Menurut Sibali, bukan suatu tugas yang ringan dan seluruh Hakim harus bersedia ditempatkan di pengadilan mana saja, termasuk di pelosok-pelosok Indonesia. Kewajiban ini dianggap tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan.
"Utamanya hakim-hakim kita di pelosok dan kepulauan yang rentan risiko yang sangat luar biasa. Kami adalah penegak hukum, penentu yang terakhir dalam hal keadilan perlu juga diprioritaskan," ungkap Sibali.
Sibali menyebut, mestinya pemerintah sejak dari dulu memberikan perhatian khusus bagi para Hakim di Indonesia. Namun faktanya pemerintah abai meningkatkan tunjangan atas pengabdian yang telah dilakukan para Hakim, termasuk abai untuk memberikan perlindungan dan menjamin rasa aman bagi Hakim.
Bukan itu saja, pemerintah juga disebut tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan hakim secara umum. Sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 23 P/HUM/2018 yang pada pokoknya Pemerintah memiliki kewajiban hukum untuk melakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung.
Hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif disebut diperlakukan secara diskriminatif dengan melakukan pengabaian atas hak kesejahteraan, perumahan atau rumah dinas dan keamanan bagi Hakim. Padahal hakim seringkali berhadapan dengan beragam kejadian yang membahayakan keamanan dan keselamatannya, bahkan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa.
Beberapa kasus yang pernah terjadi kata Sibali, yakni pembunuhan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita tahun 2001, pembunuhan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo di ruang sidang tahun 2005, dan pemukulan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2019.