“Wakil Tuhan” Menuntut Negara

  • Bagikan
Praktisi hukum, Acram Mappaona Azis

Oleh: Acram Mappaona Aziz

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hakim sebagai pejabat negara, tentu berbeda kedudukannya dengan pekerja (buruh). Namun demikian, hakim melalui aksi mogok dalam upaya menuntut kenaikan penghasilan, menimbulkan pertanyaan lantang: ada apa dengan negeri ini?

Sedemikian tertutupkah pintu-pintu komunikasi antara Mahkamah Agung dengan pemerintah dan DPR dalam merumuskan kebijakan penyesuaian gaji hakim? Atau mungkin organisasi profesi hakim sudah tidak mempercayai institusi sendiri dalam mengajukan gugatan hak melalui pengadilan? Atau mungkin memang Mahkamah Konstitusi belum memiliki kekuasaan eksekutorial terhadap putusannya?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, jerit hati hakim yang menuntut negara untuk menyesuaikan penghasilan, sepatutnya menarik perhatian publik. Sebagai "wakil Tuhan" dalam suatu negara, dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang hakim menjadi "malaikat" penentu nasib, bahkan sampai untuk mencabut nyawa, atau merampas segala harta kekayaan seseorang. Hakim memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki eksekutif dan legislatif.

Pertanyaan yang kemudian menggelitik, apakah dan berapakah standar yang tepat untuk penghasilan seorang hakim? Variabel UMR tentu tidaklah tepat. Demikian halnya jika patokannya berdasarkan gaji anggota DPR RI atau DPRD propinsi, kabupaten, dan kota.

Demikian halnya gaji kepala daerah, bahkan menteri tidak dapat menjadi patokan. Apakah laju inflasi, kenaikan harga menjadi acuan untuk menentukan kenaikan penghasilan? Apakah gaji hakim di Papua, Aceh dipersamakan dengan gaji hakim di Jakarta, Surabaya, Medan, atau Makassar?

Bukan hal yang mudah untuk mendudukkan standar gaji hakim. Jika melihat dari beban perkara yang diperiksa, dikaitkan dengan kelas pengadilan yang masih diterapkan sampai hari ini, maka kenaikan gaji tersebut, secara proporsional menyesuaikan. Menurut hemat penulis, kenaikan gaji hakim secara pro rata juga tidak fair.

Yang diperlukan untuk lebih memperbaiki layanan pengadilan adalah penyesuaian tunjangan dan fasilitas yang dapat diukur dengan beban perkara yang ditangani, wilayah penugasan, dan kelas pengadilan. Hal ini tentu akan lebih fair, dan kinerja hakim dapat terukur.

Selain penyesuaian tersebut, fasilitas dalam jabatan sebaiknya diberikan ke individu, tidak sekadar fasilitas untuk ketua pengadilan. Salah satunya adalah rumah dinas dan fasilitas transportasi di setiap tempat penugasan.

Dengan perbaikan penghasilan dan fasilitas secara proporsional tersebut, hakim dapat fokus memberikan layanan peradilan yang baik. Psikologi hakim tidak lagi terganggu dengan tagihan kontrakan di tempat penugasan, termasuk untuk transportasi lokal.

Dikaitkan dengan pengembangan system ecourt, seorang hakim juga sudah saatnya mendapatkan fasilitas perangkat teknologi informasi yang menjadi kesatuan dari fasilitas dalam kabatan hakim.

Ke depan tentu kita tidak lagi mendengar ada hakim meninggal di kamar indekos, atau mengalami kecelakaan mengendarai sepeda motor milik staf pengadilan di daerah penugasan. Demikian halnya dengan fasilitas-fasilitas jabatan yang dapat menunjang kinerja hakim. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version