Oleh: Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi
“Dia duduk di sebuah bangku kayu di bawah daun-daun kuning di taman yang sunyi. Merenungkan angsa-angsa berdebu. Sementara kedua tangannya memegang ujung tongkat peraknya dan berpikir tentang kematian. Pada saat kunjungan pertamanya ke Jenewa, danau itu tenang dan jernih. Banyak burung camar yang akan makan dari salah satu tangannya dan perempuan-perempuan bayaran yang tampak seperti hantu-hantu di keremangan sore dengan rok organdi berkibar bak payung sutera.”
Itulah salah satu fragmen dalam novel pendek karya penulis besar Amerika Latin Gabriel Garcia Marquez yang berjudul ‘Selamat Jalan Tuan Presiden’. Marquez sepertinya ingin menyindir kegelisahan seorang presiden ketika tak lagi memegang kuasa.
Bahkan, sang Presiden harus menjalani kehidupan sunyi dan sekaligus penuh romansa kesepian di sebuah negeri asing. Sang Presiden dibuang dari negaranya karena peristiwa politik dan kematian hampir menjemputnya. Bagi seorang presiden, diusir dari tanah asal adalah peristiwa menyakitkan.
Awal yang Indah
Hari ini, Minggu 20 Oktober 2024, Jokowi meninggalkan kursi kepresidenan. Jokowi bertolak ke Surakarta, Jawa Tengah di hari pelantikan. Kontras dengan tokoh presiden dalam Karya Marquez yang penuh kegetiran, Jokowi yang dipuja bak Raja Jawa melenggang keluar dari Istana dengan senyum simpul di bibirnya karena berhasil menempatkan putra sulungnya sebagai pelanjut pada kursi wakil presiden.
Perjalanan Jokowi sampai ke kursi kepresidenan memang tak mudah, bahkan bisa dikatakan dari bawah. Ia memulai semuanya dari sebuah kota di Jawa Tengah bernama Solo. Keberhasilan menata pasar tradisional membuatnya cukup dikenal dan mobil SMK tentu saja menjadi titik balik yang melambungkan namanya-mobil yang sampai saat ini entah bagaimana nasibnya.
Berbekal performanya di Solo ia dilirik untuk menapakai karier yang lebih bergengsi-Gubernur DKI Jakarta. Ia dipasangkan dengan seorang Tionghoa yang juga punya pengalaman memimpin sebuah daerah di Sumatera oleh Partai Gerindra dan PDIP. Berbekal tiket tersebut serta dukungan yang mengalir dari gerakan sosial dalam bungkus ‘relawan’ Jokowi dan Ahok berhasil menduduki tahta tertinggi di Ibukota.
Tak cukup satu periode, karier politiknya meroket. Ia bukan lagi seorang politisi lokal tapi perlahan mencuri perhatian rakyat dengan tampilan yang sederhana-sesuatu yang asing di dalam dunia politik tanah air yang ingar-bingar. Tahun 2014 oleh Megawati-ketua umum PDIP, ia dipasangkan dengan Jusuf Kalla untuk maju di perhelatan pilpres.
Dewi Fortuna rupanya berpihak kepadanya. Berhadapan dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ia menang dengan meyakinkan dan terpilih menjadi Presiden ke-7 RI . Kemenangan disambut gegap gempita oleh rakyat. Nawacita dan Revolusi Mental dianggap sebagai azimat yang akan membawa Indonesia ke arah kesejahteraan.
Kita tentu masih ingat majalah TIME menjadikan Jokowi sebagai sampul muka dengan tulisan besar ‘A New Hope’ yang melambangkan harapan rakyat yang menginginkan perubahan dan perbaikan nasib. Kemunculan Jokowi bahkan disamakan dengan Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat.
Akhir yang Buruk
Sepuluh tahun berlalu begitu cepat. Beberapa minggu sebelum pelantikan presiden baru, setidaknya ia dua kali meminta maaf dalam forum resmi. Pertama, pada saat acara zikir dan doa kebangsaan di Istana Merdeka dan saat pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR.
Permintaan maaf ini saya kira merangkum kegagalan pemerintahannya-terutama di periode kedua. Permintaan maaf yang pertama untuk kemunduran demokrasi yang telah ditimbulkannya-dengan mengintervensi konstitusi dan memuluskan langkah putra sulungnya untuk menjadi calon wakil presiden (sebelumnya Gibran telah menjadi Wali Kota Solo, menantunya menjadi Wali Kota Medan dan anak bungsunya menjadi ketua umum partai).
Yang lainnya, ia dianggap berhasil melemahkan oposisi baik secara intra parlemen maupun ekstra parlemen, partai-partai dirangkulnya satu-satu dan itu modal untuk memuluskan berbagai rancangan undang-undang yang kontroversial seperti; UU Cipta kerja, UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan UU IKN.
Permintaan maaf kedua, saya kira, dialamatkan kepada agenda-agenda kesejahteraan rakyat yang jauh panggang dari api. Seperti angka pengangguran yang semakin tinggi, jumlah kelas menengah yang semakin menurun, dan daya beli masyarakat yang semakin terjun bebas. Walau sebagian kalangan menganggap Jokowi berhasil membangun Infrastruktur yang masif, tapi hal tersebut harus dibayar mahal dengan perampasan lahan dan kekerasan yang mengiringinya.
Puncaknya pada Agustus 2024 saat mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat melakukan aksi yang cukup besar dengan tema ‘Peringatan Darurat’ merespons putusan MK. Saya kira itu adalah gerakan massa berskala besar terakhir di ujung pemerintahan Jokowi. Dari gerakan tersebut Jokowi mendapat gelar baru Mulyono-nama olok-olok yang diberikan netizen kepadanya.
Di detik-detik terakhir kepergianya ia masih menyempatkan bersantap malam bersama presiden terpilih. Entah apa agenda pembicaraan mereka? Namun sepertinya Jokowi masih akan terus membayangi pemerintahan ke depan, tidak hanya karena putranya telah menjadi wakil presiden, tetapi yang utama adalah keberhasilanya menempatkan ‘orangnya’ menduduki posisi-posisi kunci seperti ketum parpol, berbagai jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif, dll.
Yang jelas ia memang sosok politisi yang fenomenal, seperti kata seorang netizen, Jokowi adalah politisi terbaik tetapi presiden terburuk. (*)