Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sejarah demokrasi sesungguhnya bukan sejarah yang pendek untuk melihat sejauhmana demokrasi itu dijadikan sebagai pilihan sistem politik dalam bernegara. Sejarah begitu banyak mencatat kalau di bebrapa ratus tahun yang lalu jauh sebelum demokrasi dijadikan sebagai sistem alternatif dalam tata kelolah bernegara, akan begitu banyak sistem yang ada sebelumnya seperti otoriatraianisme, fasisme, liberalisme, plutokratisme sampai kepada okhlokratisme ala Platonik. Semua itu adalah cerminan dari serpihan sejarah yang memberi tanda kalau demokrasi hadir sebagai antitesa dari sistem-sistem yang sebelumnya.
Demokrasi oleh Francis Fukuyama sebagai perkara umat manusia sejagat, sepertinya akan menjadi alternatif terbaik atas kehancuran sosialisme di timur dan di beberapa negara di Eropa. Namun terlepas dari itu demokrasi sebagaimana the last man dalam tulisan Fukuyama menegaskan akan bangkitnya demokrasi kapitalisme sebagai alternatif terbaik dari sistem-sistem yang pernah ada sebelumnya.
Ini paradoks. Memilih demokrasi sebagai sebuah pilihan tetapi praktiknya justru mengakibatkan proses politik akan berbiaya mahal. Kapitalisme demokrasi tentu memiliki semangat “market politik dengan berbasis modal” ini justru menjadi hal yang mustahil diwujudkan di tengah bangsa dan negara yang tingkat dan pola kesadaran politiknya masih sangat rendah, belum lagi tingkat kemiskinan di dalam satu negara, semua akan menjadi absurd bila “kapitalisasi politik” yang berkedok demokrasi.
Begitu banyak pameo kalau demokrasi itu mahal--mahal karena pola transaksional dan pragmatisme dari pelaku politik (politisi) yang berkecendrungan membeli partai hanya untuk menjadikan kendaraan dalam event politik. Sehingga hal ini juga menjadi penyebab partai politik kehilangan kepercayaan (trust) dari publik. Senada dengan hal tersebut kita bisa amati kalau anggota DPR RI periode 2024-2029 mayoritas adalah pebisnis atau pengusaha. Dari hasil survei yang ada mereka rata-rata harus mengeluarkan dana Rp 80 miliar untuk bisa meraih satu kursi ke Senayan.
Secara matematis---ini akan memprihatinkan, yang ada malah bagaimana cara mereka mengembalikan modal politik yang demikian besar? Artinya, setahun atau sampai tiga tahun mereka belum tentu bekerja untuk rakyat karena sibuk mengumpulkan pundi-pundi dalam rangka mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkannya. Inilah wajah demokrasi yang berbiaya mahal itu---kapitalisme demokrasi.
Tukar Guling dalam Politik
Menyoal tentang politik yang berbiaya mahal tadi, sesungguhnya ini sangat memprihatinkan sejalan dengan tumbuhnya demokrasi di akar rumput. Artinya demokrasi mulai bertumbuh dengan kesadaran politik, tetapi semua itu menjadi musnah karena politik kapitalisasi atau sering disebut sebagai obligator vote (menjual suara).
Fenomena obligator vote ini terus terjadi dari pemilu ke pemilu, bahkan di tingkat pilkada pun nyaris situasi seperti ini tidak terjadi. Sehingga akan memunculkan kecemasan atas matinya demokrasi dengan harga yang menggila. Demokrasi yang sesungguhnya memiliki peran sebagai jembatan dalam rangka mengupayakan kecerdasan dan kesadaran politik kolektif justru dibredel oleh para pemilik modal dengan dalih atas nama demokrasi.
Fenomena pembredelan demokrasi bukan hanya di tingkat yang paling rendah dalam politik nasional—tetapi praktik saling memotong dan memenggal terjadi justru di tingkat yang paling tinggi yakni ketika “hukum mengatasnamakan demokrasi”. Akhirnya MK memutuskan batas calon presiden dan wakil presiden yang kemudian mengalami gelombang protes. Belum lagi terkait putusan MK 60 dan 70 yang memberikan syarat pencalonan partai politik di angka 7,5% di mana memungkinkan partai non parlemen dapat mengusulkan calon kandidat dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024.
Demokrasi kembali terbuka dengan melepaskan “politik segel” ambang batas 20% dukungan partai. Tetapi itu lalu menjadikan demokrasi berjalan dengan baik dan elegan, justru hiruk pikuk semakin ramai---karena koalisi mengalami keretakan sehingga partai-partai memiliki kesempatan untuk mengusung calon. Contoh seperti PDIP di DKI Jakarta secara tunggal mengusung Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada DKI Jakarta. Tentu serupa juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia sejak adanya putusan MK 60 Tahun 2024.
Kecemasan ala Sigmund Freud, misalnya, mencatat beberapa kecemasan dalam kekuasaan. Salah satu di antaranya kecemasan neuriticisme yakni semacam kecemasan dengan kegoncangan yang tinggi secara psikologis---seseorang akan membayangkan hidupnya setelah ia tidak berkuasa.
Post Poower syndrome, ia pernah dihargai lalu kemudian ia menjadi jelata dan tak dihargai. Kegilaan pada kekuasaan pada seseorang apalagi dengan sudah membayar demokrasi dengan harga mahal, maka psikologi-kebatinannya akan terus terganggu, apalagi kalau di masa kepemimpinannya banyak hal yang dilakukan dengan cara yang keliru atau bertentangan dengan konstitusi negara.
Di banyak tempat realitas seperti ini kadang kita jumpai bagi yang pernah berkuasa tiba-tiba tidak lagi berkuasa. Kecemasan itu manusiawi---tetapi juga begitu mengganggu psikologi seseorang. Kalau ia baik maka akan selalu menemukan kebaikan-kebaikan setelahnya. Tetapi ketika ia jahat maka akan sebaliknya menemukan hal-hal yang mengganggu kepribadiannya.
Seperti bagaimana mantan presiden Korea, misalnya, setelah ia mangkat justru diadili oleh seorang hakim di negara itu karena kejahatannya di masa lalu.
Sebagai negara hukum tentu semua warga negara sama di mata hukum, tak ada hak imunitas yang melekat pada diri seseorang sehingga hukum mengabaikannya. Ini soal penegakan hukum dan keadilan---kalau seseorang mantan pejabat publik melakukan pelanggaran lalu ia memiliki hak imunitas hukum, maka secara otomatis ia melakukan tindakan kejahatan dibenarkan oleh negara. Artinya hukum hanya milik penguasa bukan untuk semua warga negara.
Karena itu negara hukum harus menjadikan hukum sebagai panglima di dalam rangka penegakan hukum tanpa harus tebang pilih. Tentu menjadi soal bagi hukum ketika ada hak imunitas yang dimiliki oleh pejabat publik sehingga ia tidak bisa diproses secara hukum. Di beberapa tempat seperti Singapura mantan menteri harus dipenjara karena menerima gratifikasi. Maka sangat terbalik di Indonesia justru KPK jangankan untuk memenjarakan seseorang, mengumumkan pun juga tidak punya nyali dan keberanian.
Itulah fenomena hukum yang harus mati di tangan penegak hukumnya. Mau bicara keadilan? Ius summa ius Umaniora (keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri)---dan kita sedang menikmati itu selama kurang lebih lima tahun terakhir ini.
Indeks demokrasi yang turun drastis, indeks penegakan hukum juga demikian—revolusi mental yang diharapkan justru melahirkan mental bajingan nan korup.
Pada akhirnya ada semacam kecemasan yang luar biasa di penghujung kepemimpinan Jokowi---IKN misalnya yang berpotensi mangkrak, hutang luar negeri, korupsi, dan jejaring bsinis anak, menantu, dan keluarga, cuitan Fufufafa, semua itu adalah ancaman sekaligus kecemasan bagi Jokowi setelah lengser.
Mungkinkah kesetiaan dengan Prabowo akan berakhir, karena pemerintahan Prabowo tidak akan kompromi dengan korupsi artinya ada upaya bersih-bersih di pemerintahan Prabowo. Sekalipun di akhir jabatan Jokowi melakukan manuver yang dianggap sebagai skenario “licik” untuk menjebak Prabowo agar menandatangani Kepres tentang pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan. Tentu Prabowo tak sebodoh itu untuk terjebak dalam skenario politik “cuci tangan Jokowi”.
Sebab terlalu banyak warisan yang rusak yang akan diwariskan ke Prabowo---sehingga pemerintahan di masa depan butuh kehati-hatian untuk mengambil kebijakan terkait hal-hal yang sifatnya strategis bagi kemajuan bangsa. Tantangan Prabowo tidaklah mudah, ia harus menambal kebocoran-kebocoran yang ada selama ini.
Maka dengan demikian sekali lagi Jokowi berada dalam situasi kecemasan yang mengkhawatirkan---mungkinkah semua akan baik-baik saja setelah ia mangkat, bagaimana posisi anak dan menantu, akankah tetap terjaga dipanggung kekuasaan Prabowo? Pada intinya hukum harus tegak dan keadilan harus diciptakan demi menyelamatkan marwah konstitusi dalam bernegara,
“The law must be upheld for anyone who is quilty And justise must be created for anyone in humanity” yakni hukum harus tegak pada siapa pun yang bersalah dan keadilan harus diciptakan kepada siapa pun pada manusia. (*)