Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pasca-Pilpres 2024 tentu bukanlah akhir dari perjalanan demokrasi di Indonesia. Berbagai dinamika dan fenomena yang mewarnai jalan politik yang berliku atau yang kita kenal dengan istilah labirin politik. Situasi saling gasak dan saling menyandera semakin nampak dipermukaan.
Fenomena ini sepertinya sulit terbantahkan---bagaimana koalisi itu terbentuk sebagai kaukus kekuatan politik untuk dijadikan sebagai instrumen memenangkan sebuah pertarungan kontekstasi politik disemua level event politik.
Terkait politik sandera---sebagai upaya untuk “mengurung ketua partai” dalam lingkaran kepentingan tentu menjadi sangat efektif bagi kekuasaan untuk menderek sekaligus mendikte ketua-ketua partai yang bermasalah secara hukum. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak memberikan dukungan secara politik yang diinginkan kekuasaan. Ini sebuah kenaifan ketika partai politik harus menyerah dan menjual ideologinya demi kepentingan politik kekuasaan.
Fenomena ini terus menjadi tontonan menarik dalam ruang demokrasi, setelah saling menyandera, kini sepertinya saling memenggal. Bagaimana Airlangga dipenggal di tengah jalan karena ditengarai adanya tekanan secara politik, karena Airlangga dianggap akan sangat berbahaya di tubuh koalisi karena Golkar adalah runner up di pileg, sehingga potensi ini memungkinkan Golkar akan memberi pengaruh terhadap perjalanan pemerintahan yang akan datang.
Mundurnya Airlangga bukan hanya karena tekanan secara politik tetapi juga karena adanya kasus hukum yang mendera. Situasi ini kemudian lewat “brutus” Golkar pun goyang, dan harus mendaulat Bahlil Lahadalia di Munas Golkar.
Golkar mengalami distorsi---berbagai dinamika kemudian mengiringinya, hingga ada kelompok yang memprotes keterpilihan Bahlil sebagai ketua umum Golkar karena dianggap cacat konstitusi, yang seharusnya agenda Munas Golkar sesuai AD/ART di bulan Desember 2024.
Artinya Golkar tentu sedang tidak baik-baik saja, dengan adanya berbagai kemungkinan yang akan muncul. (1) Golkar tetap eksis sebagai partai besar, tetapi dinamikanya akan terus berkembang seiring dengan mundurnya Airlangga di tengah jalan.
(2) Tentu akan memunculkan berbagai perspektif tentang Bahlil, apakah ini murni dari dorongan kader atau ada pihak lain dibalik itu. Kisah “Brutus” sepertinya akan mewarnai jalan liku politik Golkar pasca 20 oktober 2024. Kalau kemudian “tangan lain” itu muncul maka Golkar akan mengalami kegoncangan secara internal, dan bisa-bisa menyebabkan terjadinya distrust publik. Karena Golkar (akan tertuduh) sebagai partai kaki tangan penguasa lewat Brutusisme.
Brutus in The Palace Circle.
Berbagai pertanyaan yang akan muncul setelah Golkar mengalami “pembonsaian” apakah di lingkaran Istana ada Brutus? Situasi politik saat ini semakin memperlihatkan berbagai perilaku Brutus yang menikam kawan politik dari dalam. (Mungkin) Airlangga mengalami hal serupa di tubuh Golkar---bukan alasan untuk fokus sebagai menteri, sangat spekulatif.
Yang cukup tragis adalah ketika pidato pertama Bahlil setelah didapuk sebagai ketua umum Partai Golkar dengan narasi “jangan main-main dengan Raja Jawa, celaka kita”. Ucapan Bahlil ini pada akhirnya memunculkan berbagai polemik dan perspektif tentang Raja Jawa yang dimaksud.
Mungkinkah Raja Jawa yang dimaksud itu adalah Jokowi? Pernyataan Bahlil itu sangat berindikasi pada satire-locally yang berarti kalau “Raja Jawa” itu jahat, bengis, kejam, dan culas. Ini sebenarnya merendahkan suku Jawa sekaligus penghinaan.
Berkaca dari kisah Brutus di istana Yulio Caesar yang kemudian di bunuh dalam sidang parlemen oleh para pengikutnya sendiri. Semua itu terjadi di luar dugaan mengingat Brutus hanya seorang pelayan istana.
Para penasihat kerajaan pun sudah membelot ketika melihat gelagat sang Caesar tidak lagi mampu mengendalikan nafsu kekuasaannya. Istana mengalami kegoncangan atas kematian sang Caesar. Tak ada yang benar-benar setia dalam kekuasaan saat keserakahan dan kerakusan melanda istana.
Sehingga boleh jadi “para Brutus” mulai mengasah belatinya entah kepada siapa ia akan tusukkan. Bahlil yang telah berhasil menusuk sang ketua sehingga harus terpental jatuh---memang sangat mengejutkan di saat Anies Baswedan dijegal justru Airlangga Hartarto yang terjungkal. Bahlil telah melumuri tangannya dengan darah karena titah Sang Raja.
Fenomena politik ini kemudian kita bawa pada arena “demokrasi Indonesia” yang tidak sedang baik-baik saja---ada banyak tragedi yang terjadi di ujung kemangkatan seorang pemimpin negara. Tragedi KPK yang akhir-akhir ini lagi menghadapi sorotan terkait gratifikasi jet pribadi Kaesang, Blok Medan di kasus korupsi AGK (Gubernur Maluku Utara). Berbagai dalih dan dalil dari KPK untuk anak dan keluarga presiden, akan KPK berani memanggilnya? Hingga detik ini KPK tetap tak bergeming, takut atau dalam posisi tekanan.
Belum lagi akun Kaskus Fufufafa yang lagi trending di laman (X) yang diduga milik Gibran Rakabuming Raka (wapres terpilih)---yang telah melalukan penghinaan secara seronok kepada Prabowo dan keluarganya yang mulai terbongkar. Ini akan menjadi bom waktu bagi posisi Gibran dalam mendampingi Prabowo sebagai presiden terpilih. Sekaligus Fufufafa akan menjadi Brutus pada dirinya sendiri di ujung jabatan sang bapak sebagai presiden.
Tentu jejak digital ini akan menjadi catatan bagi Prabowo untuk Gibran---akankah koalisi akan tetap bertahan? Ataukah Gibran akan ditinggalkan di tengah jalan? Atau dimakzulkan setelah ia dilantik menjadi wapres. Semua itu akan menjadi drama yang paling apik di lingkaran Istana. Prabowo tentu akan menghindari adanya “Brutus” di lingkaran kekuasaannya.
Targedi ini pada akhirnya menimbulkan kecemasan bagi Jokowi di detik-detik terakhir kekuasaannya, karena ini soal moral dan etik bagi kelangsungan dan harmonisasi pemerintahan ditangan Prabowo sebagai presiden, Gibran di ujung tanduk.
Akhir yang Mencemaskan
Dari Golkar yang ditebas, Blok Medan, jet pribadi, hingga Fufufafa---adalah secara alamiah telah menimbulkan kecemasan luar biasa bagi Istana terutama di lingkungan keluarga Jokowi. Semua tak terduga setelah hiruk pikuk pilpres kemarin yang menyuguhkan berbagai dramatikal dan tragedi yang luar biasa, hingga di penghujung hari saat-saat ini---semua tirai terbuka dan terbongkar, mulai dari kejahatan politik, ilegal mining, sampai kepada akun Fufufafa nyaris membuat Istana harus mencari cara bagaimana menghalau semua isu dan informasi yang berkembang terkait penghinaan yang sangat memalukan itu yang dialamatkan kepada Prabowo, Andi Arief, Habiburokhman serta celetukan terhadap hal-hal yang berbau seks. Ini secara etis tidak pantas apalagi seorang anak presiden yang kemudian terpilih menjadi wakil presiden.
Kecemasan itu cukup beralasan, akankah Prabowo tetap memilih diam? Ataukah memilih harmonis dengan hinaan dan cacian? Jokowi pada akhirnya di ujung tanduk, Istana gelisah untuk mencari alibi dan pembelaan kalau semua itu bukanlah Gibran yang dimaksud dalam akun Fufufafa.
Ini gejala neuritis dari seorang Jokowi di penghujung masa jabatannya. KIM mulai ada serpihan-serpihan, misalnya, mundurnya Sahroni jadi ketua tim pemenangan RK-Suswono, majunya calon PKS di Jabar melawan jagoan KIM Dedy Mulyadi. Maka benar kata David Esaton (1974) “Tak ada oposisi dan koalisi permanen dalam negara yang mengalami transisi demokrasi”---Indonesia bukan hanya mengalami transisi demokrasi tetapi juga perusakan demokrasi yang sangat masif.
Karena itu tak ada kesetiaan dalam politik, yang ada adalah “siapa mendapat apa” dan “apa untuk siapa”. Demikian tragedi politik di titik akhir seorang presiden. (*)