MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, rilis hasil survei elektabilitas dan popularitas calon kepala daerah semakin marak menghiasi pemberitaan.
Survei-survei ini kerap menjadi sorotan publik karena dianggap sebagai tolok ukur peluang kandidat dalam memenangkan kontestasi politik lokal.
Namun, apakah survei ini benar-benar mencerminkan opini publik atau hanya alat untuk membentuk persepsi?
Dalam Seminar Nasional Pilkada Tahun 2024 yang digelar di Gedung Ipteks, kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis (17/10/2024), dengan tema "Peran Lembaga Survei dan Dinamika Demokrasi Lokal Indonesia Tahun 2024" peran dan fungsi lembaga survei sebenarnya dibongkar oleh para pembicara.
Mereka yang hadir sebagai pembicara atau panel diskusi diantaranya Komisioner KPU RI Idham Holik, General Manager Litbang Kompas Ignatius Kristanto, Akademisi/Komisioner Bawaslu 2012-2017 dan DKPP 2017-2022 Prof Muhammad Al Hamid, Ketua KPU Sulsel Hasbullah, Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli, dan Pakar sekaligus Pengajar Komunikasi Politik Unhas Hasrullah.
Dalam pemaparannya, Komisioner KPU RI Idham Holik menjelaskan bahwa survei memiliki hubungan erat dengan media, opini publik, dan masyarakat itu sendiri. Dalam teori agenda setting yang dikemukakan oleh McCombs, media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik yang pada akhirnya memengaruhi kebijakan.
Namun, Idham mempertanyakan sejauh mana kesadaran politik masyarakat saat ini dalam merespon hasil survei yang ada.
"Masalahnya adalah apakah publik sudah memiliki kesadaran politik yang cukup baik atau tidak?" ujar Idham dalam pemaparan materinya.
Ia juga mengutip tulisan Markus Mitser tentang pentingnya kebebasan sipil sebagai prasyarat dalam pelaksanaan survei. Dimana tanpa kebebasan, hasil survei tidak akan mencerminkan realitas sebenarnya.
Idham juga menjelaskan bahwa survei sebenarnya memiliki potensi untuk memperkuat demokrasi dengan menyederhanakan pengukuran opini publik.
"Survei ini sangat membantu penguatan demokrasi," ujarnya.
Namun belakang ini, Idham menyayangkan bahwa praktik kampanye saat ini cenderung didominasi oleh persuasi politik ala Niccolo Machiavelli yang lebih mengutamakan hasil ketimbang etika.
Atas dasar itulah, ia khawatir bahwa survei yang awalnya dimaksudkan untuk mengawal demokrasi justru berubah menjadi alat bisnis yang menguntungkan pihak tertentu.
"Machiavelli terkenal dengan gagasannya bahwa tujuan membenarkan cara. Jadi, dalam politik saat ini, cara-cara yang dilakukan tidak penting, yang penting adalah kemenangan," ungkapnya.
Lebih jauh, fenomena komersialisasi lembaga survei ini juga menjadi perhatian utama Idham. Ia mengungkapkan bahwa banyak kandidat politik yang menggunakan jasa lembaga survei secara diam-diam untuk mengukur elektabilitas mereka.
Namun, ada permasalahan dalam transparansi dan akuntabilitas metodologi yang digunakan oleh lembaga-lembaga tersebut. Untuk itu, ia mengingatkan bahwa masyarakat berhak melaporkan lembaga survei yang tidak memenuhi standar regulasi seperti yang diatur dalam Undang-undang (UU) Pilkada dan peraturan teknis lainnya.
"Banyak lembaga survei yang tidak transparan dalam menyampaikan metodologi dan sumber pendanaannya," tegas Idham.
Dalam konteks pengawasan, Idham juga mengingatkan bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mengawasi lembaga survei. Jika ada lembaga survei yang tidak memenuhi standar, masyarakat bisa melaporkannya.
"Masyarakat bisa melakukan masukan jika ada lembaga survei yang tidak transparan dalam metodologi dan sumber pendanaan," tandasnya.
Di tempat yang sama, Akademisi sekaligus mantan Ketua Bawaslu dan DKPP, Prof. Muhammad Al Hamid juga menyoroti pentingnya netralitas dalam lembaga survei.
Menurutnya, lembaga survei yang ideal harus memiliki basis intelektual yang kuat dan mampu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
"Lembaga survei harus netral dan mencerahkan masyarakat, karena itu adalah bagian dari pendidikan politik," kata Prof. Hamid.
Prof Hamid mengkritisi praktik beberapa lembaga survei yang diduga memihak kandidat tertentu karena didanai oleh pihak terkait. Ia menyayangkan bahwa metodologi survei sering kali diabaikan demi menguntungkan calon yang membayarnya.
"Metodologi diabaikan, data riil diabaikan, dan hasil survei disesuaikan dengan kepentingan calon tertentu," tambahnya.
Selain itu, lanjut Prof Hamid, manipulasi hasil survei disebut sangat berbahaya karena dapat menggiring opini publik secara tidak benar.
Ia menyamakan praktik ini dengan fenomena buzzer politik yang sering kali digunakan oleh rezim untuk memperkuat citra mereka di mata publik.
"Survei yang tidak netral bisa menciptakan kesan bahwa seorang kandidat hebat dan kompeten, padahal itu hanyalah hasil manipulasi," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Unhas, Hasrullah menekankan pentingnya memperkuat kode etik lembaga survei. Ia menyayangkan bahwa banyak lembaga survei yang tidak lagi independen dan tergantung pada dana dari pihak-pihak tertentu.
"Kode etik lembaga survei harus diperkuat agar mereka bisa maju tak gentar membela yang benar," ujar Hasrullah.
Ia juga menyoroti fenomena politik uang yang masih menjadi tantangan besar dalam proses demokrasi, khususnya di Sulawesi Selatan.
"Saya tidak tahu apakah politik uang di Sulsel ini bisa dihapuskan atau tidak, tapi kita harus terus berusaha," tegasnya.
Untuk itu, Hasrullah berharap agar lembaga-lembaga survei dapat kembali ke tujuan awalnya, yaitu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Menurutnya, survei bukan hanya alat untuk mengukur elektabilitas, tetapi juga sarana untuk memberikan informasi yang akurat dan objektif tentang kandidat dan program-program mereka.
Termasuk, berharap agar masyarakat dapat menjadi lebih kritis dalam menilai hasil survei dan tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi data.
"Lembaga survei seharusnya memberikan informasi yang mendidik, bukan sekadar menggiring opini," tutup Hasrullah. (isak pasa'buan/C)