Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Percakapan di ranah kandidat, elit politik, dan segenap lingkaran tim sukses katakanlah sebagai halaman depan demokrasi. Di halaman belakang, ada kelompok masyarakat pemilih (voters) yang secara struktural tidak berelasi langsung dengan halaman depan. Namun, terhubung dalam eskalasi kepentingan politik.
Pada halaman depan, pelaku politik mempercakapkan hal-hal strategis, sabotase, dan kerja-kerja pemenangan. Sementara di halaman belakang membincang harapan-harapan tentang perubahan. Yang pada level mikro, di halaman belakang berkelindan urusan-urusan domestik perihal apa yang bisa didapatkan dari momentum kontestasi.
Demokrasi yang sehat adalah angin segar di halaman belakang demokrasi. Setidaknya karena dua hal: pertama, pemilih memiliki ruang nyaman dan intens untuk mendiskusikan harapan-harapannya. Pemilih memiliki waktu yang cukup mengenali profil dan jejak politik kandidat.
Kedua, pemilih memiliki akses dan kesempatan luas menyandingkan visi politik para kontestan. Dalam konteks ini, pemilih juga punya akses yang intens dan intim bertukar gagasan dengan kandidat.
Poinnya adalah ruang bertutur dalam demokrasi sejatinya mengalir deras dari halaman belakang. Para kandidat mengkapitalisasi visi dan program strategisnya. Lalu, pemilih berkesempatan mendaras isi kepala kandidat secara leluasa. Mereka membuka kran-kran bersuara secara bebas yang mempertemukan antara harapan pemilih dengan telinga-telinga kontestan.
Inilah komunikasi politik dua arah yang memastikan demokrasi bergerak lebih cair. Ruang-ruang publik disediakan untuk percakapan. Bayangkan saja, bagaimana ruang publik seperti taman, terminal dan sebagainya disiapkan akses pengenalan kandidat lebih dalam.
Tim sukses ada di sana dan bersiap meladeni pertanyaan-pertanyaan krusial warga. Menjelaskan tentang rencana kerja kandidat bila terpilih serta bagaimana strategi jitu kandidat mengatasi masalah-masalah sosial.
Gambaran ini tentu suatu kondisi ideal dari iklim kontestasi yang sehat. Jelang Pilkada serentak 2024, harus diakui bahwa kita jauh dari realitas demikian.
Meski, di beberapa tempat ada sejumlah kandidat yang memperkenalkan model-model komunikasi yang cair dan inklusif. Kita perlu memberi apresiasi pada kandidat demikian, sebab punya keberanian mengenalkan politik berbasis gagasan.
Penting untuk memberi kesempatan pada kandidat yang terbiasa punya gaya bertutur yang elegan. Punya skill mendengarkan dengan luwes, punya empati dan political will yang kuat pada isu-isu kerakyatan.
Kandidat seperti ini tidak hanya bekerja untuk memenangkan pertarungan, tetapi membangun tradisi kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Mengayomi dan bersedia menghibahkan segenap kemampuannya untuk rakyatnya.
Jelang Pilkada Serentak 2024, sudah saatnya kita mengecek ulang gaya bertutur kandidat. Identifikasi mana kandidat yang realistis dan apa adanya, mana yang sekadar bombastis dalam kata-kata. Mana pula kandidat yang gaya bertuturnya elegan, terstruktur dengan baik, berbasis data, kontekstual, juga solutif.
Konsekuensi politik dari pilihan yang salah adalah penderitaan kolektif selama lima tahun. Maka penting saling mengingatkan satu sama lain. Pastikan pilihan kita ada pada kandidat dengan memiliki kans mewarisi tradisi bertutur yang elegan pasca terpilih.
Bagaimana memastikan bahwa kita tidak salah pilih? Semua bergantung pada penilaian objektif kita hari ini. Kita mungkin permisif dengan politik uang, tetapi tidak permisif pada jalan kemunduran.
Pilkada adalah jembatan menuju tatanan yang lebih baik, bukan sebaliknya. Sekali lagi, mari kita memeriksa ulang gaya bertutur kandidat dan bagaimana mereka memberi alokasi terciptanya ruang bertutur yang lebih sehat. Pada calon pemimpin dengan model komunikasi yang elegan, ada harapan perubahan. (*)