Gagasan, Kepantasan, dan Alasan

  • Bagikan
Praktisi hukum, Acram Mappaona Azis

Oleh: Acram Mappaona Azis

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Gagasan merupakan suatu ide yang disampaikan untuk dilaksanakan. Sementara kepantasan merupakan suatu keadaan untuk mewujudkan gagasan di ruang publik dan setelah gagal akan menjadi alasan. Setidaknya, ketiga frasa tersebut menjadi rangka pikir dalam prosesi demokrasi serentak tahun 2024.

Calon kepala daerah sebenarnya sudah menuangkan gagasan dalam visi misi yang disampaikan dalam masa kampanye. Kemudian, meyakinkan masyarakat untuk menilai kepantasan dari gagasam tersebut. Di bagian akhir nanti, akan ada alasan yang dikaitkan dengan regulasi, kultur, dan paling klasik adalah anggaran.

Namun demikian, yang terjadi di masa kampanye, bukan gagasan dan kepantasan yang disampaikan, melainkan responsif dan pendiktean elektorat. Hal ini kemudian menimbulkan kartelisasi elektorat, dimana pemilih dijadikan gembala hanya demi memenuhi kebutuhan elektorat, dengan memanfaatkan polarisasi masyarakat.

Bahkan level pemilihan gubernur di Sulawesi Selatan membicarakan kontradiksi antara Save Sulsel versus Sulsel Maju dan Berkarakter. Frasa Save Sulsel yang digunakan pasangan calon Danny Pomanto-Azhar Arsyad (DIA), bukan suatu gagasan, melainkan lahir dari keprihatinan terhadap partai politik yang tidak kunjung memberikan rekomendasi.

Kondisi yang kemudian melahirkan diksi “borong partai”. Secara tidak sadar, hal tersebut menjadi tuduhan kepada pasangan calon Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi (Andalan-Hati) yang seolah tidak ingin berdemokrasi. Padahal, substansi kolom kosong itu pun bagian dari demokrasi yang konstitusional.

Bagaimana dengan frasa Sulsel Maju dan Berkarakter? Apakah suatu gagasan dan jika, iya, apakah pantas diwujudkan oleh Andalan-Hati?

Pilkada Sulsel 2024 ini memang dilema. Diketahui terdapat irisan dukungan partai politik di provinsi dan kabupaten-kota. Hal ini kemudian menimbulkan faksi kecil yang bertentangan di level grass root. Terlebih, masyarakat di kabupaten dan kota tentu lebih terfokus ke pilkada lokal. Akhirnya yang terbentuk adalah polarisasi tidak beraturan dan pemilih (masyarakat) dikarantina dengan sistem pendataan dan pengawasan melekat.

Gagasan dan kepantasan akan menjadi alasan, karena mendapatkan elektorat lebih penting dibandingkan penyampaian visi misi itu sendiri. Perilaku pemilih pun menjadi pragmatis. Apakah itu alasan atau sudah menjadi kebiasaan? Hasilnya, akan terlihat pada saat perhitungan suara. Dan, yang terjadi di ruang publik adalah persoalan personal.

Tapi ini adalah proses menuju pematangan demokrasi dalam kerangka otonom. Ke depan, partai politik yang masih tersentralisasi, sudah seharusnya memiliki garis lurus dukungan dari tingkat pusat sampai daerah. Dengan demikian, tidak ada lagi dugaan transaksi dukungan partai sebagaimana diperbincangkan di kedai kopi. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version