MAKASSAR, RAKYATSULSEL -- Hingga sekarang ini, Kota Makassar masih bergulat dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran. Dua isu krusial ini menjadi perhatian serius, utama jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Khusus di Kota Makassar, jumlah penduduk miskin mengalami pasang surut dalam tiga tahun terakhir. Pada 2023, orang miskin di Makassar mencapai 80 ribu orang, namun tahun 2024 cenderung mengalami penurunan di angka 79 ribu.
Angka pengangguran juga turun naik. Dari data BPS pada 2022 di angka 11,82 persen, namun dalam dua tahun terakhir, atau tahun 2024 menunjukkan sedikit perbaikan dengan penurunan menjadi 10,60 persen.
Meski tren dua permasalahan sosial ini terlihat positif karena mengalami penurunan, permasalahan kemiskinan dan pengangguran tetap menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah, utamanya bagi calon kepala daerah.
Sehingga dalam Pilkada atau Pemilih Wali Kota (Pilwalkot) Makassar 2024 ini bukan hanya soal memilih pemimpin, melainkan juga tentang memilih masa depan yang lebih baik bagi seluruh warganya.
Pertarungan ide dan program akan menjadi ujian bagi setiap kandidat dalam menjawab dua persoalan besar Kota Makassar, yakni kemiskinan dan pengangguran.
Apakah program-program yang ditawarkan para kandidat itu benar-benar bisa menjawab atau mampu menghadirkan solusi konkret untuk dua masalah yang selama ini menghantui kota ini, atau hanya janji politik semata demi berburu pemilih.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Sukri Tamma menjelaskan bahwa siapa pun yang nantinya terpilih sebagai Wali Kota Makassar, harus menjadikan isu kemiskinan dan lapangan kerja dalam hal ini pengangguran sebagai prioritas utama.
"Ini adalah permasalahan besar yang dihadapi kota, dan secara nasional pun menjadi fokus pemerintah," ujar Prof Sukri.
Namun, Prof Sukri juga memberikan peringatan. Menurutnya, tidak semua janji yang terdengar indah dari para kandidat yang ikut bertarung dalam Pilwalkot Makassar bisa dengan mudah direalisasikan.
"Yang kita harus lihat, apakah visi dan misi mereka benar-benar bisa diwujudkan?. Jangan sampai hanya sebatas janji," ungkapnya.
Menurut Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas itu, visi dan misi yang kredibel harus dapat diterjemahkan ke dalam program yang konkret dan terukur.
Setiap janji dari para kandidat harus memiliki landasan yang jelas, baik dari segi pembiayaan, target waktu, hingga dampak yang diharapkan. Hal ini disebut penting untuk mengukur apakah janji-janji tersebut betul-betul bisa direalisasikan atau tidak.
Termasuk dalam kalender penyelenggaraan visi misi para kandidat nantinya juga disebut penting untuk dilihat, misalnya pada periode ke berapa target angka kemiskinan dan pengangguran itu bisa tercapai.
"Misalnya, dalam program penurunan kemiskinan, seberapa besar angka penurunannya dalam setahun? Apakah masuk akal atau tidak?. Mestinya secara logis tawaran kegiatan itu haru terukur, dalam artian jelas sumber pembiayaan bagaimana agar kira-kira dalam periode berapa, tahun berapa, dan berapa tahun angka penurunan kemiskinan bisa dicapai," jelasnya.
Lebih jauh, ia juga menekankan bahwa penurunan angka kemiskinan dan pengangguran biasanya terjadi secara bertahap, tidak dalam lompatan besar. Oleh karena itu, janji-janji para kandidat atau pasangan calon yang terlalu ambisius perlu dicermati lebih dalam.
"Jika ada kandidat yang menjanjikan penurunan angka pengangguran secara drastis dalam waktu singkat, kita patut curiga. Kita perlu melihat apakah itu realistis atau tidak," ujar Prof Sukri.
Untuk itu, Prof Sukri mengajak masyarakat untuk menilai apakah solusi yang ditawarkan para kandidat sesuai dengan realitas yang dihadapinya saat ini atau tidak.
“Apakah program mereka menjawab penyebab utama kemiskinan dan pengangguran di Makassar, atau hanya menawarkan solusi umum yang sebenarnya tidak menyentuh inti masalah,” tuturnya.
Sehingga, Prof Sukri menekankan pentingnya masyarakat agar jeli menilai janji-janji politik para kandidat. Visi dan misi yang kredibel tidak hanya harus menarik saat disampaikan, tetapi juga harus mampu diimplementasikan dengan nyata.
"Masyarakat harus bijak memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan. Kita lihat apakah tawaran (visi misi) itu bisa dilaksanakan secara logis atau tidak," pungkasnya. (Isak/B)