Oleh : Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam beberapa pekan terakhir ini dunia maya terutama di laman (X) begitu ramai membicarakan soal akun Kaskus Fufufafa yang disinyalir adalah milik Gibran Rakabuming Raka (wapres terpilih). Berbagai spekulasi dan perspektif yang muncul mewarnai jagat dunia maya termasuk dunia politik nasional. Berbagai perspektif dari pengamat dan ahli telematika merespons akun Kaskus Fufufafa tersebut yang sedikit mengganggu “privacy” pejabat publik dengan cuitan yang tak seronok dan tak sepantasnya.
Fenomena ini kemudian mengundang berbagai komentar dari netizen baik yang positif terlebih lagi yang negatif. Cuitan Fufufafa itu kemudian mengundang banyak sarkasme yang ditujukan kepada Gibran yang dianggap sebagai pemilik dari akun tersebut.
Cacian sarkasme yang ditujukan ke Prabowo dan keluarga, misalnya, “Istri cerai, lebaran sama siapa?”, anak designer homo”---ini tentu sangat mengganggu secara psikologis Prabowo dan keluarga. Kehormatan seorang presiden terpilih terhina oleh seorang wapres yang mendampinginya. Sehingga berbagai pertanyaan yang kemudian muncul, apakah diamnya Prabowo terhadap akun Fufufafa yang menghinanya adalah bentuk politik ancang-ancang menjelang pasca 20 Oktober 2024.
Dan, nyaris di berbagai media tidak ditemukan sikap atau tanggapan Prabowo terkait akun Fufufafa tersebut, terlebih lagi sikap KIM dengan adanya gonjang ganjing akun tersebut. Sekalipun Ahmad Sufmi Dasco (kader Gerindra) hanya sebatas menjawab pertanyaan wartawan dengan nada “kalau pak Prabowo tidak perduli dengan akun tersebut, karena bapak sendiri (Prabowo) tidak pernah membahas soal itu” apalagi menurutnya kalau ada isu keretakan antara Prabowo dengan Gibran.
Sebagai partai pemenang Pilpres tentu Gerindra tidak tinggal diam untuk merespons munculnya akun Kaskus Fufufafa yang semakin meresahkan segelintir orang.
Cuitan tersebut bukan hanya memberikan efek cemas (worried) terhadap pemiliknya yang semakin terkuak dipermukaan dengan berbagai cuitan yang tak pantas dan tak wajar bagi mereka yang normal dengan cara menyerang privacy tokoh dan pejabat publik, selebriti sampai kepada soal-soal seks—yang sesungguhnya hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran dan peradaban dalam umat manusia.
Itu memang bukan semacam ucapan secara langsung sebagaimana, misalnya, Ahok di Pilkada DKI 2017 yang kemudian dianggap sebagai penistaan agama. Tetapi Fufufafa adalah ucapan “verbal” dalam bentuk tulisan yang sesungguhnya kalau dicermati secara etik dan norma sangat-sangat melanggar nilai-nilai dan norma kehidupan bangsa ketimuran yang menjunjung adab dan kesopansantunan. Dan, hal itu cenderung tendensius dan menjijikan dalam perspektif komunikasi yang baik.
Akun Misterius
Misterius?, ya, sangat misterius---kenapa? Pemilik akun hingga saat ini belum diketahui siapa yang punya. Gibran? Yes or No. Namun Menteri Kominfo Budi Arie selalu mengatakan bahwa akun tersebut bukanlah milik Gibran sekali pun hingga saat ini belum ada fakta dari hasil penelusuran Kominfo yang selama ini diumbar kalau akun Fufufafa bukanlah milik Gibran. Lalu kalau begitu siapa pemilik akun tersebut? Misterius bukan!
Gibran pada suatu kesempatan ditanya awak media tentang akun Kaskus Fufufafa. Dia hanya menjawab "tanya yang punya akun". Lagi-lagi misterius, bukan!
Sesuatu yang misterius itu biasanya “ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada”. Namun akun Fufufafa justru dalam beberapa cuitannya sebagai sebuah fakta otentik dari suatu tulisan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang misterius. Terlihat dari interaksi akun Kaskus Fufufafa dengan beberapa orang yang dekat dengan pemilik akun tersebut---hal ini semakin membuktikan kalau akun tersebut tidaklah misterius.
Kecemasan dan Belati
Fufufafa pada akhirnya menimbulkan efek kecemasan (worried), sekali lagi, bukan hanya pada pemilik akun, tetapi juga pada orang-orang yang telah disentil dalam cuitan tersebut. Mengingatkan kepada kita tentang teori psikoanalitis Sigmund Freud (1890) yang memulai memperkenalkan istilah kecemasan dalam taraf kepada dominasi manusia pada tiga hal yakni ; Ide, ego, dan super ego. Namun sekitar tanun 1920-an Freud mendorong aspek kecemasan pasa perilaku yang lain seperti ketakutan dan kecemasan itu sendiri.
Kecemasan (Anxiety) adalah gejala pada prilaku manusia akan kondisi alam atas alam bawah sadarnya—bahwa kecemasan itu akan selalu muncul pada situasi di mana manusia berada pada ancaman baik secara fisik maupun non fisik. Kecemasan itu bisa muncul karena masa lalu yang dianggap tidak ada masalah untuk masa depan manusia, tetapi, dikebanyakan tempat justru banyak manusia terjebak pada masa lalunya ketika ia berada di masa depan.
Hal ini bisa dimulai dari Dominasi, Hegemoni, dan Teror dari pandangan Jena Baudrillard dalam tesis “ The agony of power” Kecemasan dapat muncul dari sisi dominasi dan hegemoni kekuasaan.
Bagaimana kecemasan Amerika Serikat pada tragedi World Trade Centre (WTC) di New York pada 11 September 2001 yang dianggap serangan terorisme. Tragedi ini sesungguhnya adalah jawaban atas hegemoni Amerika Serikat terhadap bangsa-bangsa lain di dunia.
Oleh sebab itu, kecemasan akan selalu muncul dari perilaku dominasi dan hegemoni---termasuk pada aspek kekuasaan. Dominasi rezim Jokowi, misalnya, selama 10 tahun tentu mengalami respons yang pasang surut dengan melihat berbagai kesuksesan dan kegagalan dalam pemerintahannya.
Kecemasan sanksi moral forces tentu akan menghantui, begitu pula dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Namun sebagian orang, misalnya, yang melihat adanya kerusakan secara masif, terstruktur, dan sistematis dalam hal penegakan hukum sekaligus perusakan hukum dan demokrasi tentu menjadi catatan merah bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Itu sudah sunnatullah dan menjadi kewajaran dari setiap fase kepemimpinan.
Tetapi yang paling dramatis dan mengerikan itu adalah di detik-detik terakhir masa jabatan Presiden Jokowi justru “menabur kecemasan” yang luar biasa dengan cuitan akun Kaskus Fufufafa yang disinyalir pemiliknya dalah Gibran (wapres terpilih) dengan daya serang secara personal kepada Prabowo dan keluarga.
Akun Fufufafa pada akhirnya menjadi belati yang bukan hanya mengancam Prabowo, tetapi juga ancaman bagi Jokowi dan keluarganya. Akankah Prabowo akan memaafkan cuitan tersebut, sekalipun pemiliknya adalah sosok yang akan mendampinginya lima tahun ke depan? Ataukah Prabowo akan mempersiapkan strategi untuk mengamputasi benalu yang ada di sekitarnya sehingga tak ada lagi perilaku “Brutus” yang sewaktu-waktu akan membunuh secara kejam?
Patriotisme dan ketegasan seorang jenderal seperti Prabowo tentu akan berada pada ujian yang tidak ringan untuk memutus mata rantai “musuh dalam selimut” yang akan menggunting dalam lipatan. Bersih-bersih di seputaran Istana berikutnya akan menjadi pekerjaan bagi presiden terpilih untuk memastikan belati-belati itu tidak ada lagi di lingkungan Istana. Istana harus bersih dari toksit termasuk membersihkan kehinaan yang bengis dari seorang Fufufafa. “Etika adalah ukuran kalau manusia itu tidak membenci”. (*)