Stop Eksploitasi Anak di Kampanye

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ingar bingar pelaksanaan kampanye di pemilihan kepala daerah menyisakan berbagai polemik.

Selain menyoal dugaan pengerahan aparatur sipil negara (ASN), anak-anak juga kerap dimobilisasi untuk meramaikan hajatan kampanye.

Anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang dilarang dilibatkan dalam politik praktis. Sepertinya, euforia pesta demokrasi telah melupakan tanggung jawab orangtua yang terkalahkan oleh hasrat untuk larut dalam kampanye pilkada.

Pelibatan anak dalam agenda politik masih kerap ditemui. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengingat pada masyarakat agar tidak membawa anak dalam setiap agenda politik, utamanya kegiatan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, yang sementara berlangsung.

Selain melanggar Undang-Undang (UU) Pemilu, membawa anak saat kegiatan politik juga termasuk sebagai kegiatan mengeksploitasi anak yang dilindungi Undang-Undang. Hal tersebut disampaikan dalam kegiatan diskusi Bawaslu Sulsel dengan tema “Mitigasi Eksploitasi Anak dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024” di Hotel Four Point Makassar, Rabu (23/10/2024).

Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyarakat Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad mengatakan penyelenggara kegiatan sengaja mengundang sejumlah pihak terkait untuk mendiskusikan bersama, serta mencari solusi agar pelaksanaan tahapan Pilkada 2024, atau pesta politik lima tahunan ini terbebas dari pelibatan anak.

"Itulah kemudian kami gelar diskusi ini agar ada komitmen bersama untuk menjaga dan memastikan dalam kegiatan kampanye maupun kegiatan-kegiatan lain itu berusaha untuk meminimalisasi pelibatan anak," kata Saiful.

Saiful mengungkapkan, dalam beberapa informasi yang diperoleh Bawaslu Sulsel ditemukan adanya dugaan kesengajaan pelibatan anak dalam proses Pilkada Sulsel 2024. Ada anak terlihat melalui media sosial (medsos) TikTok turut mengkampanyekan salah satu paslon tertentu.

"Misalnya kemarin, ada TikTok yang dibuat, anak-anak (sampaikan) pilihlah nomor sekian, padahal anak-anak itu belum tahu apa-apa. Belum lagi dalam kampanye rapat umum atau rapat tertutup yang biasanya melibatkan anak-anak," ujar dia.

"Kami juga sampaikan kepada masyarakat jangan sampai melihat banyak (massa) sehingga anaknya dilibatkan. Kami berharap lewat tim paslon yang hadir ini kemudian bisa berkomitmen bersama untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya pelibatan anak dalam kampanye. Memang belum ada laporan, tetapi beberapa informasi sudah sampai ke kami. Ada kiriman video TikTok, ada juga dikirim di WA melibatkan anak," sambung dia.

Adapun anak yang dimaksudkan, menurut Saiful, adalah mereka yang belum memiliki hak pilih, atau belum genap berusia 17 tahun. Termasuk, kata dia, yang paling rentan adalah anak-anak di bawa usia 10 tahun yang kerap diikutkan orang tuanya dalam kegiatan kampanye peserta Pilkada.
Saiful mengatakan, anak-anak dengan usia tersebut sangat rentan celaka.

Apalagi jika dalam momentum kampanye ada banyak orang yang sering berdesak-desakan.

"Anak-anak kecil itu rentan celaka, ikut dikeramaian, berdesak-desakan dan akhirnya bisa berdampak kepada anak kecil tersebut," ujar dia.

Saiful menerangkan ada banyak regulasi yang mengatur mengenai larangan melibatkan anak, baik dalam kegiatan kampanye maupun kegiatan politik lainnya. Salah satunya termuat dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 15 huruf a yang mengatur bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

Hanya saja, dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, larangan atau hukuman jika melibatkan anak dalam kegiatan kampanye masih lemah. Ketentuan atau larangan melibatkan anak dalam kampanye pilkada belum diatur secara jelas.

"Memang tidak ada sanksi yang tegas berkaitan dengan itu, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan upaya untuk meminimalisasi terjadinya hal itu. Saya berharap jangan karena tidak ada sanksi tegas lalu kita semua bebas melanggar," imbuh dia.

Adapun, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Sulsel, Fadiah Mahmud mengatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.

Menurut dia, pelibatan anak dalam kampanye politik dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan penyalahgunaan.

Terlebih sangat berbahaya karena bisa berdampak pada emosional dan psikologisnya. Sehingga pelibatan anak dalam politik memberi pengaruh negatif terhadap tumbuh kembangnya.

"Mereka (anak-anak) belum punya hak pilih, belum memiliki pemahaman yang cukup tentang isu politik. Ada waktunya anak mengikuti tahapan kampanye. Biar dia menikmati masanya (bermain), jauhkan mereka dari sesuatu yang mengganggu tumbuh kembangnya,” tutur Fadiah.

Selain itu, ia juga menjelaskan ada kurang lebih 35 hak anak yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang. Di antaranya, hak untuk bermain, berkreasi, berpartisipasi, berhubungan dengan orang tua bila terpisahkan, bebas beragama, bebas berkumpul, hidup dengan orang tua, kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang.

"Termasuk hak untuk identitas, kewarganegaraan, pendidikan, standar kesehatan paling tinggi, dan standar hidup yang layak," ujar dia.

Bukan itu saja, lanjut Fadiah, anak-anak juga disebut memiliki hak perlindungan baik dari negara, pemerintah, orang tua, keluarga, maupun masyarakat sendiri. Kewajiban negara untuk anak seperti menghormati, tidak diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang melanggar hak asasi. Misalnya melakukan kekerasan terhadap anak, marah pada anak di depan orang, dan lainnya.

Kemudian melindungi, memenuhi dalam hal ini negara harus mengambil tindakan untuk memenuhi hak-hak anak, dan terakhir memajukan yaitu langkah awal dalam mempromosikan pemenuhan hak-hak anak. Misalnya melakukan pelatihan dan kampanye sosialisasi perlindungan di masyarakat.

"Jadi anak belum memiliki pemahaman yang cukup tentang politik dan isu-isu yang terkait. Kampanye politik seringkali melibatkan situasi yang penuh tekanan, konflik, dan bahkan kekerasan yang tidak ideal untuk perkembangan mental dan emosional anak-anak," tutur Fadiah. (isak pasa'buan/C)

  • Bagikan

Exit mobile version