja bila keinginannya tidak diindahkan. Warganya pun tunduk patuh lantaran takut pada tirani. Hari-hari di negerinya adalah selimut ketakutan.
Siapa melawan akan dicekal bahkan dibunuh. Tidak terhitung berapa jiwa melayang. Warganya yang menantang dikurung dalam terungku dengan siksa teramat bengis. Dalam situasi demikian, warganya makin miskin dan tak bahagia. Ini tentu kontras dengan kehidupan di istana raja yang glamor. Istana mewah dengan lampu-lampu mentereng. Setiap malam, pesta pora adalah tradisi keluarga raja dan koloninya.
Lalu, kabar tentang raja yang insaf pertama kali menggelinding dari rumah bordil. Seorang wanita panggilan menceritakan semua yang dianggapnya berubah dari sang raja. Bertahun-tahun sang wanita cantik itu bekerja melayani syahwat raja. Ia tidak sendiri, ada puluhan wanita muda juga terenggut masa mudanya di balik selangkangan raja.
Sudah tiga bulan, sang wanita pelayan raja dibebaskan keluar dari istana. Bersama koleganya, ia diberi kebebasan memilih jalan hidupnya yang baru. Itulah kemerdekaan tertinggi yang didapatkan para pelayan raja. Meski sudah bebas, para pelayan wanita itu masih juga dihantui kalimat tanya. Mengapa sang raja bengis mendadak berubah baik? Apakah yang membuat sang raja itu berubah?
Para wanita pelayan tidak segan-segan menceritakan perubahan hidup sang raja pada penduduk antah-beranta. Lama-kelamaan gosip perihal raja yang insaf jadi konsumsi publik. Ini tentu sebuah kabar baik yang menggemparkan. Apakah raja benar-benar berubah? Tampaknya, begitu. Semua terlihat dari perangai sang raja dalam sebuah pidato di hadapan warganya suatu waktu.
Sang raja mengamini tentang perubahan dirinya. Ia juga memutuskan mengubah banyak peraturan yang dulunya berbau tirani menjadi demokratis. Para tawanan dilepaskan tanpa sisa. Kehormatan dan nama baik para pembangkang dikembalikan seperti sediakala. Meski demikian, sang raja tidak menceritakan mengapa ia berubah. Karenanya, meski disambut bahagia, tidak sedikit warganya dihantui curiga dan penasaran yang sungguh.
Begitulah kisah singkat perihal raja yang insaf di suatu negeri. Bertahun-tahun setelahnya, kehidupan negeri antah-beranta juga berubah tiga ratus enam puluh derajat. Ekonomi bertumbuh dan maju, warganya pun sejahtera. Tanah subur dapat digarap para petani tanpa ada pungutan pajak yang mencekik seperti di masa silam.
Meski kehidupan berubah karena sang raja bermetamorfosis menjadi lebih melankolis, warganya belum sepenuhnya hidup tenang. Huru-hara informasi mewarnai keseharian di semua dimensi. Satu pertanyaan memang belum terjawab, mengapa raja mendadak berubah dratis?
Gosip-gosip perihal ini tanpa disadari semakin menguat sebagai wacana bersama. Pro kontra pun terjadi. Ada yang berpikir bahwa perubahan raja tidaklah penting dipertanyakan. Kelompok ini jumlahnya sangat sedikit, bila dibanding dengan kelompok warga yang berspekulasi tentang misteri di balik perubahan raja.
Spekulasi menciptakan banyak prasangka, dari yang negatif maupun positif. Spekulasi negatif cenderung lebih dominan. Misal, ada yang menyebut bahwa perubahan sang raja hanyalah sandiwara sesaat. Kelak, sang raja akan kembali ke tabiat lamanya dan berbalik menghukum semua warganya.
Ada pula yang meyakini bahwa perubahan sang raja ada kaitannya dengan kedatangan seorang pedagang kaya dari negeri lain. Sang raja disogok berkarung-karung emas agar berubah karakter. Pedagang kaya dikabarkan rela memberi upeti asal raja berubah sikap menjadikan bangsanya hidup bebas dan demokratis.
Spekulasi positif berlawanan dengan itu. Kalangan ini berpandangan bahwa perubahan sikap sang raja sungguh-sungguh muncul dari kesadaran nurani yang dalam. Kesadaran nurani sang raja terpantik dari seorang pelayan istana yang memilih mati demi melindungi raja dari racikan minuman beracun musuh yang menyusup masuk istana. Spekulasi ini mirip dengan anggapan bahwa raja berubah sikap karena terinspirasi dari pelayan perempuan di istana yang rela melewatkan masa-masa mudanya demi melayani raja.
Sebagian lagi berpendapat bahwa sang raja terinspirasi dari kehidupan burung. Karena sang raja menyukai burung-burung maka seisi istana disesaki banyak spesies burung peliharaan. Suatu waktu ia memilih membebaskan semua burung dari sangkarnya karena suatu malam pernah bermimpi: burung-burung itu bisa berbicara.
Dalam mimpi buruk sang raja, burung-burung itu mengungkapkan penderitaannya dalam sangkar. Lantaran itulah, sang raja tetiba mengumumkan bahwa burung-burung harus hidup bebas di alam. Dari peristiwa itupula, sang raja mengerti makna kebebasan. Spekulasi akan hal ini, entah datang darimana. Tetapi, memang ada benarnya, sebab sudah tidak ada burung peliharaan dalam istana.
Suatu waktu di rumah bordil, para wanita eks pelayan istana dikejutkan dengan pelanggan misterius. Seorang lelaki bertubuh kekar yang meski berpakaian ala warga biasa, belakangan dikenali sebagai sang raja yang menyamar. Sang raja rupanya tidak datang untuk meminta jatah pelayanan seksual, ia datang untuk meminta maaf dan berterima kasih.
“Seorang raja punya tugas melayani dengan baik, terima kasih pada kalian yang mengajari saya hal itu!”
Sang raja lalu pergi. Seisi rumah bordil tak bergeming. Sejak itu, kerajaan antah-beranta semakin sejahtera dan maju. Rakyatnya hidup tentram tanpa prasangka lagi. Semua tahu bahwa rajanya telah berjanji memimpin dengan melayani. Istana raja pun terbuka dua puluh empat jam dengan minim penjagaan. Pemimpin yang melayani itu pun melegenda sepanjang masa di negeri antah-beranta. (*)