Oleh: Acram Mappaona Azis
MAKASSAR, RAKYATSULSEL. CO - Pilkada Serentak 2024 menjadi antiklimaks pesta demokrasi berkala. Setelah penetapan calon kepala daerah dan penentuan nomor urut, masyarakat akan disajikan “kemeriahan” kampanye yang telah diatur Komisi Pemilihan Umum.
Pengaturan (pembatasan) yang dilakukan penyelenggara, memiliki maksud agar setiap pasangan calon menyampaikan visi misi secara langsung kepada pemilih, dengan tata cara yang beradab.
Dalam perjalanan sistem pemilu langsung, terdapat persepsi publik yang sudah menjadi perbincangan biasa, yaitu persepsi hukum dan persepsi transaksi. Persepsi hukum terbentuk dari fakta yang terjadi, di mana isu hukum dilekatkan dalam diri seseorang untuk menghentikan langkah dalam kontestasi.
Sementara itu, persepsi transaksional dilekatkan di alam pikiran masyarakat mengenai uang dan atau paket kebutuhan pokok sebagai kompensasi dari pilihan.
Pilkada brutal dimulai sejak menanti dukungan partai politik sebagai syarat formil menjadi calon. Dukungan independen merupakan ruang aspirasi non partai politik yang hanya ada di pilkada.
Harga kursi di legislatif menjadi acuan perhitungan. Kontribusi (bukan retribusi) yang disyaratkan untuk mendapatkan surat rekomendasi. Menjadi brutal karena isu jegal menjegal dan kartelisasi politik yang sampai ke publik.
Setelah itu diperoleh, masyarakat mulai mempergunjingkan, di sudut sudut jalan, mengenai uang transport, operasional sampai biaya untuk ke TPS. Gejala ini kemudian disambut dengan dengan pendataan pemilih.
Di sini transaksi KTP mulai berjalan dan kemudian berkembang menjadi foto selfie, layaknya mengajukan pinjaman online.
Calon mulai sadar dan mengendalikan diri, menahan biaya, dan fokus pada biaya ke TPS. Fenomena ini menjadi ramai di masa tenang. Pergerakan amplop dari satu titik ke titik TPS juga bukan hal mudah.
Masyarakat mulai brutal dan pasang harga. Jika ada yang kasih lebih, kenapa harus terima yang sedikit? Lebih brutal lagi yang menerima semuanya.
Meskipun sudah sering dikampanyekan oleh KPU dan Bawaslu, termasuk aparat penegak hukum, namun hal tersebut sudah menjadi persepsi, dan menjadi gerakan tunggu amplop. Bahkan ruang-ruang tatap muka pun tak luput dari amplop untuk hadir, dengan tambahan kue kotak dan paket hemat souvenir.
Sedemikian brutal dan nakalnya pilkada ini, menjadikan kartel kecil di lingkungan TPS mulai memainkan ritme. Kartel menengah yang ada di suatu wilayah tertentu biasanya memiliki 10 sampai dengan 15 TPS yang menggiurkan.
Perdebatan sistem ini, berdampak pada tujuan kampanye, yang memang tidak menarik hanya untuk mendengarkan orasi, joget, dan sedikit hiburan. Penggembala warga tampak senyum manis di sudut tenda sambil memberi kode pada gembalaannya.
Apakah makin brutal dan nakal sampai November 2024 nanti? Hal ini dapat terlihat belum maksimalnya edukasi politik dari penyelenggara dan pasangan calon itu sendiri. Kebutuhan perolehan suara lebih penting, dibandingkan mencerdaskan kehidupan berpolitik di tingkat lokal.
Bagaimana mengatasinya?
KPU dan Bawaslu bisa mengaudit secara saksama dan cermat terkait biaya kampanye, baik yang dikelola melalui Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) maupun di luar RKDK.
Demikian halnya Bawaslu yang seharusnya lebih memperkuat pengawasan, sampai tingkat TPS, yang dimulai sejak penetapan jadwal kampanye, sampai selesainya proses Pilkada 2024.
Sementara Gakumdu, harus diberi sedikit keleluasaan melakukan penyelidikan, dan melakukan serangkaian kegiatan antisipasi, dengan melakukan pemeriksaan di tempat-tempat logistik yang dijadikan nilai tukar untuk perolehan suara.
Jika tidak, maka Pilkada ini hanyalah seremonial pembagian infak dan bansos yang dimaklumi. (*)