MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Soliditas dan loyalitas kader partai politik akan diuji pada pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan. Utamanya, pada daerah-daerah yang kontestan di pilkada adalah figur sesama partai yang saling bertarung.
Potensi bagi kader untuk bermain "dua kaki" akan sangat bergantung pada kedekatan personal maupun kepentingan tertentu kepada kandidat. Lantas, bagaimana partai politik mengelola aspirasi kader yang berlawanan dengan keputusan partai agar suara kandidat yang diusung tidak terbelah?
Perpecahan di internal partai politik dalam mengusung kandidat pada Pilkada Serentak akan sulit dihindari. Hal itu dipicu oleh perbedaan antara keinginan kader di daerah dengan keputusan pada elite dalam menentukan figur yang direstui untuk bertarung.
Potensi keretakan soliditas kader di pilkada dipastikan akan terjadi di internal Partai Golkar. Di beberapa daerah, sesama tokoh partai Golkar akan berhadapan untuk memperebutkan kursi kepala daerah.
Di Pilkada Barru, misalnya, Mudassir Hasri Gani tidak diusung Golkar meski sempat menjadi pimpinan partai di daerah itu. Golkar lebih percaya kepada Andi Ina Kartika Sari dapat meraih kemenangan di daerah itu.
Di Kota Parepare, kader Golkar juga tidak akan satu suara karena Ketua Golkar Parepare, Erna Rasyid Taufan ditantang oleh kader beringin, Andi Nurhaldin yang juga anak kandung Wakil Ketua DPP Golkar, Nurdin Halid.
Sesama kader Golkar juga akan bersaing di Pilwali Palopo. Golkar lebih memilih mengusung Rahmat Masri Bandaso ketimbang mendukung Ketua Harian DPD II Golkar Palopo, Nurhaenih.
Sekretaris Golkar Sulsel, Andi Marzuki Wadeng mengungkapkan bahwa kader-kader yang berbeda haluan dengan partai pada pilkada serentak dipastikan akan menerima sanksi organisasi.
"Sanksinya berupa dipecat dari kepengurusan partai," ujar Marzuki, Selasa (1/10/2024).
Ancaman itu didahului oleh Surat edaran DPP Golkar yang ditembuskan kepada para ketua atau pelaksana tugas partai di provinsi, kabupaten, dan kota bernomor B-17/DPP/GOLKAR/IX/2024. Dalam surat itu dijelaskan, tentang larangan penggunaan atribut partai Golkar untuk kampanye bagi calon yang tidak diusung oleh Golkar.
Selain Golkar, kader Partai Amanat Nasional (PAN) juga mengalami hal serupa. Di Pilkada Bone, Andi Irwandi Natsir harus melawan keputusan partai yang mengusung Andi Asman Sulaiman dan Akmal Pasluddin.
Hanya saja, beda dengan Golkar, PAN telah menyatakan tidak akan menjatuhkan sanksi kepada Irwandi yang maju sebagai calon kepala daerah. Ironisnya, sanksi pemecatan malah membayangi kader yang tidak mendukung kandidat yang diusung secara resmi oleh partai.
"Kalau kader yang maju bertarung, masih bisa dimaklumi. Tapi kader yang mendukung calon di luar usungan partai pasti akan dijatuhi sanksi," imbuh Ketua PAN Sulsel, Ashabul Kahfi.
Kahfi membantah isu adanya pemecatan Irwandi Natsir. "Saya tegaskan tidak ada pemecatan terhadap Irwandi Natsir," sambung dia.
Sementara itu, Sekretaris Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sulawesi Selatan Muhammad Haekal mengatakan pihaknya juga mewajibkan semua kader untuk bekerja ekstra memenangkan usungan partai di pilkada.
"Prinsipnya seluruh kader PKB wajib bekerja memenangkan cakada yang diusung. Partai telah menyiapkan sanksi bagi kader yang membelot atau mendukung calon lain," beber Haekal.
Adapun, Wakil Ketua Gerindra Sulsel, Syawaluddin Arief menekankan bahwa sikap tegas partai terhadap kader yang tidak setia kepada garis kebijakan partai di pilkada serentak.
"Kalau statusnya pengurus dan membelot akan diberi sanksi. Kalau berstatus legislator akan langsung diganti. Ini sikap partai melihat kesetiaan dari kader-kadernya," imbuh Arief.
Partai Gerindra saat ini telah menggerakkan seluruh mesin partai untuk memenangkan pasangan calon di pilkada se-Sulsel. Ini bukan sekadar soal memenangkan pilkada, tapi juga tentang tanggung jawab seluruh kader.
"Dan kader Gerindra harus menjadi ujung tombak untuk memastikan kemenangan pasangan calon di Pilkada 2024. Ini adalah panggilan untuk bersatu dan bergerak bersama," ujar dia.
Sedangkan, Ketua PDIP Sulawesi Selatan, Ridwan Andi Wittiri menginstruksikan seluruh pengurus dan kader PDIP di kabupaten dan kota untuk menyatukan langkah dalam memenangkan pasangan yang diusung oleh PDIP.
"Seluruh kerja politik di tingkat daerah harus selaras dan terkoordinasi," kata Ridwan.
Dia mengingatkan bahwa Pilkada Serentak 2024, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, merupakan bagian dari strategi besar PDIP untuk memastikan usungan terbaik mereka terpilih.
"Pilkada serentak baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, harus dilihat sebagai kesatuan yang utuh, bukan kerja parsial berdasarkan usungan kabupaten kota saja," sambung dia.
Anggota DPR RI itu, menegaskan bahwa sinergi ini merupakan kunci dalam menghadapi Pilkada serentak. Dia menekankan bahwa kerja politik tidak bisa dilakukan secara terpisah, melainkan harus terpadu dan solid di seluruh level partai. Hal ini penting untuk memastikan kemenangan tidak hanya di level provinsi, tapi juga di daerah strategis seperti Kota Makassar. Partai sudah memutuskan mengusung kader dalam pilkada gubernur.
"Sehingga konservasi pemenangan cakada provinsi dan kabupaten kota menjadi satu tarikan nafas oleh seluruh struktur dan kader PDIP," kata dia.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Rizal Pauzi mengatakan potensi kader partai untuk mendukung lebih dari satu calon dalam Pilkada cukup besar. Meskipun pada prinsipnya, kader partai harusnya mendukung kandidat atau calon yang direkomendasikan partai.
"Menurut saya, pada prinsipnya anggota parti politik itu akan memilih kandidat yang diusung oleh partainya, itu secara normatif. Tetapi dalam realitasnya partai itu tidak punya alat tekan yang kuat untuk pengurus-pengurusnya, apalagi pengurus di level bawah," ujar Rizal.
Rizal menjelaskan, kader partai yang mungkin akan loyal terhadap usungan partainya hanyalah para anggota legislatif yang terpilih mengingat mereka bisa dikenakan sanksi tegas seperti pergantian antar-waktu (PAW). Namun, bagi pengurus partai di tingkat bawah, disebut tidak ada aturan atau hukuman yang jelas jika mereka mendukung calon lain di luar usungan partai.
"Kalau anggota dewan kan bisa saja sanksi PAW. Tetapi kalau cuman anggota pengurus partai biasa, pengurus kelas bawah itukan tidak ada sanksi jelas sehingga mereka bisa saja main (mendukung siapa saja) ke mana-mana," imbuh dia.
Fenomena ini, lanjutnya Rizal, dipicu oleh lemahnya fanatisme ideologis di tubuh partai politik di Indonesia saat ini, khususnya di Sulawesi Selatan. Dimana orang-orang memilih bergabung di parti politik karena kepentingan, bukan karena melihat ideologi partai.
"Apalagi kendala parti politik kita saat inikan kurang ideologis, dalam artian orang berpartai itu karena kesamaan kepentingan, bukan soal fanatisme ideologi," ujar dia.
Menurut Rizal, peluang kader partai untuk mendukung dua calon sekaligus semakin besar, terutama jika kedua calon adalah tokoh lokal atau figur berpengaruh di daerah masing-masing. Dalam banyak kasus pesta demokrasi di Sulawesi Selatan, pemilih lebih memilih berdasarkan kualitas personal kandidat atau calon ketimbang melihat partai pengusungnya. Bahkan dari hasil survei, pemilih di Sulawesi Selatan cenderung lebih memilih berdasarkan figur kandidat, bukan berdasarkan afiliasi partai.
"Jadi saya pikir itu hal yang wajar ketika misalnya orang memilih kualitas personal. Secara survei juga menunjukkan kalau di Sulsel itu orang cenderung memilih karena personalnya, ketimbang partainya. Jadi wajar saja menurut saya kalau ada (pengurus partai) yang main dua kaki," imbuh Rizal.
"Poinnya bahwa variabel orang memilih itu ada banyak hal, termasuk salah satunya karena parti politik. Tapi kalau untuk level Sulsel ini memilih karena partai politik itu sangat sedikit jumlahnya. Jadi orang mendominasi memilih karena figur kandidatnya," kata dia.
Meski begitu, Rizal tetap mengingatkan agar pimpinan partai politik melakukan evaluasi terhadap kader-kader yang dinilai membelot dari komitmen parti atau dukungan partai itu sendiri.
"Tetapi secara normatif yah seharusnya pimpinan partai politik itu melakukan evaluasi jika ada kadernya yang main dua kaki," imbuh dia.
Bawaslu dan Pemprov Periksa ASN
Bawaslu Sulsel masih melakukan pendalaman dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov Sulsel menyangkut kemungkinan praktik itu masuk ranah tindak pidana pemilu atau hanya masalah etik. Ketiga ASN yang diproses yakni Yarham Yasmin, Zulkhairil, dan Asri.
"Hari ini (kemarin) kami melaksanakan asistensi dokumen dan laporan yang bersangkutan. Kemudian kita masih dalam pembahasan kajian apakah laporan yang disampaikan sudah memenuhi unsur formal dan materialnya," kata Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli.
Dirinya menyebutkan jika saat ini, pihaknya baru meminta keterangan ke pihak pelapor untuk melakukan pendalaman. Sementara terlapor belum dimintai keterangan.
"Baru pelapor yang kita mintai keterangan. Karena kita belum menyurat memanggil mereka. Jadi pengkajian di internal dulu. Nanti setelah itu baru kita memanggil yang bersangkutan," ujar dia.
"Kami butuh satu dua hari pengkajiannya. Karena ini kita juga akan memikirkan penerapan pasal apa yang akan kita gunakan terkait dengan peristiwa potensi pelanggaran yang dilakukan oleh ASN," sambung Mardiana.
Mardiana mengatakan, yang menjadi kajian Bawaslu Sulsel yakni dugaan pelanggaran pidana atau hanya pelanggaran netralitas ASN. "Tindak pidana atau pelanggaran peraturan undang-undang lainnya. Jika di peraturan lainnya maka yang dipersoalkan adalah ASN-nya, otoritasnya BKD," imbuh dia.
Sementara itu, Badan Kepegawaian Daerah Sulawesi Selatan telah memeriksa oknum aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar netralitas. Kepala BKD Sulsel, Sukarniaty Kondolele mengatakan, terduga telah mendatangi BKD untuk memberikan klarifikasi.
"Yang bersangkutan sudah datang memenuhi panggilan untuk klarifikasi. Keterangan itu yang kami dalami," ujar Sukarniaty.
Sukarniaty menolak membeberkan hasil klarifikasi dan keterangan oknum ASN yang dipanggil tersebut. Ia mengutarakan, pendalaman keterangan akan dilakukan untuk memastikan tindakan itu dengan sengaja dipublikasikan untuk menyatakan dukungan terhadap salah satu calon gubernur dan wakil gubernur atau mengajak orang lain dan sebagainya ataukah foto tersebut hanya untuk konsumsi pribadi dan ada oknum yang sengaja menyebarluaskan.
“Kami dulu. Tidak bisa langsung memutuskan karena semua ada aturannya,” ucap dia.
Menurut dia, pihaknya juga akan menunggu hasil pemeriksaan dari Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan. Sukarniaty mengatakan, untuk penentuan pemberian sanksi secara khusus untuk ASN itu akan berpatokan pada Peraturan Pemerintah (PP) 94 tahun 2021 tentang disiplin pegawai negeri. Peraturan itu mengatur tentang larangan ASN dan hukuman, baik hukuman disiplin ringan dengan teguran lisan sampai hukuman disiplin berat dengan pemberhentian secara tidak terhormat.
Perkara yang diusut BKD Sulsel dan Bawaslu Sulsel adalah tersebarnya foto seorang ASN yang diketahui adalah bertugas di Badan Pendapatan Daerah Sulsel. Foto yang diduga Kepala UPT Pendapatan Wilayah Makassar 1, bernama Yarham itu tengah mengangkat tangan kanan dengan simbol dua jari yang merupakan nomor urut Andi Sudirman-Fatmawati di Pilgub Sulsel 2024. Yarham ditemani oleh dua orang lainnya dengan memperlihatkan sebuah kartu yang bergambarkan pasangan Sudirman-Fatmawati.
Adapun, penjabat sementara Wali Kota Makassar, Andi Arwin Azis, menegaskan akan memberikan sanksi tegas kepada ASN Kota Makassar yang menunjukkan keberpihakan dalam Pilkada 2024. Arwin menyebut ASN yang ditemukan melakukan pelanggaran netralitas akan diberi sanksi berupa pemecatan.
"Karena sanksinya hingga pemecatan maka kiranya perlu dipertimbangkan dengan baik bagi ASN yang menunjukkan keberpihakannya," kata Arwin.
Dia menegaskan untuk para ASN tidak memancing dirinya untuk berbuat tega. Maka dari itu, dia mengimbau kepada para ASN untuk tetap bersikap profesional dan dewasa dalam berpolitik. Arwin mengingatkan agar ASN Pemkot Makassar tidak menjadi korban politik. Dia mengaku memahami posisi ASN dalam situasi politik, namun mengingatkan bahwa pelayanan kepada masyarakat harus tetap menjadi prioritas.
“Saya tidak ingin ASN terjebak dalam kampanye paslon, apalagi jika setiap kebijakan yang diambil cenderung mendukung salah satu calon. Ini bisa berdampak buruk bagi kita semua,” ujar Arwin.
Arwin juga menegaskan siapapun yang terpilih nantinya adalah hasil dari proses demokrasi yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sehingga, Ia berharap dapat mengakhiri masa jabatan sebagai Pjs Wali Kota dengan baik tanpa ada yang harus dikorbankan.
Meski demikian, Arwin mengapresiasi bahwa hingga saat ini belum ada ASN Pemkot Makassar yang terbukti melanggar netralitas. (suryadi-abu hamzah-isak pasa'buan/fahrullah/C)