Spiritualitas yang Kemarau

  • Bagikan
Pemerhati Politik dan Kandidat Doktor di Unhas, Anis Kurniawan

Oleh: Anis Kurniawan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam beberapa tahun terakhir, manusia kian dihinggapi permasalahan hidup yang kompleks. Tidak sedikit orang yang dilanda kejumudan akut, skeptisisme hingga keterasingan. Badai informasi dan gelombang sosial media menambah akut spiritualitas manusia yang kering kemarau, kehilangan rohnya. Inilah penampakan manusia di era algoritma yang terjebak pada pola-pola digital yang ilusif dan bergeser jauh dari sensasi spiritualitas.

Keramahan sosial media memang membuat banyak orang lebih asik bermain sendiri layaknya onani. Dengan ragam fitur dan aplikasi, gadget membuat manusia justru terpapar individualisme dan keterasingan akut. Orang semakin terasing dari lingkungannya, dari sesamanya. Tidak berhenti di situ, manusia kehilangan makna dan mengalami disorientasi.

Lihatlah pemandangan di keramaian manapun, interaksi berkomunikasi secara langsung nyaris hilang. Orang-orang sibuk dengan smartphone. Memilih bermain atau menjejaki komunikasi dengan orang-orang justru melalui layar. Interaksi sosial yang minim membuat manusia semakin kehilangan “sense of humanity”. Manusia mengalami krisis empati, penghargaan, ruang kasih hingga apresiasi. Tak jarang kita jumpai, orang-orang lebih menikmati proses dokumentasi video pada sebuah insiden kecelakaan lalulintas, ketimbang pertolongan.

Krisis empati pada manusia perlahan mengaburkan betapa pentingnya suatu nilai dalam berkehidupan. Nilai-nilai hidup itu sejatinya memang hanya menyubur dalam skema interaksi langsung di keseharian. Tidak pada interaksi via sosial media yang cenderung klise dan absurd. Interaksi langsung memungkinkan adanya reaksi dan aksi bahkan visi bersama. Interaksi sosial akan membangkitkan nilai-nilai fundamental seperti gotong-royong, kesukarelaan, kedermawanan hingga rasa welas asih. Nilai-nilai dasar ini pupus, justru di tengah kecanggihan dunia digital dan kompleksitas permasalahan kehidupan.

Interaksi yang minim membuat jutaan orang mengalami depresi dengan dirinya sendiri. Kehilangan perhatian, sehingga merasa terasingkan dari kehidupan. Orang-orang lebih senang menuturkan kegamangan melalui kanal sosial media ketimbang berbagi kisah pada orang-orang terdekatnya dari hati ke hati. Boleh jadi juga karena memang kita kehilangan “holding space” dan rasa percaya bahkan pada orang-orang terdekat, teman atau sanak keluarga. Pada dimensi lain, kita juga kehilangan rasa percaya pada sistem yang lebih luas antara lain karena praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang dan krisis moral para pemimpin bangsa.

Walhasil, orang-orang semakin menepi ke dalam sistem yang paling dianggap aman dari intervensi orang lain bernama diri sendiri. Disinilah, smartphone menjadi sarana pelarian. Sejuta fitur dapat dijajal untuk memanen hasrat kebahagiaan tanpa perlu bergeser jauh dari tempat duduk. Tanpa sadar, pergerakan manusia pada internet hanya menyisakan sedikit saja aktivitas fisik untuk berekspresi, berinterkasi atau mendengarkan orang lain.

Pada saat yang sama, logika algoritma telah memasung cara pandang kita terhadap segala hal. Semua bergantung pada kecenderungan informasi dan data yang paling dominan kita akses. Situasi ini memungkinkan kita tidak terhubung dengan realitas yang lebih luas dan holistik. Apa yang kita minati di sosial media, skema data itupula yang akan mengepung kita selamanya. Situasi ini membuat banyak orang terjebak pada kebahagiaan ilusif yang tergambar pada etalase kehidupan publik fugur atau orang-orang yang tampak sukses secara materi.

Lihatlah, betapa banyak pasangan yang kerap mengumbar kemesraan di sosial media justru berakhir perceraian. Berapa banyak rumah-rumah mewah yang penghuninya tidaklagi hidup tenang dengan kemewahan. Mereka hanya sibuk membagikan momentum kehidupannya beserta pernak-pernik gaya hidup modern melalui gambar-gambar di sosial media. Lalu, orang-orang melihatnya sebagai suatu kehidupan bahagia yang didambakan. Padahal, di meja makan orang-orang yang tampak bahagia itu, rupanya tidak lebih syahdu dengan meja makan orang-orang biasa. Mereka hanya menang pada kelimpahan menu makanan yang super lengkap nan mahal, tapi miskin selera humor dengan sanak keluarga.

Begitulah hasrat manusia yang telah terpola oleh algoritma. Manusia semakin mendamba pada hal-hal yang ilusif. Seseorang yang mungkin punya uang dan aset yang banyak sekalipun akan kelimpungan menggunakan uangnya untuk memenuhi hasrat kebahagiaan. Mereka yang berada di kelas ekonomi atas dan pergaulan yang mentereng juga akan terjebak pada sirkel relasi sesamanya. Membuat mereka pagar hidup yang semakin berjarak dengan manusia lainnya. Juga berjarak para kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang dijumpai para petani yang makan siang sambil berbincang di tengah sawah.

McKinsey Global Institute pada 2024 mengeluarkan data menarik perihal peningkatan belanja manusia modern pada gaya hidup wellness, meditasi dan aplikasi seperti Calm. Jumlahnya tidak main-main yakni mencapai 1,8 triliun USD atau setara dengan 27 ribu triliun rupiah. Jumlah ini tampak berbeda jauh dari satu dekade lalu pada 2015 yang hanya diangka 90 miliar USD. Data ini menunjukkan, betapa kehidupan modern mengalami krisis spiritualitas akut.

Orang-orang mengalami masalah dalam kesehatan mental, kehilangan orientasi hidup dan kehilangan makna. Pendeknya, manusia-manusia di kehidupan modern gagal menemukan esesi kebahagiannya. Internet yang dulu menawarkan sensasi bahagia, tampaknya semakin menyesatkan jutaan orang pada kebahagiaan semu karena kesalahan orientasi penggunaannya.

Orang-orang perlu back to nature diantaranya dengan healing, perlu melakoni praktik mindfulness, perlu seni pertunjukan, baca sastra dan lainnya. Kita perlu Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang menawan. Kita perlu merasakan sensasi hidup berkualitas dengan tanpa polusi, juga hidup yang menawarkan ruang bergerak dan kerkarya yang aman—semua itu bisa terbangun jika spiritualitas kita sebagai manusia pulih kembali—hidup kita perlu makna ketimbang simbol-simbil semu.

Jika, ditarik dalam konteks politik, fenomena spiritualitas yang kering ini sejatinya dapat menginspirasi para kandidat politik dalam men-set ulang suatu visi politik yang memastikan rasa bahagia bisa ditingkatkan di tengah tantangan hidup yang super kompleks. Faktanya, kita tidak terlampau butuh bangunan-bangunan mewah jika kekosongan dalam jiwa menjadikan kita layaknya mesin-mesin berjalan. (*)

  • Bagikan