MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Integritas penyelenggara pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum selalu diuji dalam setiap perhelatan kontestasi.
Sepanjang tahun ini -mulai dari pemilu hingga pelaksanaan pilkada serentak- puluhan laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan komisioner Bawaslu dan KPU tiba di meja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hal itu memberi indikasi bahwa penyelenggara pemilu tak lepas dari sorotan dan pengawasan dari masyarakat maupun peserta pemilu atau pilkada.
Dugaan pelanggaran etik maupun ketidaknetralan penyelenggara menjadi sorotan publik karena dinilai dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses pilkada. Jika terbukti benar, hal ini tidak hanya mencederai kredibilitas KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, tetapi juga berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap hasil pilkada.
Pakar hukum dari Universitas Hasanuddin, Profesor Slamet Sampurno Soewondo mengatakan, aturan mengenai penyelenggara Pemilu sudah cukup jelas. Menurut dia, bila ada indikasi pelanggaran yang dilakukan penyelenggara bisa dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Aturan itu tertuang dalam Pasal 1 ayat 24 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) disebutkan bahwa DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.
Dia menjelaskan, penyelenggara harus bersikap netral, begitu pula ASN yang turut terlibat dalam proses Pilkada. Sehingga setiap pelanggaran terhadap aturan ini seharusnya dapat segera diproses secara hukum.
"Saya kira aturannya cukup jelas, penyelenggara itu harus netral dan menjaga integritas. Termasuk juga ASN. Selama melakukan pelanggaran atas aturan yang sudah ditetapkan harus dilakukan proses hukum,” ujar Slamet Sampurno, Senin (28/10/2024).
Slamet Sampurno juga menjelaskan bahwa dengan adanya laporan yang jelas dan bukti yang memadai, setiap indikasi pelanggaran etik dalam pelaksanaan pilkada harus segera ditindaklanjuti. Sebab, kata dia, hal itu tidak hanya akan merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga integritas pelaksanaan pemilu.
Namun, Prof Slamet Sampurno juga mengingatkan agar masyarakat tidak melaporkan penyelenggara pilkada secara sembarangan atau hanya karena didasari kepentingan politik. Ia menambahkan bahwa semua pelanggaran pilkada, baik yang dilakukan oleh ASN maupun penyelenggara, harus dibuktikan secara hukum.
"Jadi jangan juga membawa tendensi berupa ada kepentingan yang tidak terpenuhi. Itu juga tidak sportif. Silakan laporkan kalau memang bukti dan faktanya menyatakan ada melakukan penyimpanan atau kecurangan-kecurangan terhadap pelaksanaan pemilu, dia terindikasi pro dengan salah satu pihak atau calon," ujar dia.
Di sisi lain, Slamet Sampurno menilai bahwa ada kelemahan dalam regulasi Pemilu atau Pilkada, terutama terkait dengan keterbatasan waktu dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Menurut dia, waktu yang singkat membuat penyelidikan terkadang terkesan terburu-buru, sehingga keabsahan dan validitas hasilnya sering dipertanyakan.
“Kendala terbesar adalah waktu yang singkat. Proses pembuktian dalam satu bulan saja itu sangat sulit, karena dibutuhkan waktu untuk memeriksa saksi-saksi,” imbuh dia.
Menurutnya, aturan yang ada saat ini tidak memadai untuk menuntaskan penyelidikan secara mendalam, dan penyelidikan yang terburu-buru dapat mengurangi akurasi dalam penentuan fakta. Sebagai solusi, kata Slamet Sampurno, menyarankan agar undang-undang mengenai waktu penyelidikan dalam kasus pelanggaran pilkada sebaiknya diperpanjang.
Slamet menuturkan agar peraturan terkait pilkada dan pemilu dapat diperbaiki di masa mendatang untuk menjamin proses yang lebih adil dan transparan. “Peraturan mungkin perlu ditinjau ulang agar waktu penyelidikan cukup, sehingga dugaan ketidaknetralan (pelanggaran) bisa dibuktikan sebelum hari pencoblosan,” imbuh dia.
"Sehingga mungkin perlu dipikirkan ulang peraturan perundang-undangan khusus mengenai Pilkada ini. Mungkin bisa waktunya di tambah dengan diberikan pasal tambahan yang baru," sambung Slamet Sampurno.
Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah melihat semakin banyaknya laporan ke DKPP mengindikasikan dua hal. Pertama, masyarakat kita semakin tahu soal aturan main dalam pemilu dan pilkada.
"Masyarakat semakin paham soal bagaimana tupoksi dari penyelenggara pemilu. Hal ini juga menunjukkan masyarakat semakin kritis dan berani speak up jika ada pelanggaran yang terjadi baik dari pihak kontestan ataupun penyelenggara," kata Asratillah.
Hal yang kedua adalah, banyaknya indikasi dari rendahnya integritas penyelenggara pemilihan. "Banyak hipotesis yang berusaha menjelaskan ini, mulai dari dugaan seleksi penyelenggara yang tidak bersih, hingga SDM penyelenggara yang memang tidak kompeten dan berintegritas," ujar Asratillah.
Sehingga, kata dia, masyarakat mesti bersama-sama memikirkan hal ini, karena ini akan berimplikasi kepada banyak hal. "Terutama rendahnya kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilihan. Jika ini terjadi ini juga akan berimplikasi pada rendahnya legitimasi pemilihan, dan berujung pada rendahnya kepercayaan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih," ujar dia.
Di satu sisi, kata Asratillah, dia mengapresiasi masyarakat yang semakin kritis dan paham tentang aturan main dalam penyelenggaraan Pilkada. "Namun kita juga akan pesimis dengan proses pendewasaan demokrasi kita dengan adanya isu integritas penyelenggara yang lemah," imbuh dia.
Pilkada serentak ini, kata Asratillah, menaruh harapan agar pilkada dapat berjalan secara bermartabat. "Karena yang sementara kita pertaruhkan adalah masa depan daerah dan warganya. Baik tidaknya pelayanan publik, sejahtera tidaknya masyarakat, sangat ditentukan oleh kualitas kepala daerah yang terpilih, dan ini tentunya sedikit banyaknya ditentukan oleh proses pilkada yang berkualitas," ujar dia.
Sebelumnya, pada pertengahan pekan lalu, Ketua DKPP RI, Heddy Lugito menyatakan telah menerima total 565 aduan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu selama tahapan Pilkada Serentak 2024. Sulawesi Selatan masuk kategori delapan besar terbanyak, yakni 21 aduan. DKPP juga melaporkan terjadi peningkatan jumlah laporan dugaan pelanggaran etik tahun ini dibanding 2023.
"Tahun 2024 data peningkatan yang signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Selama 1 Januari sampai sekarang total aduan 565 aduan, sedangkan di tahun 2023 hanya 323 aduan," ujar dia.
Heddy Lugito menyebut tingginya aduan ini menunjukkan kesadaran masyarakat semakin tinggi sehingga pentingnya pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu. Apalagi, kata dia, pilkada memang rentan terjadi pelanggaran etik karena faktor kedekatan antara penyelenggara dengan peserta pemilu.
"Hal membuat pelanggaran etik itu rentan terjadi karena ada kedekatan dengan peserta geografis dan emosional. Punya tim sukses bersaudara dengan penyelenggara pemilu, bukan integrasi rendah tapi karena pengaruh lingkungan dan eskalasi politik membuat integrasi penyelenggara pemilu itu rendah," ujar dia.
Lugito tak bisa merinci status 21 laporan yang masuk untuk penyelenggara pemilu di Sulsel. Namun dia memastikan, setiap laporan yang masuk akan ditindaklanjuti.
"Saya tidak bisa janji semua yang masuk laporan bisa disidangkan, sudah ada jadwal sampai Desember. Karena saking banyaknya aduan yang masuk. Yang pasti DKKP tidak ada kasus di prioritaskan, prioritas kita itu sesuai urutan, jadi siapa yang datang duluan itu kita tindaklanjuti," imbuh dia. (fahrullah-isak pasa'buan/C)