MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis temuan bahwa politik uang dalam Pemilihan Walikota Makassar dianggap sebagai hal yang lazim.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 30 September hingga 8 Oktober 2024, sebanyak 54,7 persen masyarakat Makassar menganggap politik uang sebagai hal yang wajar. Sementara itu, 45,3 persen lainnya menilai bahwa praktik tersebut tidak wajar.
Survei juga mengungkap bahwa 39,1 persen responden yang menerima politik uang akan memilih calon yang memberikannya, sedangkan 43,8 persen mengatakan akan tetap memilih sesuai hati nurani meskipun menerima uang. Sebanyak 14,1 persen menyatakan akan memilih calon yang memberikan uang lebih banyak. Di sisi lain, hanya 2,5 persen responden yang menolak menerima politik uang.
Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah, melihat fenomena ini sebagai bagian dari budaya politik yang telah mengakar dalam setiap kontestasi politik.
"Pilkada saat ini lebih didominasi oleh politik transaksional, bukan penawaran kebijakan, melainkan janji bantuan dan uang," ujarnya saat diwawancarai pada Rabu (16/10/2024).
Menurut Asratillah, praktik politik uang yang sebelumnya hanya marak di perkotaan kini telah menyebar hingga ke daerah pelosok.
"Pemilih saat ini cenderung tidak memikirkan kebijakan yang akan mereka dapatkan di masa depan. Mereka lebih fokus pada siapa kandidat yang akan memberikan uang sebelum pemilihan," jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa angka politik uang di lapangan jauh lebih besar dibandingkan hasil survei. "Ada kemungkinan orang yang menerima uang dan memilih kandidat tersebut merasa malu saat ditanya oleh tim survei karena terkait masalah moral," terangnya.
Menjelang pemilihan, Asratillah menekankan pentingnya upaya penyelenggara pemilu untuk mencegah politik uang. Hingga saat ini, belum ada kandidat yang didiskualifikasi karena politik uang, sehingga ia menekankan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertindak tegas jika terbukti adanya pelanggaran.
"Bawaslu harus berani menindak pelaku politik uang hingga ke akarnya, termasuk jika melibatkan kandidat," tegasnya.
Ia juga menyarankan Bawaslu untuk bekerja sama dengan tokoh agama dan organisasi sipil guna memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatif politik uang.
"Bawaslu bisa merangkul organisasi masyarakat sipil untuk melibatkan kader-kader mereka sebagai pemantau sekaligus memberikan pengarahan agar tidak terjadi praktik jual beli suara," pungkasnya. (Fahrullah/B)