Debat Danny Vs ASS : Antara Populisme atau Pembangunan Berkelanjutan, Mana yang Dibutuhkan Sulsel?

  • Bagikan
Muh. Fitriady

Oleh: Muh. Fitriady (ARCHY Research & Strategy – Ph.D Candidate of Political Science of Universiti Kebangsaan Malaysia 2024)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Debat calon Gubernur Sulawesi Selatan antara Danny Pomanto dan Andi Sudirman Sulaiman (ASS) pada 28 Oktober 2024 lalu seakan menjadi arena pertarungan dua gaya kepemimpinan yang berbeda.

Danny hadir dengan energi populis yang menggebu-gebu, menyuarakan aspirasi rakyat kecil, sementara Andi berdiri tenang dan fokus pada bukti konkret dan data.

Pertarungan visi ini tidak hanya menunjukkan dua strategi yang kontras, tapi juga memperlihatkan bagaimana wajah politik Sulsel bisa terpecah: apakah rakyat membutuhkan pemimpin yang menjadi “suara” mereka, atau pemimpin yang fokus pada pembangunan jangka panjang?

Danny, Wali Kota Makassar selama dua periode, tampil emosional dan akrab dengan kalangan menengah ke bawah. Dalam debat, ia membawa isu-isu keseharian, seperti harga jual yang tidak menguntungkan bagi petani dan ketidakpastian penghasilan nelayan.

Gaya komunikasinya yang lugas mencerminkan dirinya sebagai sosok yang peduli dengan rakyat kecil, sebuah pendekatan yang tampaknya mampu menarik perhatian bagi pemilih yang berharap akan perubahan nyata.

Namun, Danny tak berhenti hanya pada isu kesejahteraan—ia juga mengkritik kondisi keuangan Pemprov Sulsel yang, menurutnya, tengah terjerat defisit, sebuah kritik yang langsung mengarah ke kinerja petahana, Andi Sudirman.

Sementara itu, Andi Sudirman Sulaiman tampil dengan aura teknokrat yang tenang, menawarkan visi pembangunan berkelanjutan yang berbasis bukti konkret. Sebagai gubernur petahana, ia menunjukkan pencapaian infrastruktur dan peningkatan layanan publik sebagai bukti kerja kerasnya.

Kritik Danny tentang proyek-proyek di Makassar, menurutnya, hanya menunjukkan ketidakmampuan pemerintah kota dalam merencanakan anggaran secara tepat.

Andi tampaknya ingin memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih “berkualitas” dan matang dalam mengelola pemerintahan. Namun, pertanyaan yang tersisa adalah: apakah stabilitas dan efisiensi yang ia tawarkan cukup untuk menggugah hati pemilih?

Debat ini menarik karena menunjukkan bagaimana kedua calon bermain dengan cara yang berbeda. Danny muncul sebagai sosok yang “dekat” dengan masyarakat akar rumput, berbicara dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.

Di sisi lain, Andi berfokus pada paparan data dan pencapaian konkret, strategi yang mungkin lebih mengena bagi kalangan profesional dan teknokrat. Tapi, manakah yang paling sesuai dengan kebutuhan pemilih Sulsel?

Namun, tidak ada yang sempurna di antara kedua calon ini. Bagi Danny, kritik Andi soal lambannya proyek Jembatan Barombong di Makassar bisa berbalik menjadi bumerang, menunjukkan adanya titik lemah dalam manajemen proyek kota yang berskala besar.

Bahkan, Danny menyatakan bahwa Makassar siap menyelesaikan proyek tersebut jika saja provinsi memberi kewenangan penuh. Di balik pernyataan ini tersirat adanya potensi gesekan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota, sebuah konflik yang bisa merusak efektivitas pelaksanaan proyek penting di Sulsel.

Di sisi lain, kritik Danny soal defisit anggaran provinsi mencerminkan adanya masalah mendasar dalam tata kelola keuangan daerah. Menyelesaikan masalah ini tanpa membebani APBD pemerintahan selanjutnya menjadi tugas besar bagi Andi jika ia terpilih lagi.

Semua ini menggambarkan bahwa masih ada persoalan struktural dalam koordinasi antara pemerintah provinsi dan kota, yang sering kali tampak berjalan masing-masing. Tanpa komunikasi dan pembagian wewenang yang lebih jelas, proyek-proyek strategis bisa saja terhenti di tengah jalan, kehilangan arah, dan akhirnya hanya membebani APBD tanpa memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Secara keseluruhan, debat ini mencerminkan pertarungan visi besar dalam Pemilihan Gubernur Sulsel 2024. Di satu sisi, ada keinginan memperbaiki kehidupan rakyat kecil secara langsung, dan di sisi lain ada pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada masa depan.

Kini, pertanyaan utamanya: apakah rakyat Sulsel lebih membutuhkan pemimpin yang memahami dan memperjuangkan masalah sehari-hari mereka, atau pemimpin yang mampu menjaga stabilitas dan efisiensi untuk jangka panjang? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya.

Namun, satu hal yang pasti, debat ini mengingatkan kita bahwa pemimpin bukan sekadar sosok yang bersinar di panggung, tapi juga seseorang yang mampu merealisasikan janji-janji mereka demi dampak nyata bagi rakyat Sulsel. (***)

  • Bagikan

Exit mobile version