MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sejumlah figur perempuan akan berkontestasi di panggung Pemilihan Gubernur dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.
Partisipasi para srikandi dalam perhelatan politik ini menambah warna tersendiri dalam pelaksanaan Pilkada. Meskipun menurut sebagian orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di Sulawesi Selatan, dari total 70 pasangan calon (paslon) Gubernur, Bupati dan Wali Kota 2024, terdapat 11 daerah (kabupaten/kota) dan 1 figur perempuan di Provinsi (Gubernur). Dari 11 daerah itu, terdapat 18 figur perempuan maju di arena pilkada.
Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Rizal Fauzi menilai, kehadiran perempuan dalam kontestasi politik memiliki kelebihan tersendiri.
Menurutnya, pemimpin perempuan sering kali lebih mudah diterima di kalangan masyarakat, terutama di kalangan ibu-ibu dan generasi muda.
“Mereka cenderung lebih cepat diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan calon laki-laki,” kata Rizal, Jumat (11/10/2024).
Rizal mengatakan, salah satu alasan mengapa pemimpin perempuan lebih mudah diterima adalah karena mereka dianggap lebih mudah bergaul dan berinteraksi, terutama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lebih intim seperti ibu-ibu rumah tangga.
“(Kandidat perempuan) Memiliki kemampuan mereka untuk bercanda dan berinteraksi lebih akrab, terutama di lingkungan dapur atau tempat-tempat komunitas ibu-ibu,” sebutannya.
Hanya saja, menurut Rizal ada tantangan yang juga dihadapi calon kepala daerah perempuan, khususnya di daerah-daerah yang memiliki tingkat religiusitas tinggi.
Di wilayah-wilayah seperti ini, kata Rizal, pemimpin perempuan yang menempati posisi puncak atau kosong satu calon kepala daerah kerap kurang diterima oleh sebagian elite atau tokoh masyarakat.
"Di beberapa daerah dengan nilai-nilai patriarki yang kuat, masih ada anggapan bahwa kepemimpinan perempuan belum sepenuhnya diterima. Masyarakat religius di daerah-daerah ini cenderung lebih mendukung calon laki-laki jika masih ada yang memiliki kapasitas,” jelasnya.
Namun untuk posisi kosong dua wakil kepala daerah, lanjut Rizal, calon perempuan cenderung lebih bisa diterima dan diapresiasi. Kombinasi antara pemimpin laki-laki dan wakil perempuan dinilai lebih ideal oleh banyak pihak, baik dari sisi representasi gender maupun kapabilitas.
“Pemimpin laki-laki dan perempuan sebagai kombinasi itu sering dianggap lebih baik. Ada plus minus di sini. Tapi kalau calon perempuan di posisi kosong satu, mereka sering kali kurang diterima di wilayah dengan budaya patriarki yang kuat,” terangnya.
Di sisi lain, Rizal juga mengakui bahwa secara umum, pemimpin perempuan lebih mudah membangun jaringan dan interaksi dengan masyarakat, terutama di kalangan perempuan.
"Sesama perempuan biasanya lebih mudah memperjuangkan kepentingan perempuan. Ini menjadi salah satu kelebihan yang dimiliki calon perempuan," tambahnya.
Pemerhati perempuan sekaligus Akademisi UMI, Nur Fadhilah Mappaselleng menilai, fenomena munculnya figur perempuan di Pilkada karena semakin cerdasnya kalangan masyarakat baik itu pemilih maupun politikus itu sendiri.
Menilik 10 tahun yang lalu, kondisi semacam ini belum terbentuk karena animo perempuan pada waktu itu sedang dalam perkembangan.
"Munculnya para figur perempuan ini merupakan buah dari perjuangan para perempuan itu sendiri," tuturnya.
Wakil Rektor III UMI itu beranggapan, eksistensi perempuan di arena panggung Pilkada 2024 se-Sulsel menjadi bukti nyata perempuan lebih maju dan cerdas dari segi pengetahuan politik.
"Artinya mereka sudah semaju itu, kemudian mapan secara politik dan secara ekonomi karena bagaimana pun juga perempuan itu memerlukan biaya yang cukup besar, terutama dalam pemilihan seperti sekarang," katanya.
Ia menilai keterlibatan perempuan di arena Pilkada bukan lagi sebatas pelengkap saja melainkan sudah tampil sebagai pemain utama.
Bagi mantan Timsel KPU Sulsel itu, momen ini merupakan peluang bagi perempuan untuk membuktikan diri. Pasalnya tidak ada lagi pembatasan ataupun kuota.
Menurut Fadhilah, sudah saatnya perempuan punya level yang sama dalam memimpin suatu daerah. Dia juga menegaskan bahwa ini bukan soal 'perempuannya' melainkan soal kemampuan.
Sementara, Direktur Eksekutif Yasmib (Yayasan Swadaya Mitra Bangsa Sulawesi), Rosniaty Azis menilai, meski pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU menyatakan pemilih perempuan lebih tinggi, namun determinasi pilihannya jatuh kepada kandidat perempuan juga tidak bisa menjadi jaminan.
"Apalagi jika sepanjang partisipasi perempuan di panggung politik, keberadaannya pun dianggap tidak mempresentasikan keterwakilan perempuan," ujarnya.
Menurut Ros, wajah politik perempuan secara umum baik di kancah nasional maupun regional saat ini juga belum bisa dilepaskan dari hubungan garis kekerabatan petinggi partai di dalamnya.