Oleh: Ema Husain Sofyan
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Banyak negara pada tahun 2024 menyelenggarakan pemilihan umum, termasuk Indonesia tepatnya pada Februari lalu dan dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah secara nasional 27 November nanti. Amerika Serikat sebagai master plant demokrasi juga melakukan pemilu. Dan, di Amerika berawal hiruk pikuk demokrasi saat Pilpres AS pada 2016, Saat Donal Trump menggunakan mahadata dan penyasaran mikro saat melakukan kampanye.
Dengan menyebarkan informasi yang tidak benar dan penuh hoaks, melalui media sosial seperti FB, X, IG, dan medsos lainnya. Alhasil dengan cara itu Donald Trump muncul sebagai pemenang Pilpres AS dengan mengalahkan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.
Pelaksanaan pilkada yang saat ini memasuki masa kampanye, terdapat saling serang antarpendukung calon kepala daerah (cakada). Kita sudah menyaksikan kampanye hitam dan hasutan terhadap cakada yang dilakukan oleh simpatisan ataupun tim sukses. Hal tersebut sudah berlangsung saat masa sebelum penetapan pasangan calon.
Seperti si A tidak akan diloloskan KPU karena mengidap penyakit tertentu. Si B jangan dipilih karena akan membangun dinasti, Si C jika terpilih akan membuat kartel bisnis dan sebagainya.
Untuk meredam agar berita hoaks tidak merajalela, maka edukasi pada pemilih menjadi efektif untuk disosialisasikan oleh stakeholder kepemiluan dan semua pihak yang merasa berkepentingan untuk menciptakan pilkada yang damai dan bermartabat. Semisal, mensosialisasikan bahwasanya baik pembuat maupun penyebar berita bohong terkait pilkada di media sosial dapat dijerat hukum pidana. Baik itu dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun UU terkait Pemilihan Kepala Daerah dalam hal ini dijerat dengan pidana pemilu.
Penyebaran hoaks yang kerap terjadi akibat masih rendahnya literasi masyarakat kita. Setiap informasi yang diterima langsung diteruskan atau disebarkan pada pihak lainnya, tanpa membaca dan menganalisa apakah itu hoaks atau memang disebarkan untuk menyerang pihak tertentu. Juga tak kalah serunya adalah berita tentang hasil rilis lembaga survei yang memenangkan paslon tertentu secara telak, termasuk dalam kategori penggiringan opini. Namun hal tersebut tentu saja sebagai sebuah upaya yang dilakukan kandidat tertentu sebagai sebuah strategi dalam sebuah kontestasi elektorat.
Pengguna internet yang pesat di Indonesia, tidak diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis terhadap semua informasi yang diterima. Berdasar hasil survei minat baca kita memang masih rendah sehingga informasi yang diterima tidak dicerna dan dipilah terlebih dahulu. Terkesan berita yang diterima atau disebar oleh tokoh idola adalah sebuah informasi yang benar.
Sebaiknya KPU selaku penyelenggara pemilu semestinya membuat regulasi khusus dalam hal penggunaan tekhnologi digital, terkhusus pada media sosial yang banyak diakses oleh kebanyakan warga negara Indonesia. Utamanya dalam masa kampanye seperti yang berlangsung saat ini, agar cakada terpantau pergerakannya dalam masa kampanye, berupa materi kampanye yang tidak mengandung kampanye hitam dan hoaks yang dapat menyerang kontestan lainnya. (**)