Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dinamika sosial yang terjadi akhir-akhir ini, memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan isu dan peran sosial politik keagamaan yang ada di Indonesia. Peran agama dalam membangun masyarakat sangat ditentukan oleh pandangan masyarakat itu tentang agama. Pandangan inilah yang akan menentukan peran agama di dalam masyarakat. Islam datang untuk mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik.
Prinsip-prinsip Islam dalam mengubah masyarakat di antaranya: pertama, prinsip taghyir (perubahan). Islam memandang perubahan sosial harus dimulai dari perubahan individual. Secara berangsur-angsur, perubahan individual ini harus disusul dengan perubahan institusional.
Misalnya, setelah mengajarkan kewajiban muslim terhadap sesamanya, Islam kemudian menetapkan institusi zakat. Prinsip taghyir (perubahan) terinspirasi dari firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Ar-Ra’d/13 :11).
Kedua, perubahan individual menurut Islam harus bermula dari peningkatan dimensi intelektual yakni pengenalan akan syariat Islam, kemudian berpegang pada kalimat tauhid (dimensi ideologikal). Sebagaimana halnya dengan dimensi ritual harus tercermin pada dimensi sosial.
Dalam Islam, salat selalu dihubungkan dengan kehidupan masyarakat; salat harus mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-‘Ankabut/29 : 45). Dalam banyak hal, salat diperintahkan bersamaan dengan perintah dalam kehidupan sosial (QS. Al-Ma’arij/70 : 22-28).
Demikian halnya dengan hadis Nabi, disebutkan bahwa ibadah yang tidak disertai dengan amal saleh dalam kehidupan sosial tidak akan diterima Allah. Mereka yang tidur lelap karena kekenyangan, sementara tetangganya, teman sejawatnya, karib kerabatnya, tidak dapat tidur karena lapar.
Mereka yang salat malam, puasa, tetapi merampas hak orang lain dipandang tidak melaksanakan agamanya. Mereka yang salat, namun menghardik anak yatim dan tidak mendorong untuk memberi makan orang miskin, dipandang sebagai pendusta-pendusta agama.
Ketiga, kemunduran umat Islam tidak hanya terletak pada ketidaktahuan tentang syariat Islam, melainkan pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial. Al-Qur'an menjelaskan bahwa kemiskinan disebabkan tidak adanya usaha bersama untuk membantu kelompok lemah, adanya kelompok yang memanfaatkan kekayaan alam secara rakus, dan mencintai kekayaan dengan sangat berlebihan (QS. Al-Fajr/89 : 18-20). Dengan demikian, Islam menghendaki agar kekayaan tidak berputar pada kalangan orang kaya saja (QS. Al-Hasyr/59 : 7).
Jika terjadi kemiskinan yang meluas di masyarakat, siapakah yang paling bersalah? Boleh jadi Anda beranggapan bahwa kewajiban Anda telah selesai setelah membayar zakat. Pertanyaan yang sama pernah disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat”. Hak inilah yang harus Anda berikan di saat ada orang meminta tolong kepada Anda misalnya menebus resep dan biaya rumah sakit karena tidak mampu, sementara pada diri Anda ada kelebihan uang.
Hak ini juga harus Anda sampaikan kepada siswa dan mahasiswa yang tidak dapat melanjutkan studi bila Anda tidak memberi hak itu kepada mereka. Hak inilah yang harus dituntut oleh mereka yang miskin dari orang-orang kaya bila mereka mengalami kesulitan hidup.
Al-Qur'an berulang-ulang menjelaskan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan adalah tanggung jawab bersama, misalnya menolong dan membela yang lemah (mustadh’afin) adalah tanda-tanda orang yang takwa (QS. Ali-Imran/3 :134). Mengabaikan dan acuh tak acuh terhadap nasib mustdh’afin, enggan memberi pertolongan kepada mereka, menjadi penyebab seseorang dikategorikan sebagai pendusta agama dan salatnya tidak akan diterima Allah. (QS. Al-Ma’un/107: 1-5). Perhatian besar dari ajaran Islam terhadap problem kemiskinan dan keterbelakangan menjadi pertanyaan bagi kita semua sudahkan kita terpanggil untuk mengatasinya? (*)