Oleh: Anis Kurniawan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Uang dalam politik memang bukan segalanya. Tetapi kekuasaan acap kali dapat dibeli dengan uang. Adagium ini sama populernya dengan “isi tas” jauh lebih penting dari kualitas juga integritas dalam politik. Kedua kalimat ini seolah menegaskan betapa krusial peran uang dalam politik dan kekuasaan.
Kedua narasi tersebut juga mewakili pesimisme mayoritas warga bangsa, kini. Berkaca dari pemilu ke pemilu, juga pilkada, politik uang memang telah berbicara banyak sebagai faktor kunci pemenangan. Bila pun tak demikian, setidaknya dipercaya bahwa tanpa uang mustahil dapat bertarung dengan elegan.
Bahkan, lebih ekstrem lagi menyebut bahwa tanpa uang, tiada guna bertarung. Tak terhitung berapa banyak tokoh yang cerdas, populer, serta memiliki potensi elektoral tinggi, memilih tidak bertarung dengan alasan “no money”!
Uang dalam kontestasi politik tentu dilihat dalam dua hal. Pertama, uang sebagai ongkos politik. Sebagai sebuah organisasi pemenangan, setiap kandidat membutuhkan uang untuk kerja-kerja tim dan kampanye politik. Kedua, uang sebagai instrumen merebut dukungan pemilih. Dalam konteks ini, uang dipakai sebagai cash transfer memastikan suara pemilih--juga uang untuk mendapatkan kendaraan politik. Keduanya menandai, politik transaksional dimana kuasa uang tiada terhindarkan.
Karena itulah, pada pelbagai pertanyaan survei politik mengenai politik uang, mayoritas responden tampak permisif dengan pola-pola cash transfer. Bahkan dalam wawancara secara random, mayoritas pemilih mengatakan: “Kalau ada uangnya, sinimi!” begitu yang sering kita dengarkan.
Fenomena politik uang semakin menarik karena terus berevolusi. Vulgar, semakin tak terkendali. Ambil contoh, usai Pemilu 2024 yang lalu, tersebar kabar bahwa caleg A yang terpilih menghabiskan sekian ember, caleg B juga beberapa ember. Atau desas-desus bahwa caleg X tidak terpilih, padahal sudah mengeluarkan 2-3 ember.
Kesimpulannya, informasi publik tentang fenomena politik uang perlahan menjadi rahasia umum. Jadi, politik uang sungguh-sungguh dilakonkan oleh politisi dan masyarakat menikmatinya pula.
Seorang kawan saya bilang begini: jika bertarung sesama kandidat yang mem-bom dengan uang, maka pemenangnya akan bergantung pada siapa paling hebat menentukan target yang tepat sasaran. Faktanya, pemilih juga semakin terdidik dengan fenomena politik uang. Tidak sedikit pemilih yang memanfaatkan peluang mendapatkan cuan dari sengkarut politik uang.
Di sisi lain, kandidat juga semakin efektif melakonkan politik uang agar tidak tercium sebagai “money politic”. Seorang kandidat yang punya banyak uang tentu dapat melakukan apa saja untuk menggaet pemilih pragmatis. Katakanlah dengan merekrut relawan sebanyak mungkin dengan memberikan fasilitas cukup dalam kerja-kerja mereka dan seterusnya. Semua ini, sekali lagi menggambarkan kuasa uang dalam pertarungan politik.
Drama politik uang akan semakin subur di tengah minimnya politik gagasan. Para calon kita sepertinya hanya bertarung memperbanyak alat peraga kampanye, lomba desain baliho paling beken atau foto calon paling menawan. Kita kekurangan kanal-kanal khusus yang lebih kritis mengenyam jejak politik, visi dan pemikiran kandidat.
Debat kandidat hanyalah satu-satunya momentum memberi penilaian objektif pada kandidat. Itupun tidak seratus persen menjawab espektasi pemilih. Ketika debat digelar, mungkin hanya 20-30 persen saja pemilih yang belum menentukan pilihan. Sisanya, berpotensi sudah tersentuh oleh program-program kampanye kandidat. Atau telah terhubung dengan agency kandidat untuk konsensus yang bersifat transaksional.
Wajarlah bila aroma politik dinasti semakin menjadi-jadi. Lihatlah, bagaimana artis-artis dengan sumberdaya finansial bagus akhirnya mengisi kursi parlemen. Selebihnya akan kita jumpai orang-orang yang memang memiliki modalitas ekonomi memadai. Lagi-lagi, uang telah menjadi penanda utama dalam demokrasi transaksional.
Kita sudah lebih dari satu dekade belajar tentang siklus politik uang. Semakin banyak yang melakoninya dan hanya sedikit yang trauma dengan lakon politik uang. Semakin hari, peristiwa korupsi di elite merajalela seperti hama padi. Di level akar rumput, pemilih kita di titik nadir dengan permisif pada pola-pola politik uang.
Pilkada Serentak 2024 semoga menghentak akal sehat kita bahwa uang memang bukanlah segalanya, politik gagasan jauh lebih penting. Mereka yang berjuang secara murni dan konsekuen untuk kepentingan dan keberpihakan rakyat patut didukung sebagai tanda bahwa kita punya akal sehat--itulah bentuk kemerdekaan sejati dalam berdemokrasi! (*)